Para penatap cendekia mengucapkan dengan memilih lapis yang lebih lembut: globalisasi itu menjadi universalisasi. Dan, aku memilih tatapan ini: dunia menjadi puisi, zaman sedang memuisi....
Engkau saksikan warna-warni bercampur aduk. Engkau saksikan nilai-nilai membaur. Engkau saksikan wajah dunia merancu. Engkau saksikan kemarin manusia masih mencoba menemukan kebenaran di dalam dirinya sambil mengurai kesalahan dari langkahnya, dan engkau saksikan kini manusia mengawinkan keduanya secara lembut dan penuh kedamaian.
Engkau saksikan penyikapan nilai, kebudayaan, politik bahkan hukum telah hampir kehilangan kemungkinan untuk menemukan kediriannya yang utuh pada kutub kebaikan atau kutub lawannya, pada titik keindahan atau titik sebenarnya. Engkau saksikan perdamaian dan peperangan di rekayasa dalam ketidakmampuan sumber nilai. Engkau saksikan demokrasi, agama, moralitas, ilmu, dan cinta kasih, diboros-boroskan tanpa kamus. Engkau tidak bisa lagi menyaksikan " seseorang ", "sebuah pihak" "sebuah kubu". Engkau hanya menyaksikan cabikan-cabikan yang tak bisa engkau rumuskan dengan ilmu apapun: engkau hanya menemukan puisi.
Zaman telah memuisi
Pengutuban tidak ada. Polarisasi sirna. Sekat-sekat berlaku hanya sesaat sebuah manusia hanya bisa memindahkan kayu serta kemana saja kapan saja bergantung spontanitas kepentingan diri, kemauan politik, selera budaya, serta kepandiran spiritual, yang semuanya di romantisasi kan, diberi kostum pemaknaan artifisial dan cangkokan.
Engkau tidak bisa lagi saat-saat ini lukisan-lukisan konvensional, yang natural, figuratif, atau segala macam garis yang masih bisa diidentifikasikan. Di tempat tertentu manusia telah tiba pada tingkat Rabu dan kehampaan pikiran sedemikian rupa: seorang temanmu berwawasan denganmu ketika berjalan ke Malioboro, 100 m berikutnya temanmu itu diberitahu oleh temanmu yang lain bahwa engkau sedang memancing di sungai tapi hutan dan temanmu itu yakin kau sedang ada di hutan.
Maka dari itu, zaman sedang sungguh-sungguh memuisi.
Kehidupan tampil kepadamu bukan sebagai bentuk-bentuk, melainkan sebagai kristal. Kebudayaan dan peradaban tidak hadir dihadapanmu sebagai wujud-wujud tertentu, tetapi sebagai gas ama lembut. Baik yang kau hirup secara udara segar maupun yang memingsankanmu sebagai gas beracun.
Maka dari itu, tetaplah kini Yogyakarta: aku mencium bau harum lahirnya penyair penyair baru, lahirnya ke penyairan baru dari penyair-penyair lama, lahirnya puisi-puisi baru hasil sublimasi dari proses politika masa silamnya.
Aku berada di ujung ekor dari proses itu. Aku berterima kasih kepada sang maha penyair yang tetap memperkenan kan ku untuk ikut bergabung dalam perlombaan marathon amat panjang itu.
Referensi Buku: "Emha Ainun Nadjib, Sedang Tuhan pun Cemburu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H