Mohon tunggu...
Farhan Fuadi
Farhan Fuadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa akhir UIN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Rakyat Berdaulat Wujudkan Keadilan Pangan

17 Maret 2014   05:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:51 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Begitu ironi meliahat kondisi Indonesia saat ini. Negeri yang dianugrahi dengan tanah yang subur dan laut yang luas serta kandungan sumberdaya alam yang melimpah ternyata mengalami ketergantungan terhadap komoditas-komoditas impor. Pangan sebagai sumber kebutuhan pokok bagi masyarakat harus mengalami nasib yang buruk. Nyatanya, apa yang dikonsumsi oleh masyarakat saat ini sebegian besar harus pula mengimpor dari luar negeri. Sungguh saat tidak masuk diakal apabila dengan fakta kekayaan alam yang Indonesia miliki, masyarakat harus mencukupi kebutuhan pangannya dengan aneka ragam pangan impor.

Indonesia sangat tergantung pada impor pangan dari luar negeri, seperti beras, kacang kedelai, kentang, jagung, dan daging sapi. Sampai akhirnya petani tidak dapat berproduksi, dan mengkonsumsi apa yang sebenarnya dapat mereka produksi senderi. Menurut BPS, Indonesia telah mengimpor beras sebesar 353,485 ton atau setara dengan USD 183,3 juta jika diakumulasi selama sembilan bulan sejak Januari sampai September 2011. Data impor beras menunjukkan Indonesia menjadi negara pengimpor terbesar nomor satu di dunia, sedangkan Vietnam, India, Thailand dan Pakistan menjadi negara pengekspor terbesar di dunia (republika.co.id 12/02/2014).

Dilain sisi, Indonesia menyumbang pasokan bahan bakar mineral dan batu bara dunia sebagai komoditas ekspor. Pemerintah juga menetapkan sawit sebagai komoditas primadona dalam setiap kegiatan ekspor. Hal ini berbanding lurus dengan maraknya konversi lahan pertanian untuk tanaman pangan menjadi areal pertambangan maupun industri.Kebijakan ekspor pemerintah yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi belaka ini malah mempersempit akses rakyat terhadap pangan sendiri. Dan akhirnya,dengan berkurangnya lahan pertanian untuk produksi tanaman pangan menjadi dalih pemerintah untuk mengimpor pangan dari luar negeri.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 terdapat 29,13 juta atau 11,96 persen orang miskin yang secara langsung bisa disebutkan sebagai orang yang tidak cukup makan.Bukan rahasia umum, apabila di tahun berikutnya sekitar 21 juta jiwa mengalami kelaparan atau sekitar 8 juta balita harus menderita gizi buruk ditahun yang sama. Langkanya bahan pangan bukan penyebab dari 'nyaringnya suara perut' bangsa ini, tapi kelalaian pemerintah yang belum menganggap penting arti dari kedaulatan pangan.

Kemandrian pangan sendiri tidak akan pernah terwujud, melihat petani sebagai pilar dari penyedia pangan nasional selalu mendapat prilaku diskriminatif dari pemerintah sendiri. Sejatinya kemandirian pangan tidak akan terwujud bila petani sendiri tidak pernah berdaulat. Tahun 2007 tercatat lebih dari 76 kasus konflik agraria , dengan luasan lebih dari 196.179 hektar, 166 petani tercatat dikriminalisasi, 24.257 KK petani yang tergusur, 8 orang tercatat tewas dalam konflik, 12 orang diantaranya tercatat mengalami luka tembak. Tahun 2011, tercatat 51 kasus dengan luasan total 237.972 Ha dan menggusur 140.262 KK petani (Serikat Petani Indonesia).

Dari tahun 2000-2005, BPN mencatat terdapat 5.319 pengaduan konflik tanah. Besarnya angka konflik ini disumbang dari pemutusan akses petani terhadap lahan garapannya sendiri. Hak-hak penguasaan tanah lebih banyak didominasi oleh perusahaan yang mendasarkan prinsipnya kepada ekspansi lahan seluas-luasnya dan dijamin keberlangsungannya oleh pemerintah sendiri. Kalau semua ini belum dapat teratasi jangan harap hak rakyat terhadap pangan akan terpenuhi.

Untuk mengupayakan keadilan atas pangan di negeri ini terlebih dahulu rakyat harus mencapai kesadaran kritis akan setiap persoalan terhadap pangan. Petani sebagai produsen yang memenuhi kebutuhan nasional harus mendapatkan aksesnya terhadap lahan juga sumber daya alam. Juga pemerintah harus mengambil peran yang aktif dalam melindungi petani dari pengkebirian atas akses-aksesnya dan tidak berpihak kepada perusahaan yang mengakumulasi profit yang sebenarnya. Rakyat harus yakin, apa bila rakyat berdaulat dan memegang penguasaan akses produksi maupun konsumsi keadilan pangan akan terwujud di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun