“Jokowi Ancam Copot Menteri Pariwisata”, begitu judul berita di Kompas.com 1 Desember 2016. Presiden menyatakan bahwa jumlah wisatawan ke Indonesia tahun lalu (2015) hanya 9 juta sementara tiap tahun sebanyak 24 juta wisatawan datang ke Malaysia dan 29 juta wisatawan datang ke Thailand (kompas.com).
Kelebihan Malaysia dalam hal pariwisata adalah mereka mampu mengelola dan mengemas potensi yang dimiliki dengan profesional dan terintegrasi serta mengembangkannya dengan konsep yang jelas. Potensi alam Indonesia jauh lebih besar dari Malaysia, namun potensi tersebut belum secara optimal menyumbang terhadap perekonomian tercermin dari jumlah wisatawan ke Indonesia yang jauh lebih sedikit dibanding Malaysia.
Salah satu potensi yang sama-sama dimiliki oleh Indonesia dan Malaysia adalah sungai. Borneo yang meliputi Kalimantan Indonesia, Sarawak dan Sabah Malaysia dan Brunei memiliki banyak sungai besar. Walau sama-sama terletak di Borneo, nasib sungai tersebut tidak selalu sama, beda negara, beda nasib. Jika sungai di Singkawang sangat merana (di sini), sungai Kapuas mulai menata diri (kedua sungai terletak di Kalimantan Barat) maka Sungai Sarawak semakin mengukuhkan diri sebagai obyek wisata dunia.
Sungai Sarawak yang membelah Kota Kuching, ibu kota Sarawak, sebenarnya biasa saja. Sungai ini tidak selebar Sungai Kapuas. Namun kebersihan dan penataan tepian sungai yang panjangnya sekitar satu kilometer dan taman di sekitarnya yang disebut dengan waterfront telah membuatnya sebagai yang terbaik di Borneo.
Waterfront yang diresmikan pada 1993 diletakkan pada posisi yang strategis dan memiliki desain yang menarik. Pada 1994, desain tersebut memperoleh tiga penghargaan sekaligus dari Australia dan US (di sini). Pembangunan di waterfront dan sekitarnya seperti tak pernah selesai. Yang terbaru, pada September 2016, telah diresmikan Galeri Brooke di Benteng/Ford Margaritha yang terletak di seberang waterfront (di sini).
Mudah sekali berjumpa turis dari mancanegara di waterfront. Penginapan dari hotel berbintang lima seperti Hilton sampai ala backpacker yang terletak tak jauh dari waterfront memudahkan wisatawan mengunjungi lokasi tersebut dengan berjalan kaki. Rindang pepohonan di sepanjang jalan di tepian sungai dan di taman memberi rasa teduh di waterfront pada siang hari.
Sejarah Sarawak tidak dapat dipisahkan dari James Brooke, seorang warga Inggris yang datang ke Sarawak pada 1834. Pada saat itu Sarawak masih merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Brunei dengan Pangeran Indra Mahkota Muhammad Saleh sebagai Gubernur Sarawak. Beliau kemudian diganti oleh Brooke (di sini)
Pada 1842, Sarawak melepaskan diri dari Kerajaan Brunei dan James Brooke mendeklarasikan diri sebagai Raja Sarawak (Rajah of Sarawak) yang kemudian diberi gelar Raja Putih I. Orang Melayu menyebut orang Eropa sebagai orang putih karena warna kulit mereka yang putih. Brooke dan turunannya (sampai Raja Putih III) memerintah Sarawak selama lebih dari 1 abad. Pada 1888, Raja Putih II Sarawak menyetujui Sarawak sebagai wilayah protektorat Inggris. Selanjutnya, pada 1946 Raja Putih III menyerahkan Sarawak kepada Pemerintah Inggris (di sini)