Karya sastra merupakan salah satu implementasi atau penyaluran alami dari diri manusia. Karya sastra acapkali disebut sebagai cerminan dari kehidupan manusia yang ditampilkan atau dituangkan dalam bentuk tulisan yang mampu menghibur masyarakat. Karya sastra lahir karena adanya keinginan manusia untuk mengungkapkan ide, gagasan, dan perasaan mereka yang ingin disampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu, karya sastra mampu dibaca oleh seluruh kalangan, baik muda atau tua karena dari karya sastra itu sendiri telah memiliki genre yang mampu disesuaikan dengan usianya. Salah satu genre yang akan dibahas lebih lanjut adalah sastra anak.
Sastra anak adalah suatu bacaan yang dikhususkan untuk anak-anak sebagai pembaca dan pengamat. Menurut Nurgiyantoro (2016, hlm. 108) menjelaskan bahwa “Sastra juga menawarkan berbagai bentuk motivasi manusia untuk berbuat sesuatu yang dapat mengundang pembaca untuk mengidentifikasikannya. Apalagi jika pembaca itu adalah anak-anak yang fantasinya baru berkembang dan dapat menerima segala macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak”. Keberadaan sastra anak mampu membantu mereka untuk mencerminkan perasaan dan pengalaman yang dirasakannya. Dalam sastra anak, pembaca dituntut untuk melalukan identifikasi lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai pengamat suatu bacaan. Sastra anak acapkali mampu memberikan dorongan kepada para pembaca untuk meningkatkan kecerdasan intelektualnya guna memahami suatu bacaan yang sedang dibacanya.
Pada sastra anak, pengarang memiliki peranan yang sangat penting, khususnya bagi intelektual dan kepribadian pembaca. Pengarang mampu memberikan pemahaman yang lebih tinggi mengenai kehidupan yang sedang dijalani oleh pembaca yang dikemas melalui dimensi tulisan dan ilustrasi serta disesuaikan dengan usia pembacanya. Oleh karena itu, bacaan yang akan diberikan kepada anak harus disesuaikan dahulu dengan usianya guna memberikan motivasi dan pengetahuan yang sesuai dan bermanfaat. Hal ini menjadikan pengarang pada genre sastra anak harus memiliki observasi dan pengetahuan yang luas mengenai dunia anak. Selain itu, pengarang pun mampu menuangkan kosa kata yang dapat dimengerti oleh pembaca guna melahirkan imajinasi yang beragam.
Lukens (1999) menyebutkan bahwa genre sastra memiliki enam jenis yaitu realisme (ceritanya memiliki tingkat keaslian yang nyata), fiksi formula (genre yang memiliki pola-pola tertentu), fantasi (cerita yang sulit untuk diterima oleh akal), sastra tradisional (cerita rakyat), puisi (karya sastra yang memiliki unsur bahasa) dan nonfiksi (genre yang memiliki kadar artistik yang tinggi). Dari keenam jenis tersebut, pengarang Indonesia acapkali menggunakan genre sastra tradisional dan puisi sebagai penunjang dalam tulisannya. Sastra tradisional dibedakan menjadi beberapa jenis, salah satunya cerita rakyat dan legenda. Tulisan tersebut mampu memberikan nilai sejarah guna memperkenalkan kehidupan zaman dulu kepada anak muda generasi baru. Hal tersebut mampu membantu anak untuk mengembangkan imajinasinya mengenai negara Indonesia dan memiliki rasa ingin tahu lebih tinggi mengenai cerita daerahnya masing-masing.
Nurgiyantoro (2016, hlm. 114) menjelaskan bahwa, “sastra tradisional berasal dari cerita yang telah mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan dikisahkan secara turun temurun secara lisan”. Sastra tradisional tidak diketahui pengarangnya siapa dan dimulainya dari kapan. Namun, cerita tersebut berjalan mengalir pada arahnya sehingga menghasilkan karya yang baik untuk dibukukan serta dikenang sepanjang masa. Sampai saat ini, sastra tradisional masih digemari oleh kalangan anak-anak. Namun, pengemasan sastra tradisional menjadi lebih baik dan dikemas dengan berbagai bahasa Internasional. Selain itu, sastra tradisional acapkali diketahui dalam bentuk lisan yang ditayangkan pada televisi atau youtube sebagai salah satu media yang efektif dan efisien. Sastra tradisional yang dikenal oleh masyarakat seperti malin kundang, bawang merah dan bawang putih, danau toba, cinderella, nyi roro kidul, sangkuriang, dan lain sebagainya.
Biran (2010) menyebutkan bahwa sama halnya seperti karya sastra, film juga merupakan media untuk mengekspresikan ide, gagasan, dan perasaan yang hendak disampaikan kepada penonton. Film acapkali dikemas dengan visual dan audio yang baik guna menciptakan imajinasi yang sesuai dengan alur cerita tersebut. Keberadaan film berhubungan erat dengan karya sastra tulis, karena banyak sekali karya sastra tulis yang diadaptasi menjadi sebuah film. Namun, banyak juga yang sedikit kecewa akan hal tersebut, karena pengemasan visual film tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan oleh penikmatnya. Hal tersebut didukung oleh penjelasan Itafarida (2006, hlm. 4) yang menjelaskan bahwa, “Mereka dituntut untuk dapat memenuhi horizon harapan para penggemar media aslinya. Oleh karena karya acuannya sudah mendapat pengakuan yang luas dari masyarakat maka sudah barang tentu ada standar-standar tertentu yang harus dipenuhi oleh kru film tersebut. Apabila mereka gagal memenuhi harapan penontonnya, akibatnya bisa fatal, film tersebut akan jeblok dalam pemasaran”. Oleh karena itu, pengemasan film perlu diperhatikan kembali guna menghasilkan karya yang maksimal dan mampu menarik perhatian penontonnya.
Selain itu, film dapat dijadikan sebagai media apresiasi sastra yang termasuk ke dalam bentuk dokumentasi karya sastra. Rosdiana, dkk (2008, hlm. 5) menjelaskan bahwa, “Pendokumentasian karya sastra adalah usaha mendokumentasikan karya sastra yang sedang dibaca, didengar atau dilihat. Hal ini termasuk ke dalam apresiasi karena ikut melestarikan keberadaan karya sastra”. Hal tersebut menunjukkan bahwa film selaras dengan tujuan dari adanya sastra anak dan tradisional guna melestarikan suatu cerita yang akan disalurkan secara turun temurun kepada anak dan cucunya kelak. Tindakan tersebut memiliki tujuan khusus supaya cerita yang diberikan oleh nenek moyang dapat terjaga dengan baik. Selain film atau dokumentasi, sastra anak pun dikemas dalam bentuk puisi.
Hikmat, dkk. (2017, hlm. 11) mengatakan “puisi adalah interpretasi penyair terhadap kehidupan yang merefleksikan isi curahan pemikiran dan perasaannya terhadap realitas di sekitarnya”. Puisi acapkali dikenal sebagai tumpahan perasaan manusia, baik itu emosi baik atau buruk. Manusia selalu meluapkan segala rasa dan pikirannya kepada tulisan dengan gaya bahasa yang penuh akan makna. Hal tersebut masih sering digunakan sampai saat ini. Bila manusia sedang risau atau galau akan perasaannya, mereka pasti langsung menuangkannya pada tulisan berbentuk bait. Selanjutnya, mereka akan menyebarluaskan hal tersebut di sosial media. Salah satu contoh puisi pada sastra anak adalah lirik tembang nina bobo yang masih terkenal sampai saat ini. Nurgiyantoro (2016, hlm. 118) menjelaskan bahwa, “di Jawa misalnya, ada banyak tembang dolanan anak-anak, misalnya sluku-sluku bathok, cublak-cublak suweng, jamuran, dan lain-lain”.
Puisi dalam sastra anak dapat diciptakan oleh siapa saja. Mulyaningsih (2015, hlm. 15) menjelaskan bahwa, “Penulis sastra anak dapat siapa saja yang penting mengetahui dan memahami pengetahuan perihal anak-anak. Hal ini seperti yang telah disampaikan di atas bahwa sastra anak menempatkan anak sebagai central atau pusat. Oleh karena itu, penulis sastra anak dapat berasal dari anak-anak maupun orang dewasa”. Puisi yang telah diciptakan acapkali mampu menumbuhkan kreativitas anak dan menjadikan mereka memiliki kemauan untuk mengembangkan apa yang telah dibacanya. Pembuatan puisi tidak memiliki batas yang signifikan, tetapi pemilihan kata yang digunakan harus lebih diperhatikan karena puisi terdiri dari rangkaian kata yang penuh akan makna. Keberadaan puisi memiliki dampak baik bagi penyaluran emosi anak dan menambah pengetahuan akan dunia sekitar.
Berdasarkan pemaparan di atas. Maka dapat penulis simpulkan bahwa karya sastra merupakan cerminan kehidupan dalam masyarakat, salah satunya adalah anak-anak. Sastra anak sendiri merupakan genre yang diciptakan khusus bagi anak-anak. Dalam hal ini pun anak-anak dapat menjadi pusat atau penulis sastra anak karena mereka dinilai lebih memahami dunianya sendiri sehingga karya yang dibuat pun lebih sesuai dengan usianya. Dalam mengapresiasi sastra anak, terdapat beberapa cara diantaranya melalui film dan puisi. Kedua media tersebut dapat menjabarkan ide, gagasan, dan perasaan pengarangnya, bedanya dalam film penggambarakan dapat dilakukan secara langsung sedangkan dalam puisi penggambaran dilakukan secara imajinasi dibantu diksi dan kiasan yang dapat memperluas makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H