Perubahan dinamika interaksi sosial yang dialami oleh individu seiring dengan bertambahnya usia telah menjadi topik yang menarik perhatian dalam beberapa dekade terakhir. Dalam era di mana interaksi sosial semakin tergantung pada teknologi digital dan mobilitas fisik, pertanyaan mendasar muncul: mengapa tampaknya semakin banyak orang yang merasa lebih sering menyendiri ketika usia mereka semakin tua? Terdapat survey yang dilakukan oleh Our World in Data di Amerika Serikat mengenai pola konektivitas sosial individu sepanjang umur hidupnya.Â
Perbedaan interaksi sosial pada tahap kehidupan merefleksikan beragamnya bentuk konektivitas sosial yang ada. Hal ini menandakan terjadi evolusi hubungan sosial dalam hidup kita dan bagaimana kita menghabiskan waktu bersama dan dengan siapa. Melihat hasil survey di atas, kita dapat melihat adanya perkembangan yang signifikan dalam hubungan sosial sepanjang kehidupan dan bagaimana individu mengalokasikan waktu mereka untuk berinteraksi dengan berbagai pihak, seperti dengan keluarga, teman, anak, rekan kerja, pasangan, dan bahkan dengan diri sendiri. Perubahan pola interaksi sosial dari masa remaja hingga usia tua tentunya merupakan refleksi yang perlu kita pahami.Â
Hubungan sosial sesama manusia berubah seiring waktu, dari remaja hingga usia lanjut. Pola interaksi sosial ini berubah seiring bertambahnya usia, dengan pergeseran dari teman dan keluarga menjadi pasangan dan anak-anak. Terlihat bahwa terjadi perubahan yang nyata dalam pola interaksi sosial sepanjang usia, yang dimana ketika masa remaja dan awal dewasa cenderung didominasi oleh interaksi dengan teman sebaya dan keluarga, sementara pada usia yang lebih matang, perhatian cenderung beralih kepada interaksi dengan pasangan hidup dan anak-anak.Â
Pola ini terus berlanjut hingga usia lanjut, waktu yang dihabiskan dengan rekan kerja menurun dan lebih banyak dihabiskan bersama pasangan. Pada saat usia lanjut, umumnya sudah tidak bekerja lagi, sehingga waktu lebih banyak digunakan untuk dihabiskan bersama pasangan.Â
Fase remaja secara umum ditandai oleh puncaknya berhubungan sosial dengan teman sebaya serta keluarga. Pada remaja terjadi eksplorasi identitas dengan bantuan teman sebaya dan keluarga. Anak remaja hingga awal dewasa yang berumur dari 15-25 tahun lebih sering menghabiskan waktunya bersama keluarga dan juga teman-temannya untuk mencari jati dirinya. Peran keluarga juga dibutuhkan bagi remaja sebagai penyokong keberlangsungan hidup. Sebab, saat masih remaja umumnya masih tinggal bersama orang tua serta mendapat pembiayaan untuk kebutuhan hidup.Â
Kemudian, pada masa dewasa, hubungan sosial lebih sering digunakan untuk teman kerja, pasangan, dan keluarga inti. Pergeseran hubungan sosial dari remaja hingga dewasa mencerminkan transisi alamiah orang dewasa untuk bertanggung jawab atas masa depannya.Â
Berdasrkan hasil survey Our World in Data, pada dewasa umur 25 hingga 60 tahun, banyak orang yang menghabiskan waktunya dengan kolega, pasangan, dan juga keluarganya. Namun, seiring menuju lansia, interaksi dengan teman, teman kerja, dan keluarga menjadi berkurang. Fenomena ini terjadi ketika individu sudah beranjak tua, seseorang hanya dapat mengandalkan orang yang di sekitarnya saja, dahulu seseorang dapat berinteraksi dengan banyak teman, namun seiring berjalannya waktu, teman itu akan mempunyai jalan hidup masing-masing dan mengandalkan diri mereka sendiri untuk kepentingan mereka sendiri pula.Â
Dalam fase lanjut usia, fokus hubungan hanya dihabiskan bersama pasangan dan diri sendiri. Pasangan tentunya adalah orang terakhir yang kita habiskan waktunya bersama, sebab pasangan merupakan rekan hidup utama dalam kehidupan hingga akhir hayat kita. Pasangan hidup juga dapat membantu satu sama lain dalam menjalani kehidupan kedua lansia sehari-hari. Selain dengan pasangan, individu lansia juga lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Hal ini menjadi waktu untuk merefleksikan dirinya selama kehidupan panjang yang telah berlalu.Â
Namun, tampaknya hal ini juga lah yang justru membuat lansia cenderung merasa kesepian. Menurut Tomstad, et al. (2017) para lansia merasa kesepian oleh sebab tiga faktor utama meliputi hidup sendirian, kesehatan mental, serta malnutrisi. Ailshire, et al. (2011) juga menambahkan bahwa lansia merasa kesepian karena hidup sendiri terjadi ketika mereka tidak mempunyai pasangan hidup. Selain itu, kurangnya dukungan sosial dari sekitar juga membuat lansia merasa kesepian (Yeh et al., 2004).Â
Menjadi lansia tentunya akan menghadapi berbagai tantangan, namun untuk mengatasi tantangan tersebut tentunya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ailshire, et al. (2011) mengungkapkan bahwa walaupun lansia rentan untuk merasa kesepian, namun mereka lebih mudah untuk mendapatkan dukungan sosial dari sekitar untuk mendapatkan teman bicara, perlu pula dukungan dari keluarga untuk memperhatikan anggota keluarga kita, terutama pada lansia. Bahkan, Ailshire, et al. (2011) juga mengatakan dalam penelitiannya, bahwa tingkat kepuasan hidup pada lansia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih muda.Â