Mohon tunggu...
Farhan Isbakhi
Farhan Isbakhi Mohon Tunggu... -

Pemerhati narasi dan politik

Selanjutnya

Tutup

Money

Kenaikan Elpiji, Hantu Inflasi dan Nasib Rakyat

6 Januari 2014   17:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kenaikan harga elpiji 12 kilogram belum lama ini sebesar 67%, walaupun belakangan sudah direvisi menjadi hanya sekitar 15%, sesungguhnya merupakan kabar buruk bagi rakyat. Bukan hanya soal lonjakan harganya, tetapi efek lanjutnya pada produk-produk lain yang berkait langsung ataupun tidak langsung dengan sumber energi yang ada di tiap dapur keluarga di Indonesia adalah persoalan. Persoalan yang paling jelas adalah kenaikan harga makanan secara umum. Bila menyangkut isi perut, rakyat Indonesia bisa jadi sangat sensitif, dan ini jelas mengkhawatirkan.

Bila terjadi kenaikan harga makanan secara umum, tentu saja akan mendorong laju inflasi. Persoalan inflasi sesungguhnya bukan semata persoalan kenaikan harga akibat naiknya ongkos-ongkos produksi bagi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Persoalan inflasi bagi rakyat adalah persoalan merosotnya daya beli, terutama rakyat miskin, akibat pajak tak kasat mata yang dilakukan oleh para penentu kebijakan ekonomi negara.

Masih jelas penjelasan wakil presiden bidang komunikasi Pertamina Ali Mundakir tentang dalih untuk menaikkan harga. Dalih pertama adalah Pertamina sangat merugi sejak lima tahun yang lalu. Dalih selanjutnya adalah nilai tukar rupiah yang merosot tajam terhadap dollar Amerika Serikat. Dan dalih selanjutnya kurang lebih dengan semangat yang sama ingin mengatakan bahwa kenaikan harga ini sangat wajar dan seharusnya sudah dilakukan dari dulu.

Jika wakil direktur pertaminan bicara tentang kenaikan itu di hadapan ibu-ibu yang tiap hari bergelut dengan persoalan belanja yang semakin mahal, barangkali direktur itu tidak akan selamat untuk masuk kantor keesokan harinya. Minimal dia akan luka-luka karena habis dikerubuti oleh ibu-ibu yang gemas dan marah dengan penjelasan seorang pejabat korporasi dari perusahaan milik negara yang sudah jelas bukan merupakan bagian dari rakyat kebanyakan.

Rakyat tidak akan berpikir bahwa negara atau Pertamina merugi. Rakyat pasti berpikir kalau tiap beberapa waktu yang ada hanya kenaikan harga buat apa ada negara. Rakyat berpikir bahwa segala macam angka-angka yang disebutkan oleh Presiden atau para ahli ekonomi lulusan luar begeri sudah pasti hanya tipu-tip belaka. Yang rakyat pahami adalah tiap hari seiring berjalannya hidup di negeri Indonesia ini tidak pernah ada kebijakan dari penyelenggara negara yang tidak menguras isi dompet rakyatnya sendiri.

Bagi pengambil kebijakan mungkin menganggap sepele rakyat banyak yang kontribusi sumbangan pajaknya terhadap negara terhitung minimal jika dibandingkan dengan rakyat menengah hingga atas yang bisa disebut sebagai pembayar pajak yang sesungguhnya menurut literatur ekonomi modern. Tetapi rakyat banyak juga adalah bagian yang sesungguhnya membayar paling mahal karena tiap hari hidupnya sangat bergantung dari remah-remah uang receh yang nilainya pun semakin mudah dipermainkan.

Merosotnya daya beli akibat inflasi adalah jaminan kesengsaraan bagi generasi mendatang. Angka-angka seperti ini sepertinya tidak cukup menjadi perhatian penyelenggara negara yang hanya sibuk dengan hitungan-hitungan Produk Domestik Bruto yang menghitung potensi angka-angka ekonomi antara yang lemah dan kuat dijumlahkan dalam satu keranjang yang sama. Pada ekonomi yang seperti ini rakyat miskin, kurang pendidikan, kurang modal harus berhadapan dengan kenyataan ekonomi yang hanya mampu digapai oleh orang-orang yang telah memiliki akses kekayaan, pendidikan dan modal yang telah lebih dahulu dimiliki karena perbedaan sejarah kemakmuran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun