Mohon tunggu...
Fariastuti Djafar
Fariastuti Djafar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pembelajar sepanjang hayat, Email:tutidjafar@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Liku-liku Kehidupan Mantan Pengantin Pesanan

10 September 2016   10:49 Diperbarui: 10 September 2016   13:31 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpaduan rumah Melayu dan Cina, DBKU, Kuching, Sarawak. Sumber: Dokumen pribadi

Topik “Pengantin Pesanan” pernah populer sekitar pertengahan 2000an di kalangan peneliti sosial khususnya studi wanita dan perdagangan manusia, serta media (Sila baca di sini,di sini, di sini, di sini, dan  di sini). Istilah  “pengantin pesanan” umumnya merujuk pada perempuan warga Indonesia khususnya Tionghoa yang dinikahkan dengan pria  warga asing antara lain Taiwan, melalui jasa makelar pengantin.  Pernikahan ada yang dilangsungkan di kota tempat tinggal si wanita atau si wanita dibawa ke luar negeri untuk dinikahkan dengan pria yang tidak dikenalnya.

Pernikahan si pengantin pesanan dengan warga asing tersebut tidak selalu  berakhir dengan bahagia. Hal tersebut kemudian digolongkan sebagai perdagangan manusia karena ada unsur transaksi dalam prosesnya. Berikut adalah kisah seorang perempuan mantan pengantin pesanan, Tania (nama samaran), seorang wanita Tionghoa asal Pontianak yang sekarang tinggal dengan suatu keluarga di Kota Singkawang, Kalimantan Barat.   

Gadis kecil berusia tujuh tahun itu terpana melihat laut dan mendengar suara debur ombak. Tiba-tiba saja dia berlari kencang menyusuri tepian pantai sambil berteriak seakan mengeluarkan sesak di dadanya. Ketika diperingatkan untuk hati-hati, dengan bahasa yang lugu agar tidak dilarang berlari, dia berteriak “…tolong…tolong…. Wini (nama samaran) tak pernah melihat laut……”. Betapa bahagianya dia, ketika diijinkan berenang ditepian pantai dan berteriak sesukanya. 

Wini, adalah anak sulung Tania. Dalam usia yang belum genap lima tahun, Wini telah menjalani kehidupan yang sangat berat. Selama sekitar tiga tahun, dia mengalami kekerasan fisik dan non fisik dari ayah dan nenek tirinya. Dia pernah begitu takut melihat mie instant karena pernah dipaksa ayah tirinya menghabiskan mie instan sekaligus beberapa bungkus. Ayah tirinya kesal ketika Wini, yang tak berani meminta, memperhatikannya makan mie instant.

Wini adalah anak hasil pernikahan Tania dengan seorang pria Cina warga Malaysia yang berasal dari Johor Bahru. Pernikahan tersebut dilaksanakan di Johor Bahru ketika Tania berusia sekitar 18 tahun. Tania, yang sekarang berusia 29 tahun, tidak pernah berpikir akan menikah pada usia semuda itu.

Tania anak ketujuh dari sembilan bersaudara.  Dua kakak perempuannya tinggal di Taiwan dan satu lagi tinggal di Hongkong karena menikah dengan warga setempat. Dua kakaknya adalah “pengantin pesanan”. Satu lagi kakaknya yang di Taiwan didatangkan oleh kakak Tania yang sudah lebih dahulu tinggal di Negara tersebut. Biaya perjalanan ke Taiwan yang cukup besar menyebabkan Tania, yang juga ingin ke Taiwan, tidak dibawa ke sana.  

Tania pernah sekolah  sampai kelas 2 di Sekolah Menengah Atas swasta yang cukup terkenal di Pontianak. Setelah berhenti sekolah, Tania berkerja sebagai kasir di bengkel motor milik abangnya. Ayahnya tidak memperbolehkannya berkerja dengan orang lain.  Tania tidak mendapat upah atas kerjanya. Abangnya memenuhi keperluan hidup Tania sehari-hari dan memberinya uang saku sekedarnya.

Dalam kondisi tersebut, Tania setuju ketika bibi yang kerabat jauhnya, yang menikah dengan pria Cina warga  Malaysia dan tinggal di Malaysia, menawarkan suami untuknya. Tania hanya berpikir, inilah cara dia meringankan beban keluarganya. Karena Tania setuju menikah, si bibi memberi uang Rp. 5 juta kepada ibu Tania.

Tania berharap, bibinya memberikan kesempatan untuk berkerja terlebih dahulu dan tidak langsung menikahkannya. Dia berharap mendapat gaji sehingga bebas mengatur uangnya sendiri. Akhirnya, Tania berangkat ke Malaysia bersama bibinya. Semua biaya perjalanan termasuk pengurusan paspor dibayar oleh si bibi.

Harapan Tania hanya tinggal harapan. Ketika sudah di Malaysia, bibinya mengatakan jika Tania ingin tinggal lebih lama di Malaysia, dia harus menikah dengan warga Malaysia.  Dia tidak boleh pulang sebelum mengganti uang yang sudah digunakan untuk proses keberangkatannya, selain harus membiayai sendiri proses kepulangannya ke Indonesia.

Tidak ada pilihan lain bagi Tania kecuali  menikah karena dia tidak memiliki uang untuk semua biaya tersebut karena belum berkerja. Belum sampai satu bulan di Johor Bahru, dia diperkenalkan kepada calon suaminya dan tak lama kemudian pernikahanpun dilangsungkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun