Mohon tunggu...
Farhat Faqih
Farhat Faqih Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa sastra Indonesia

Menulis adalah senjata untuk membunuh rasa ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Tradisi Lisan Buleng dari Betawi

5 Oktober 2021   11:00 Diperbarui: 5 Oktober 2021   11:04 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secara definisi, buleng memiliki beberapa versi. Versi pertama, buleng merupakan perujukan pada sebuah nama dari seorang tukang dongeng. Versi kedua, buleng merupakan sebutan untuk merujuk pada suatu jenis kesenian, yakni seni bercerita. Versi ketiga, buleng merupakan sebutan untuk orang yang berprofesi sebagai pendongeng. Jadi kesimpulan yang didapat dari definisi diatas adalah bahwa buleng merupakan sebuah tradisi lisan yang memakai medium dongeng. 

Saat ini tradisi lisan buleng sudah punah. Buleng terakhir kali dijumpai pada tahun 1978. Biasanya kisah yang termaktub di dalam buleng ini berupa kisah kerajaan dengan menggunakan bahasa Melayu tingkat tinggi dan dipadukan dengan bahasa Sunda. 

Tukang buleng ini biasanya dipanggil oleh orang yang hendak berhajat untuk memeriahkan malam ngangkat, yakni malam dimana pesta dilaksanakan. Namun jika kita hendak menelaah lebih dalam lagi mengenai praktik buleng, ngebuleng pada masanya bukan hanya bisa ditemui ditempat berhajat atau acara formal saja. Buleng biasa juga ditemui dikeseharian manakala keluarga sedang kumpul-kumpul atau disaat kumpul antarwarga. Dulu tukang dongeng dapat ditemui di daerah Ciracas, Cijantung, dan Kali Malang. 

Pada praktiknya, ngebuleng sebagai suatu pertunjukan biasanya diawali dengan mendendangkan sapun (nyapun). Yakni berdoa meminta keselamatan kepada Tuhan dan dilanjutkan dengan masuk kedalam cerita. Diakhir ngebuleng biasanya disimpulkan tentang pesan moral yang termaktub didalam cerita dan lalu mengucapkan terimakasih. 

Ngebuleng biasanya dilakukan sambil duduk dan berdiri sesekali untuk menghidupkan cerita. Tukang buleng mengekspresikan ceritanya dengan gerak tangan dan kaki serta acapkali menciptakan sound effect tersendiri. Ngebuleng biasanya berkisar pada waktu 1-2 jam. 

Namun sayang sekali buleng harus terjerumus dalam kepunahan di zaman peradaban maju seperti sekarang. Padahal buleng sangat memberikan dampak yang sangat positif untuk lingkungan sosial masyarakat. Walaupun sudah punah semoga kita bisa membagikan cerita buleng ini kepada masyarakat supaya boleh jadi buleng dapat kembali hidup ditangan masyarakat yang ada. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun