Sudah terhitung sekian hari berlalu di tanah rantau orang, tanah tempat berpijak yang bukan tanah kelahiran seorang Reff, banyak pengalaman, pemikiran hingga perasaan yang berkecamuk di hati dan pikiran reff setelah hari berlalu untuk kesekian kalinya. pengalaman, pemikiran dan perasaanyang hadir dan terlahir dari peristiwa keseharian Reff menunggu untuk diresapi, diterima namun sayangnya minim upaya kritis, dimulai dengan idiom yang berkembang secara general melalui sinema sinema di TV,”sungguh menyakitkan rasanya bila merindukan seseorang”, dengan penuh kecurigaan setelah membaca idiom tersebut, Reff tidak rundung percaya, mungkin benar adanya, mungkin juga tidak, terdengar subyektif, tapi memank begitu adanya, seperti pandangan dirinya yang berbeda tapi tetap tidak meninggalkan tekstur dan kontur subyek, “akan lebih menyakitkan bila tidak ada satu orang pun yang kita rindukan”. Kemudian ia menambahkan “karenanya, coba saja anda berani bayangkan bila kita tak pernah merindukan seseorang, kerinduan telah tergerus oleh rutinitas keseharian yang berhasil memalingkan kita dari kerinduan itu sendiri dan berkata,mulai sekarang,jangan pernah merindukan orang lain!”
***
Subyek tetaplah subyek, pandangan subyek kerap berubah ubah, tak menentu, bergerak ulang alik dan berputar kembali, sembari melupakan titik berangkat awal, dengan paradigma subyektif, seseorang seperti halnya reff berhak untuk mengatakan apapun sesuai dengan konteks waktu dan tempat yang di gagas oleh akal dan juga perasaan,memaknai konsteks sesuai dengan suasana hati, betapa nikmatnya buat seorang subyek berkehendak bebas, kebebasan dalam hal ini, yakni mempunyai hak dan kebebasan untuk menafsir realitas.
Padahal kita patut kritis juga curiga terhadap pemikiran kita sendiri yang berasal dari berbagai informasi mainstream di tengah tengah masyarakat, kultur umum masyarakat yang di bentuk oleh system kapitalisme yang memberi penekanan lebih kepada individualisme, yakni paham yang memberikan jaminan dan previlese berlebihan kepada Individu, hingga lahir berbagai macam kebebasan individu yang menyesatkan, telah membuat banyak dari kita terjebak dalam jurang subyektivisme, namun bagi Reff, Boro-boro untuk di Rehab, Reff tidak sempat untuk curiga terhadap pemikirannya sendiri, salah satunya tentang pengalaman pribadi yang berkesimpulan tidak perlunya ia merindukan seseorang, siapapun itu.
***
Ketika hari sudah mulai gelap, tembok kamar ber cat putih masam ikutan gelap, suara sekeliling pun mulai senyap, di wilayah tersebut listrik padam sedari sejam yang lalu, walau cukup kelelahan, Reff tidak dapat memejamkan mata setelah seharian menjalani rutinitas, saat itu dengan perlahan, imajinasi dan bayangan masa lalu hadir, kebersamaan dengan orang orang terdekat, keluarga dan sahabat karib. Lingkar senyum dan tawa hadir dalam satu frame dengan ragam peristiwa yang berbeda. Gambaran tersebut mengobok-obok keras perasaan hingga tak sadar matanya sudah lelah berkaca-kaca setelah disekat berulang. Masih Membawanya jalan-jalan memutar balik ke peristiwa tersebut, sebuah ragam peristiwa yang mempunyai kedalaman kesan bagi Reff. Kemudian menghentak dan memukul keras dirinya. “hei, sedang apa kamu ini!, tega betul kamu mengingkari ungkapan kamu sendiri, kamu tidak perlu merindukan orang lain, tidak perlu!”
Dramatis sekaligus dilematis, pemikiran subyeknya kali ini berbentur dengan sesuatu yang sulit di atasi olehnya, ya kali ini pemikiran subyeknya harus berbenturan dengan realitas obyektif,di satu sisi ia acuhkan dan membenci untuk rindu kepada orang lain, di sisi yang lain, mentalnya mendapat ujian ketika berbenturan dengan realitas obyektif, menunggu untuk dipenuhi agar kegelisahan karena perasaan merindukan orang lain bisa segera diakhiri. fenomena seperti ini yang kemudian melatarbelakangi banyak kalangan keranjingan berteriak, ini zamannya postmo bung!
***
Narasi di atas baru bercerita tentang putusan akan pengalaman pribadi reff yang terjebak relativisme, ditempat lain dengan menggunakan paradigma universalitas, putusan dan klaim “hanya ada orang baik Vs orang jahat di dunia ini”juga menarik untuk disimak, yang paling sederhana adalah mencari dasar dan asumsi putusan tersebut, bagaimana meletakan kebaikan dan kejahatan sesuai dengan porsi paling mendasar hingga berhasil membedakanmanusia itu disebut baik, dan manusia yang lain disebut jahat.Keseringannya Paham universal yangdi lirik sebagai pemecah kebuntuan dalam mencari dan mencapai pondasi mendasar tersebut, asumsi yang lahir salah satunya adalah, Rasio manusia sesuai dengan konteks waktu dan tempat akan mendapatkan bentuknya sendiri yang Universe, kemudian titik keseimbangan akan lahir apabila rasio individu satu dengan yang lain bertemu dan diperadukan.
Putusan atau asumsi di atas, apabila sekali lagi membenturkannya dengan realitas obyektif akan menemukan kelemahannya, seperti yang kita ketahui Rasio tanpa pondasi, akan membuat rasio bergerak bebas tak menentu hingga mudah dirayu dan masuk jebakan relativisme, titik keseimbangan yang diasumsikan juga meleset jauh, individu yang kuat, dalam hal ini mempunyai modal capital dan akses di dalam kekuasaan, seringnya melakukan eksploitasi kepada yang lemah, meng-hegemonik dan mendeterminasi. Seperti yang kita persaksikan hari hari ini, dimana segelintir Individu mempunyai kekayaan yang cenderung bombastis, namun di sisi yang lain kemiskinan mendapat porsi yang lebih besar di planet yang kita tinggali, khususnya di koordinat Negara dunia ketiga.
Hemmm, reff pun meyakini demikian adanya, sebuah paham universalitas dari rasio Universal yang dapat mempersatukan logika kebenaran dan kesalahan dalam kehidupan manusia,
kebenaran selalu terdapat blind spot, tidak ada yang bisa memonopoli kebenaran, karena semua paham meyakini kebenarannya masing-masing, maka relativisme adalah sebuah keniscayaan!
Yaa dengan mudah dan sederhana mayoritas dari kita masih berfikiran seperti di atas, sehingga subyektivisme yang di dapat, padahal manusia secara hakiki butuh pegangan dan sandaran, agar kelabilan Universal bisa segera di atasi, dengan melihat dan membaca narasi di atas, sudah waktunya bagi kita untuk curiga dan menyudahi logika universal yang gandrung terhadap Relativisme dan subyektivisme, absolutisitas yang niscaya. Meletakan rasio dibawah pemilik akal dan manusia yakni Tuhan semesta alam, melalui tuntutan wahyu yang berisi aturan-aturan kehidupan untuk manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H