Mohon tunggu...
Farhan Isbakhi
Farhan Isbakhi Mohon Tunggu... -

Pemerhati narasi dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cita-cita mau jadi Perampok, Eeh kena rampok duluan

2 Januari 2014   17:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:14 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang blogger di Kompasiana bernama M Alinapiah Simbolon menulis dengan lugas tentang "Hidangan Basi" pada Pemilu 2014 yang akan datang. Basi, karena Alinapiah menulis bahwa A90,5 persen dari keseluruhan anggota DPR RI masih mencalonkan kembali. Dari 560 anggota DPR RI periode 2009-2014 hanya 53 orang yang tidak ikut pencalegan. Sebutkanlah Partai Demokrat yang mencalonkan 133 orang anggota DPRnya, Partai Golkar dengan 92 orang, PDIP 84 orang, PKS 57 orang, PAN 42 orang, PPP 33 orang, Gerindra 24 orang, PKB 26 orang dan Hanura 16 orang.

Optimis? Jauuh. Orang yang mengikuti perkembangan berita politik, penyelenggaraan negara, isu-isu kesejahteraan bagi orang banyak, demokrasi, pemberantasan korupsi dan hak asasi manusia, tentu sangat pesimis akan ada perubahan yang berarti dari pemilu legislatif. Kenapa? Karena DPR yang lalu lebih terkenal karena citranya sebagai perampok uang negara. Menurut angka dari Litbang KPK sejak KPK dibentuk telah menangani 385 kasus korupsi. Anggota DPR dan DPRD paling banyak dalam daftar pelaku korupsi sejumlah 72 kasus, diikuti lembaga kementerian 9 kasus, duta besar 4 kasus dan komisioner 7 kasus. Angka berikutnya adalah 9 kasus melibatkan gubernur, 34 kasus melibatkan walikota/bupati dan wakilnya, pejabat eselon I,II, III 114 kasus, hakim 8 kasus, pihak swasta 87 kasus dan lain-lain 41 kasus.

Anggota legislatif adalah 3 besar pelaku korupsi, setelah pejabat eselon, dan rekanan swasta. Komposisi ini sangat menarik karena tiga besar ini adalah rangkain yang jika dibalik merupakan mata rantai alokasi belanja anggaran, dari kuasa legislator yang melibatan eselon sebagai makelar dan pihak swasta sebagai penyuap aktif. Pertanyaannya adalah apakah nasib bangsa ini masih harus diserahkan pada orang-orang yang terbukti merampok?

Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak belajar sejak jaman reformasi bergulir. Hingga akhir kekuasaan Presiden yang tepilih paling demokratis dengan pemilihan langsung, ternyata eskalasi kejahatan perampokan terhadap uang negara malah semakin jelas terbaca. Belakangan ini bahkan muncul kasus yang semakin membuat pusing.

Tuntutan untuk transparansi pendanaan partai membuat para bromocorah harus berpikir keras bagaimana menceritakan pada orang banyak tentang sumber keuangan mereka. Akhirnya dengan menyewa para akuntan yang ahli dalam audit keuangan publik mereka membagi-bagi sumber pendanaan partai ke dalam porsi sumbangan dari para calon anggota legislatif yang akan mencalonkan diri. Padahal belum tentu calon anggota legislatif yang ditulis sebagai pendonor di sana benar-benar yang memiliki uang. Kasus anggota legislatif dari selebriti yang ditulis menyumbang kepada partai hingga ratusan juta rupiah adalah sebuah dagelan yang tidak lucu. Mentang-mentang orang terkenal dengan dicantumkan angka ratusan juta rupiah mungkin para auditor publik pengawas pemilu akan memakluminya. Alih-alih mengamankan transparansi keuangan partai, calon legislatif selebriti yang tiba-tiba kelihatan kaya raya justru panen pemerasan dari calon konstituennya. Belum terpilih sebagai anggota DPR malah sudah diperas duluan oleh rakyat yang membaca berita.

Inilah kenyataan penyelenggaraan negara yang sudah di"abuse" diselewengkan dengan begitu ganasnya. Sangat jauh dari cita-cita awal pendirian negara bangsa Indonesia yang merupakan upaya dan kerja para cerdik cendekia yang pada masanya bahkan sama sekali tidak mempedulikan apapun bagi keuntungan mereka. Para pendiri negara ini banyak yang di akhir hidupnya terbiasa dengan kemiskinan. Sebut saja nama seorang tokoh diplomat ulung yang di masa hidupnya selalu berpindah kontrak rumah dan kerap kena banjir di kala musim hujan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun