Mohon tunggu...
Farhan Fadrian
Farhan Fadrian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Distorsi Realitas: Tantangan Etika Komunikasi Di Era Media Sosial

6 Mei 2024   18:05 Diperbarui: 12 Mei 2024   18:27 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penelitian ini membahas fenomena distorsi realitas yang terjadi di media sosial dan dampaknya terhadap etika komunikasi. Melalui analisis menggunakan teori-teori filsafat dan etika komunikasi, penelitian ini menyoroti pentingnya pendidikan literasi media, pengembangan algoritma transparan, dan advokasi praktik komunikasi yang etis sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan demikian, penelitian ini memberikan kontribusi dalam memahami dan mengatasi tantangan etika komunikasi di era digital.
 
Dalam era di mana media sosial memegang peran yang krusial dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan pada fenomena-fenomena yang memicu refleksi mendalam terkait etika komunikasi. Salah satu permasalahan yang menarik perhatian pada tahun 2024 adalah distorsi realitas yang timbul akibat penyebaran informasi yang tidak valid dan tidak terverifikasi di platform-platform media sosial.
Fenomena ini mencuat sebagai hasil dari adopsi yang meluas terhadap media sosial sebagai sarana utama untuk mendapatkan informasi dan berinteraksi dengan sesama. Di tengah luasnya jangkauan dan pengaruh media sosial, terkadang sulit bagi pengguna untuk memilah informasi yang benar dari yang salah. Informasi yang tidak diverifikasi dengan baik atau disertai dengan bias dapat dengan mudah menyebar dan menciptakan pandangan yang distorsi tentang realitas.
Permasalahan distorsi realitas ini memiliki dampak yang signifikan terhadap etika komunikasi. Ketika informasi yang tidak valid atau tidak terverifikasi tersebar luas, hal tersebut dapat menyebabkan keraguan, ketidakpercayaan, dan bahkan konflik di antara individu atau kelompok. Selain itu, penggunaan informasi palsu atau bias dalam konteks politik atau sosial juga dapat mengancam stabilitas demokrasi dan keharmonisan masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk meningkatkan literasi media dan kritis. Pengguna media sosial perlu dilengkapi dengan keterampilan untuk mengidentifikasi informasi yang tidak valid, memverifikasi kebenaran informasi, dan mengenali bias dalam konten yang mereka konsumsi. Selain itu, platform-platform media sosial juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan algoritma yang transparan dan mendorong praktik komunikasi yang lebih etis di antara pengguna mereka.
Secara keseluruhan, distorsi realitas yang terjadi di media sosial menjadi tantangan penting bagi etika komunikasi di era digital. Dengan pendekatan yang holistik melalui pendidikan, regulasi, dan advokasi, kita dapat mengatasi permasalahan ini dan membangun lingkungan komunikasi yang lebih sehat dan bermartabat di media sosial.
 

ANALISIS FILSAFAT DAN ETIKA KOMUNIKASI


1. Filsafat Realitas Sosial
Pandangan filsafat terhadap realitas sosial merupakan salah satu aspek penting dalam memahami bagaimana individu membangun pemahaman tentang dunia di sekitar mereka. Alfred Schutz, dalam karyanya yang monumental "The Phenomenology of the Social World", menguraikan konsep-konsep yang membantu kita memahami bagaimana realitas sosial dibentuk melalui interaksi antarindividu.
Menurut Schutz, individu membentuk pemahaman mereka tentang realitas sosial melalui dua konsep utama: "tata dunia umum" (the stock of knowledge) dan "tindakan umum" (typifications). "Tata dunia umum" merujuk pada kumpulan pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai yang diterima secara kolektif oleh anggota masyarakat. Sementara itu, "tindakan umum" adalah cara di mana individu menggunakan tata dunia umum tersebut untuk menginterpretasikan dan memberikan makna pada pengalaman mereka sehari-hari.
Namun, di era media sosial, paradigma ini menghadapi tantangan baru. Informasi yang tidak valid dan bias dapat dengan mudah tersebar dan memengaruhi persepsi dan pemahaman individu tentang realitas sosial. Misinformasi, propaganda, dan konten yang dipengaruhi oleh kepentingan politik atau ekonomi dapat memicu distorsi dalam pemahaman kolektif tentang realitas.
Schutz akan memperdebatkan bahwa dalam konteks media sosial, individu sering kali mengandalkan tata dunia umum yang telah dipengaruhi oleh informasi yang tidak valid atau bias. Mereka kemudian menggunakan tindakan umum mereka untuk menafsirkan informasi tersebut, yang dapat menghasilkan persepsi yang tidak akurat tentang realitas sosial. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi sumber distorsi dalam konstruksi realitas sosial.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi individu untuk mengembangkan keterampilan kritis dalam mengonsumsi informasi di media sosial. Mereka perlu belajar untuk memilah-milah informasi, memverifikasi kebenaran klaim, dan mengenali bias dalam konten yang mereka temui. Selain itu, perlunya regulasi yang lebih ketat terhadap konten yang dipublikasikan di media sosial untuk mencegah penyebaran informasi yang salah atau berbahaya juga perlu diperhatikan.
Dengan demikian, pandangan filsafat tentang realitas sosial, seperti yang diungkapkan oleh Alfred Schutz, tetap relevan dalam konteks media sosial modern. Namun, tantangan baru yang dihadapi oleh informasi yang tidak valid dan bias memerlukan pendekatan yang lebih cermat dalam memahami dan mengatasi distorsi dalam pemahaman kolektif tentang realitas sosial.
2. Etika Komunikasi Digital
Teori etika komunikasi digital menjadi semakin penting dalam era di mana komunikasi semakin bergeser ke ranah digital. Konsep dasar seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab masih tetap relevan, namun dalam konteks digital, aspek-aspek tersebut memperoleh dimensi baru yang perlu dipertimbangkan.
Pertama-tama, kejujuran dalam komunikasi digital mengacu pada keterbukaan dan kebenaran dalam menyampaikan informasi. Di media sosial dan platform-platform digital lainnya, kebohongan dan manipulasi informasi sering kali dapat tersebar dengan cepat dan luas. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk mempertahankan kejujuran dalam setiap interaksi online, baik itu dalam menyebarkan informasi atau berinteraksi dengan orang lain.
Integritas juga merupakan nilai kunci dalam etika komunikasi digital. Hal ini mencakup kesesuaian antara kata-kata dan tindakan online seseorang dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mereka anut dalam kehidupan nyata. Konsistensi dalam perilaku online dan offline merupakan indikator integritas yang penting dalam membangun kepercayaan dan reputasi yang baik di dunia digital.
Tanggung jawab dalam komunikasi digital mengacu pada kesadaran akan dampak dari tindakan komunikasi seseorang terhadap orang lain dan lingkungan online secara keseluruhan. Individu harus bertanggung jawab atas konten yang mereka bagikan dan cara mereka berinteraksi dengan orang lain di platform-platform digital. Ini termasuk menghindari menyebarkan informasi palsu atau menyebar kebencian secara online.
Konsep-konsep seperti kebenaran, transparansi, dan penghargaan terhadap privasi juga sangat relevan dalam konteks etika komunikasi digital. Kebenaran menjadi kunci dalam membangun kepercayaan di dunia digital, sedangkan transparansi dalam praktik dan kebijakan platform-platform online membantu menjaga integritas dan akuntabilitas. Penghargaan terhadap privasi individu juga penting untuk menghormati hak-hak individu dalam lingkungan digital yang sering kali rentan terhadap pelanggaran privasi.
Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip etika komunikasi digital ini, individu dapat berkontribusi dalam membangun lingkungan online yang lebih etis, aman, dan beradab. Selain itu, penerapan prinsip-prinsip tersebut juga dapat membantu mengurangi dampak negatif dari fenomena seperti penyebaran informasi palsu, kebencian online, dan pelanggaran privasi dalam komunikasi digital.
 

ALTERNATIF SOLUSI


1. Pendidikan Literasi Media Pendidikan literasi media yang mencakup keterampilan kritis dalam mengonsumsi informasi di media sosial sangat penting. Ini meliputi kemampuan untuk mengidentifikasi sumber informasi, memverifikasi kebenaran informasi, dan memahami dampak dari penyebaran informasi yang tidak valid.
2. Pengembangan Algoritma Transparan Platform media sosial perlu mengembangkan algoritma yang lebih transparan dan akuntabel. Pengguna harus memiliki pemahaman yang jelas tentang bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana mereka memengaruhi penampilan konten di feed mereka.
3. Advokasi Etika Komunikasi Masyarakat perlu mengadvokasi praktik-praktik komunikasi yang etis di media sosial. Hal ini meliputi mengutuk penyebaran informasi palsu, mendukung kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab, dan mempromosikan budaya berdiskusi yang terbuka dan inklusif.
 

KESIMPULAN


Dalam menghadapi tantangan etika komunikasi di era media sosial, penting bagi kita untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang filsafat dan etika komunikasi. Melalui pendidikan literasi media, pengembangan teknologi yang bertanggung jawab, dan advokasi praktik komunikasi yang etis, kita dapat membangun lingkungan digital yang lebih sehat dan bermartabat.
 
REFERENSI:


Schutz, A. (1967). The Phenomenology of the Social World. Northwestern University Press.
Ess, C. (2013). Digital Media Ethics. Polity.
Ward, S. J. A., & Wasserman, H. (2019). The Ethics of Digital Literacy: Developing Knowledge and Skills Across Grade Levels. Routledge.
Soerjono Soekanto. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Edwin Ardener. (2015). Social Anthropology and Language: Volume 8. London: Routledge.
Herbert Blumer. (1969). Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Sandra J. Ball-Rokeach & Melvin L. DeFleur. (1976). A Dependency Model of Mass-Media Effects. Communication Research, 3(1), 3-21.
Charles Horton Cooley. (1964). Human Nature and the Social Order. New York: Scribner.
James W. Carey. (1989). Communication as Culture: Essays on Media and Society. New York: Routledge.
Marshall McLuhan. (1994). Understanding Media: The Extensions of Man. Cambridge, MA: MIT Press.
Denis McQuail. (2005). Mass Communication Theory: An Introduction. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Joseph R. Dominick. (2012). The Dynamics of Mass Communication: Media in the Digital Age. New York: McGraw-Hill.
John Durham Peters. (1999). Speaking into the Air: A History of the Idea of Communication. Chicago: University of Chicago Press.

Ditulis dan disusun Oleh:
Farhan Fadrian (23010400018) Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi

Dosen Pengampu:
Dr. Nani Nurani Muksin, S.Sos, M.Si.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun