Kematian yang menakutkan
Kematian seperti kita berusaha mengingat sesuatu. Ketika lupa, ingatan menjadi samar seakan timbul , ternyata tidak, yang terjadi ingatan tenggelam di dasar kepala. Sewaktu ingatan timbul kita baru bisa memastikan kejadian apa yang dilupakan sebelumnya.  Timbul-tenggelam nya ingatan  seperti kematian yang keberadaanya terasa samar. Walau terlihat samar, tapi kehadirannya ada---timbul-tenggelam. Hanya saja kita yang membuatnya terus tenggelam.
Kengerian yang selalu ditampilkan kematian membuat manusia tidak mau mengakuinya, cenderung takut berhadapan dengannya. Bagi seneca memang wajah kematian seringkali dipersepsi buruk rupa. "have an outward appearance of badness," (punya tampilan luar yang buruk) kata Seneca. Filsu Stoa itu juga menyebut kematian sebagai "Death too has a bad reputation".
Hal tersebut yang membuat kita tidak mengakui kematian---karena rasa takut akan kematian. Kehadirannya lebih baik diabaikan, dibuat tenggelam hingga tak nampak ke permukaan. Memang sudah sepatutnya, karena akarnya terletak pada sifat bawaaan manusia. Kita manusia dibekali insting untuk melestarikan diri (membuat diri kita tetap hidup). Seneca juga menyadari hal demikian, "just as we all are motivated by self-preservation," (Epistle 36.7-- 12) katanya kita hidup didorong dengan insting kehidupan (suatu cara untuk terus bertahan hidup). Akibatnya, secara spontan kematian dilihat sebagai ancaman yang membuat kita bertindak untuk melindungi diri (menghindari, melupakan, mencemaskan).
Bagi Seneca yang buruk bukan kematian, tapi cara manusia melihat kematian. Oleh karenanya yang patut disalahkan bukan kematian melainkan persepsi manusia terhadap kematian. Seneca menegaskan hal demikian dengan menyampaikan "if there's anything troubling or fearsome in this business, it's the fault of the dying man, not of death," (Epistle 30) Pungkas sang filsuf. Â
Seneca memberi alasan mengapa demikian, katanya, "Often we ought to die but don't wish to, or are dying but don't wish to" (Epistle 77.5-- 20). Bagi Seneca cara pandang demikian merupakan kebodohan, karena bagaimana caranya kita hidup tapi tidak mau mati. Keduanya adalah paket yang harus diterima sejak kita dilahirkan. Kalau kita tetap bertahan pada mode spontan kita didalam melihat kematian---keinginan untuk hidup dan penyangkalan kematian---maka kedua hal itu tidak satu, tapi bertentangan satu sama lain. Â Dan menjadi sumber ketakutan yang dirasakan manusia selama hidup.
Ketakutan terhadap kematian juga menyeret manusia kepada  "Perbudakan".  Seneca menyebut budak sebagai seseorang yang tunduk dan tidak berdaya. Katanya, "you're a slave to people, to things, to life. for a life lived without the courage to die is slavery" (Epistle 77.5-- 20). Kecintaan berlebih pada kehidupan membuat manusia terbuai, sehingga takut melepaskan sesuatu yang memanjakan tubuhnya. Seneca menganggap  cinta-tubuh sebagai kerangkeng---yang kuncinya dipegang oleh malaikat maut.
Kecintaan pada tubuh membuat kematian sebagai musuh yang tak terkalahkan, dampaknya membuat manusia disandera oleh sang majikan (malaikat maut). Kematian sebagai musuh akan terus merongrong, mengancam, dan membuat manusia tidak berdaya. Â Manusia itu akan terus bertekuk lutut untuk meminta ampunan. Lehernya sudah diikat oleh sang majikan, si budak dijinjing setiap hari untuk mengikuti arah kemana sang majikan pergi.
Di dalam situasi seperti itu, sang majikan, malaikat maut, membisikan ancaman kepada kita untuk melakukan apapun yang dia mau. Termasuk hal hal yang menihilkan prinsip hidup. Â Karenanya, Perbudakan---cinta-diri yang berlebihan, bukan hanya menyebabkan kecemasan seumur hidup tapi juga akan menihilkan integritas.
Seneca mengatakan hal demikian dan memberikan contoh, katanya "fear of death not only makes dying more difficult but diminishes the nobility and moral integrity of all of life. But many are ready to swap worse things for it: to betray a friend I order to live longer, or to hand over their children, with their own hands, for lechery, just to see the next daw." (On Serenity of Mind 11.4) Jika Pada waktunya,terdapat pilihan, antara mati yang mulia atau hidup yang busuk, kita akan menjadi oportunis---jika takut terhadap kematian---dengan memilih untuk hidup. Dan Cerita tersebut merupkan cerita bagaimana manusia terpenjara pada instingnya sendiri.
Kerelaan untuk mati