Mohon tunggu...
Farhan Mustafid
Farhan Mustafid Mohon Tunggu... Penulis - penulis

"Ke-Aku-an" Ini perkara baju, tapi ketelanjangan "diri" yang begitu Sunyi dalam riuh-riuh realitas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemerdekaan adalah Kesunyian

18 Agustus 2023   11:12 Diperbarui: 18 Agustus 2023   11:23 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar:Instagram/Farhanmustafid

Dalam riuh, ramai, kebisingan.
Dalam sepi, hampa, kesunyian.
Terselip sesuatu yang selalu diidam-idamkan manusia.
Kemerdekaan.


Selama ini kita menganggap bahwa kemerdekaan hanya muncul dari benih semangat yang menggelora. Padahal sejatinya kemerdekaan tak hanya lahir dari pekik dan letupan. Ia juga terwujud dari relung-relung kesunyian. Namun, kesunyian itu selama ini tertutup oleh sisi euforianya.
Presiden Soekarno tokoh penting gerakan revolusi yang memimpin kita menuju kemerdekaan---adalah figur yang penuh semangat dan bergelora. Pidatonya selalu memukau dan menggetarkan. Tapi dibalik itu, dari kesunyian, dia kerap menelurkan buah-buah pikiran penting.
Salah satu yang terkenal adalah pleidoinya "Indonesia menggugat" yang ditulis di penjara. Gugatannya itu menjadi salah satu titik penting perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. Buah pikir dari ruangan dingin dan sunyi itu mampu menjadi perhatian internasional, diberitakan di berbagai media massa saat itu, serta membuka mata dunia akan kekejaman belanda.
Demikian juga saat Soekarno diasingkan ke daerah-daerah terpencil. Itu adalah momen berat baginya, namun juga menjadi sebuah berkah. Salah satunya adalah pengalaman yang dia ceritakan ke wartawan Cindy Adam.
"Di Ende yang terpencil dan membosankan itu, aku memiliki banyak waktu untuk berpikir".
Rasa sepi dan terasing tanpa kawan justru membuatnya terus berhasrat untuk pulang. Sekaligus kian membakar semangat patriotismenya. Bahkan di pulau sunyi itu Soekarno mampu merenung dan mendapat ilham yang kemudian menjadi pilar ideologis bangsa Indonesia, Pancasila. (Adams:2018)

Jeda memang kerap membuat orang melihat apa yang sebelumnya sering terlewat oleh indra. Pandangan lebih objektif, khidmat, luas dan tajam. Orang pun lebih bisa melakukan refleksi. Itulah mengapa kita membaca banyak riwayat tokoh yang mendapat pencerahan melalui kesunyian. Nabi Muhammad berdiam di gua Hira, Sidharta Gautama di bawah pohon bodi di hutan, atau kisah Arjuna yang menyepi di puncak Indrakila.


Dalam konteks hari kemerdekaan, kita pun tak dapat mengesampingkan momen-momen sunyi itu. Momen yang mungkin juga tak hanya dialami bung karno, tapi juga para pendiri bangsa lainnya.
Selama ini, setiap momen kemerdekaan hanya membuat kita hanyut pada gegap gempita. Mulai diskon-diskon yang diberikan di mal-mal, lomba-lomba, baliho pejabat atau politisi dengan latar belakang ucapan Dirgahayu Indonesia bertebaran, acara oleh partai politik, dan tentu dangdutan. Kesunyian hanya ada pada proses mengheningkan cipta saat upacara detik-detik proklamasi.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan gempita hari kemerdekaan. Namun, hari kemerdekaan pun layak kita rayakan dengan keheningan pula agar kita bisa merenungkan makna kemerdekaan ini.


Mungkin kita perlu memikirkan lagi apakah masyarakat sudah merdeka dari biaya hidup yang mencekik, merdeka dari ketidakpastian hukum, merdeka berpikir dan berekspresi tanpa dipersekusi, bebas berkeyakinan tanpa takut, merdeka dari politisi yang mengobral mimpi-mimpi dan lain sebagainya. Atau, mungkin memikirkan apakah perayaan kemerdekaan kita sebelum-sebelum ini sudah tepat atau justru hanya seremoni, hura-hura, atau bahkan banyak dipolitisasi.


Semua itu memang sulit kita tangkap. Namun, jeda kehidupan ini bisa kita jadikan momen untuk mundur sejenak dari semua hiruk-pikuk kehidupan yang membuat pikiran kita sibuk. Barangkali dalam perayaan yang sepi, kita justru lebih memaknai apa itu merdeka.

Semilir sejuk, mencuat fajar, rerumputan bergoyang, seolah semuanya berbicara, dalam renungan menenggelamkan senja

Kucintai kesunyian, bagai semua menghilang, ku rasakan kemerdekaan, mutlak sebagai manusia sejati.

Farhan Mustafid. S.H.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun