Menerobos Kultur dan Tradisi Feodal
Namun bukan tanpa celah, Rafsan menyadari implementasi sistem meritokrasi tidak akan mudah dijalankan oleh seluruh tingkatan pengurus struktural PMII. Bahkan Rafsan telah memprediksi, setidaknya membutuhkan waktu hingga 30 tahun agar sistem ini secara otomatis terimplementasi dam menjadi budaya.
Untuk memutus mata rantai musuh utama sistem meritokrasi, disebut oleh Rafsan kader-kader PMII harus terlebih dahulu menerobos kultur dan tradisi feodal. Orientasi mengandalkan 'orang dalam' hingga mengukur kapasitas individu berdasarkan keturunan, harus bersama ditendang jauh dari pola pikir seorang kader PMII.
Dan bukan tanpa alasan, Rafsan menilai generasi saat ini memikul beban sejarah. Kultur feodal dan menjauhkan agama dari kompetensi berbasis ilmu pengetahuan disebut Rafsan sebagai warisan dari gejala post kolonial.
PMII dan seluruh kadernya dapat menjadi entitas jam'iyyah Nahdlatul' Ulama (NU) yang memadupadankan antara nilai-nilai spiritual agama dengan kompetensi berbasis ilmu pengetahuan.
Untuk menuju sistem meritokrasi yang sempurna, Rafsan mendorong kader-kader PMII untuk turut meningkatkan kompetensi berbasis ilmu pengetahuan namun tidak meningkalkan ciri sebagai umat yang berasaskan Islam Ahlussunnah wal' Jamaah an-Nahdliyah. Karena bagi Rafsan, pemenang sejati tidak ditentukan berdasarkan garis keturunan.
Implementasi Menuju Meritokrasi
Dengan segala keterbatasan, Rafsan berupaya mengorkestrasi seluruh narasi tentang meritokrasi ke dalam sebuah realisasi program kerja. Hal tersebut dapat terlihat dari program yang dibawa oleh PB PMII periode 2021-2024.
Di bawah kepengurusan Ketua Umum Muhammad Abdullah Syukri alias Abe dan Sekjen Rafsanjani, PB PMII merealisasikan dibentuknya Lembaga-Lembaga profesi untuk menunjang peningkatan kompetensi kadar. Ide tersebut berawal dari kesadaran Abe dan Rafsan yang memandang bahwa ruang aktualisasi diri kader PMII tidak hanya berkutat pada ruang agama, pendidikan dan politik.
Melalui Bidang Perguruan Tinggi PB PMII, Abe dan Rafsan juga mempersiapkan kader-kader untuk bersaing dengan komunitas lain, yakni dengan diluncurkannya program Scholin. Dengan Scholin, kader-kader PMII dilatih untuk meningkatkan kompetensi berbahasa asing dan nalar psikologis untuk bertarung dalam gelanggang seleksi memperoleh beasiswa Lembaga Penyedia Dana Pendidikan (LPDP).
Karena bagi Abe dan Rafsan, seleksi beasiswa LPDP menjadi salah satu gelanggang yang menunjukkan di mana sistem meritokrasi tersebut. Sedikit atau banyaknya kader PMII yang berhasil, menjadi cerminan sejauh mana sistem meritokrasi bekerja dalam roda organisasi.