Mohon tunggu...
Farhan Nugraha
Farhan Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalis

Manajer Komunikasi Publik Netfid Indonesia | Reporter Investortrust | Fungsionaris PB PMII

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PMII dan Meritokrasi ala Rafsanjani

17 April 2024   14:28 Diperbarui: 17 April 2024   14:30 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekretaris Jenderal PB PMII Muhammad Rafsanjani. Sumber: pribadi

Tidak ada yang lebih tepat dibandingkan dengan pilihan mengangkat kembali pemikiran meritrokasi ala Sekretaris Jendral Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Muhammad Rafsanjani.

Melalui meritokrasi, Rafsanjani, yang belum genap 40 hari telah mendahului kita semua, mengajak seluruh warga pergerakan untuk melakukan kritik otokritik terhadap berjalannya roda organisasi PMII.

Menyambut momentum peringatan Hari Lahir PMII ke-64 tahun, tulisan ini sejenak mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali orientasi dan tantangan zaman yang akan dihadapi organisasi ini ke depan.

PMII yang notabene lekat dengan kultur jam'iyyah Nahdlatul Ulama', kerap kali berbenturan dengan tradisi feodalisme hingga patronase. Di tengah situasi tersebut, sistem meritokrasi menjadi alat untuk membawa PMII bertransformasi menjadi organisasi kader yang modern dan intelektual berasaskan Islam Ahlussunnah wal' Jamaah an-Nahdliyah.

Mengapa Meritokrasi?

Meritokrasi sendiri adalah sebuah sistem di mana kesempatan diberikan kepada individu berdasarkan kompetensi. Meritokrasi berarti menentang untuk mengukur kesempatan individu berdasarkan faktor eksternal, seperti keturunan atau 'orang dalam'.

Bukan tanpa alasan, Rafsan membumikan kembali istilah meritokrasi atas dasar realita yang telah ia temui selama bertahun-tahun. Atas dasar kapasitas sebagai Sekjen PB PMII serta Anggota Bidang Kaderisasi Nasional PB PMII 2017-2021, Rafsan menemukan persoalan hampir di seluruh wilayah di mana kader menggantungkan sejak dini harapan masa depan kepada orang lain.

Ibarat fenomena gunung es, realita tersebut akan menjadi sangat berbahaya apabila tidak disorot dengan serius. Melalui meritokrasi, Rafsan mendorong agar kader-kader PMII turut meyakini bahwa penentu masa depan ialah atas dasar kemampuan diri sendiri.

Masih atas dasar kapasitas yang sama, Rafsan juga melihat realita ketidakpercayaan diri kader PMII apabila harus bersaing dengan komunitas lain. Hal tersebut dikhawatirkan Rafsan bermuara dari kebiasaan mengandalkan jejaring atau orang dalam atau pihak eksternal di luar diri sendiri.

Melalui meritokrasi, Rafsan memberikan batasan yang jelas antara kompetensi diri dan jejaring organisasi. Mengibaratkan dengan makanan, Rafsan menyebut kemampuan serta kompetensi diri sebagai makanan pokok seperti nasi, sayur, lauk pauk, buah dan susu. Rafsan menyebutkan seorang kader tetap dituntut memiliki jejaring organisasi namun dalam kapasitas sebagai sumplemen pendukung.

Menjadi berbahaya apabila seorang kader mengkonsumsi suplemen untuk dijadikan makanan pokok dan dalam jangka waktu yang terus menerus. Hal ini yang dikhawatirkan Rafsan sehingga ia menginisiasi untuk membumikan kembali istilah meritokrasi.

Menerobos Kultur dan Tradisi Feodal

Namun bukan tanpa celah, Rafsan menyadari implementasi sistem meritokrasi tidak akan mudah dijalankan oleh seluruh tingkatan pengurus struktural PMII. Bahkan Rafsan telah memprediksi, setidaknya membutuhkan waktu hingga 30 tahun agar sistem ini secara otomatis terimplementasi dam menjadi budaya.

Untuk memutus mata rantai musuh utama sistem meritokrasi, disebut oleh Rafsan kader-kader PMII harus terlebih dahulu menerobos kultur dan tradisi feodal. Orientasi mengandalkan 'orang dalam' hingga mengukur kapasitas individu berdasarkan keturunan, harus bersama ditendang jauh dari pola pikir seorang kader PMII.

Dan bukan tanpa alasan, Rafsan menilai generasi saat ini memikul beban sejarah. Kultur feodal dan menjauhkan agama dari kompetensi berbasis ilmu pengetahuan disebut Rafsan sebagai warisan dari gejala post kolonial.

PMII dan seluruh kadernya dapat menjadi entitas jam'iyyah Nahdlatul' Ulama (NU) yang memadupadankan antara nilai-nilai spiritual agama dengan kompetensi berbasis ilmu pengetahuan.

Untuk menuju sistem meritokrasi yang sempurna, Rafsan mendorong kader-kader PMII untuk turut meningkatkan kompetensi berbasis ilmu pengetahuan namun tidak meningkalkan ciri sebagai umat yang berasaskan Islam Ahlussunnah wal' Jamaah an-Nahdliyah. Karena bagi Rafsan, pemenang sejati tidak ditentukan berdasarkan garis keturunan.

Sekretaris Jenderal PB PMII Muhammad Rafsanjani. Sumber: pribadi
Sekretaris Jenderal PB PMII Muhammad Rafsanjani. Sumber: pribadi
Implementasi Menuju Meritokrasi

Dengan segala keterbatasan, Rafsan berupaya mengorkestrasi seluruh narasi tentang meritokrasi ke dalam sebuah realisasi program kerja. Hal tersebut dapat terlihat dari program yang dibawa oleh PB PMII periode 2021-2024.

Di bawah kepengurusan Ketua Umum Muhammad Abdullah Syukri alias Abe dan Sekjen Rafsanjani, PB PMII merealisasikan dibentuknya Lembaga-Lembaga profesi untuk menunjang peningkatan kompetensi kadar. Ide tersebut berawal dari kesadaran Abe dan Rafsan yang memandang bahwa ruang aktualisasi diri kader PMII tidak hanya berkutat pada ruang agama, pendidikan dan politik.

Melalui Bidang Perguruan Tinggi PB PMII, Abe dan Rafsan juga mempersiapkan kader-kader untuk bersaing dengan komunitas lain, yakni dengan diluncurkannya program Scholin. Dengan Scholin, kader-kader PMII dilatih untuk meningkatkan kompetensi berbahasa asing dan nalar psikologis untuk bertarung dalam gelanggang seleksi memperoleh beasiswa Lembaga Penyedia Dana Pendidikan (LPDP).

Karena bagi Abe dan Rafsan, seleksi beasiswa LPDP menjadi salah satu gelanggang yang menunjukkan di mana sistem meritokrasi tersebut. Sedikit atau banyaknya kader PMII yang berhasil, menjadi cerminan sejauh mana sistem meritokrasi bekerja dalam roda organisasi.

Selain itu Rafsan juga telah menginisiasi pembentukan kelompok studi sejak ia menjabat sebagai Ketua PC PMII Ciputat beberapa waktu silam. Menurut Rafsan, kelompok studi tersebut memiliki konsep fakultatif. Namun penulis memiliki keterbatasan sumber terkait dengan penjelasan kelompok studi ini.

Visi Indonesia Emas 2045

Layaknya pemimpin nasional, ide Rafsan soal membumikan kembali sistem meritokrasi di tengah kader PMII ialah didasari atas visi besar 20-30 tahun ke depan. Melalui meritokrasi, Rafsan mengingatkan kembali kader-kader PMII untuk tidak hanya menjadi penumpang kapal besar yang bergerak menuju Visi Indonesia Emas 2045.

Pada tahun 2045 mendatang, Rafsan meyakini wajah NU masa depan ialah apa yang terlihat pada PMII di masa kini. Dalam menjalakan tugasnya sebagai salah seorang pimpinan PMII, Rafsan ingin memastikan organisasi bergerak ke arah yang tepat dengan mencetak kader-kader yang hebat.

Rafsan juga meyakini saat ini kemajuan NU berada di depan mata, tergantung bagaimana PMII bekerja. Satu cita-cita besarnya ialah bagaimana NU yang ditopang oleh kader PMII menjadi kontributor utama terwujudnya Indonesia Emas 2045.

Refleksi Diri Kader PMII

Sebagai kader PMII dan sekaligus menyambut hari lahir organisasi yang ke-64 tahun, satu-satunya tugas kita ialah membuktikan bahwa Rafsan salah.

Membuktikan bahwa Rafsan salah tentang realita kader PMII yang menggantungkan masa depan bukan kepada diri sendiri. Membuktikan bahwa Rafsan salah tentang kader PMII tidak memiliki daya juang dan daya saing.

Membuktikan bahwa Rafsan salah tentang tidak butuh hingga 30 tahun untuk menjadikan sistem meritokrasi sebagai budaya organisasi. Dan pada akhirnya, melanjutkan cita-cita Rafsan untuk mewujudkan NU yang ditopang oleh kader PMII sebagai kontributor utama dari terwujudnya Indonesia Emas 2045.

Dengan tetap menaruh hormat kepada pimpinan teras PB PMII lain, penghormatan tertinggi layak diberikan kepada Sekjen Rafsanjani yang telah gugur dalam mengemban tanggungjawab organisasi. Tangan terkepal dan maju ke muka!

Selamat Harlah PMII ke-64 tahun, Selamat jalan Sekjen kami Muhammad Rafsanjani. Alfatihah.

*Farhan Nugraha, Kader PMII Jakarta Timur

Tulisan ini bersumber dari Siniar kanal Youtube Swara NU yang tayang pada 9 Januari 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun