"Mengapa ada orang-orang tertentu yang harus menderita dalam dunia dan semesta yang indah ini? Mengapa orang tidak bisa hidup bersama dalam damai dan kerukunan, dalam penikmatan segala yang indah dan benar dan baik dalam alam serta kehidupannya?"
Y.B. Mangunwijaya, Burung-Burung Rantau (1992)
Mengenang Romo Mangunwijaya
Manusia dan kemanusiaan di dunia yang terus berubah adalah topik besar yang direfleksikan oleh Y.B. Mangunwijaya dalam karya-karyannya, termasuk dalam hal-hal yang berkenaan dengan gagasannya mengenai pendidikan. Pada manusia ada hati nurani, yang menjadi "rumah" asal-usul mengalirnya rasa kemanusiaan manusia. Melalui pendidikan yang membebaskan, manusia menemukan dirinya berada di dunia Tarik-ulur dan melihat dengan lebih terang harga dari keputusan-keputusan yang dibuatnya.
Dalam bahasa Latin, hati nurani berarti conscientia. Kata conscientia memberikan gamabaran tentang ikatan batiniah antara manusia dan pengetahuan yang dimilikinya. Sebagaimana pengetahuan tidak pernah datang dengan sendirinya, manusia dengan pengetahuannya (homo cum scientia) tidak pernah existing dan sekaligus operating secara tiba-tiba. Di arena pendidikanlah, menurut Romo Mangun, kemampuan manusia untuk berpengetahuan berjumpa dengan tantangan-tantangan yang mendewasakan.
Romo Mangun menerapkan gagasannya mengenai kemanusiaan dan pendidikan yang membebaskan, antara lain dengan mendirikan Sekolah Dasar Mangunan tahun 1990-an. Sekolah tersebut mengambil jalan alternatif dibandingkan dengan format sekolah-sekolah konvensional pada masa itu. Dari pada mengikuti proses belajar yang bersifat dogmatis, di situ manusia muda berinteraksi dengan kawan-kawan dan lingkungannya, mengenal diri dan dunia, membangun imajinasi dengan mimpi-mimpinnya, serta belajar untuk "menguasai diri" dari pada "menguasai materi"maupun "menguasai orang lain".
Yang ditempuh Romo Mangun itu menggemakan pepatah Afrika: "It takes a village to raise a child." Pepatah ini menyuratkan, arena pendidikan lebih kompleks dan spontan dari pada sekedar ruangan-ruangan kelas dengan segala tata caranya. Kompleksitas-sebagaimana yang terjadi pada sebuah kampung (bukan ruang kelas) diyakini menjadi dasar berlangsungnya pembentukan atau formasi karakter manusia individual. Kompleksitas manusia yang individual sekaligus sosial mewujud dalam eksistensial warga ditengah konteks kehidupan bersama (communio).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H