“Wanita-wanita yang keji adalah untuk LAKI-LAKI yang keji, dan LAKI-LAKI yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk LAKI-LAKI yang baik dan LAKI-LAKI yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula”
Pesan yang membuatku terhenyak kaku dari Sang pencipta sepintas membuatku berpikir apakah aku termasuk golongan laki-laki yang baik ataukah laki-laki yang tidak baik?
Kehidupanku dalam masalah percintaan tidak terbilang mulus. Banyak rintangan dan cobaan yang terus aku hadapi. Dari dijauhi sahabat sendiri karena ia mempunyai perasaan yang sama dengan wanita yang ku incar dari dulu, sampai aku di anggap sebagai Playboy kelas kakap oleh teman-teman seperjuanganku. Sungguh memilukan jika image-ku sudah tercemar di mata orang-orang terdekat.
Tepat sepuluh tahun lalu dalam balutan penjara suci. Persisnya tahun 2004 aku berstatus menjadi seorang santri. Berlapiskan almamater di salah satu pondok pesantren salaf-modern daerah Jakarta, membuatku semakin percaya diri menatap masa depan yang lebih optimis.
Bukan!
Kali ini aku bukan sedang ingin menceritakan kehidupanku di pesantren. Bukan pula menceritakan suasana kehidupan di asrama. Meski dari tempat inilah aku ingin menceritakan ketika aku memulai perjalanan cinta yang tidak semulus aku kira. Ini bukan kisah seperti Romeo dan Juliet, bukan kisah Rama dan Shinta, bukan pula seperti Laila dan Majnun yang begitu mati-matian memperjuangkan legenda kisah romansa mereka tapi ini perjalanan pengalaman cinta seorang santri kelas teri mendapatkan seseorang kekasih yang masih diperjuangkannya.
PERTENGAHAN JUNI 2004 …
Berawal ketika aku masih menginjak bangku menengah pertama atau setingkat dengan madrasah tsanawiyah, pagi itu merupakan pagi pertama bertatap muka dengan teman-teman baru. Aku sendiri masih canggung untuk memperkenalkan nama satu persatu dengan teman-teman kelasanku. Baru satu orang yang sudah sangat aku kenal, sebut saja Zae, sahabatku dari kampung rawa kebon jeruk. Aku kenal dengannya ketika melihat-lihat suasana sekolah yang ingin sama-sama kita tempati bersama.
Cahaya pada hari itu sangat cerah, secerah wajah seorang wanita saat menyapa dari balik tirai jendela. Aku tidak tahu wanita itu siapa, bahkan namanya saja aku tidak begitu kenal.
“Farhan …!” Panggil wanita itu. Sontak seluruh teman-temanku dikelas respon mengedarkan pandang pada wanita tersebut. Begitu aku dan teman-temanku memandangnya, wanita tersebut langsung pergi, saat itu pula aku langsung menahan rasa malu ketika teman-teman dikelasku mulai berkelakar tidak karuan.
“Cieeee … Farhan, baru-baru sudah ada yang manggil.” Sahut Zae sambil menepuk bahuku yang masih terhenyak kaku. Memang pada saat itu aku masih sangat malu-malu dan terkadang canggung bila kenal dengan lawan jenis yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
“Siapa sih Zae?” Tanyaku.
“Paling kelas sebelah, Han.” Jawab Zae begitu dingin.
Pada saat itu perasaanku datar. Sangat apatis. Bagiku itu hanya sebuah panggilan biasa. Meski sepintas aku sempat memandang wajahnya, tetapi tidak ada perasaan lebih dikala itu.
“Ah masa bodoh.” Gumamku di hati.
☺
Hari demi hari rasa itu perlahan mulai tidak biasa ketika ada satu kertas mengarah padaku. Kertas itu dilipat berbentuk lipatan segi empat. Seorang wanita bertubuh gemuk menghampiriku dan memberikan kertas tersebut. Sempat aku dibuat bingung olehnya lantaran kelakuannya yang menurutku aneh tapi unik.
“Farhan kan? Ini ada surat buat kamu.” Ujar wanita bertubuh gemuk itu.
“Oh iya makasih. Nama kamu siapa?” Sambil menanggapi kertas itu lantas aku coba berkenalan dengannya. Ini merupakan pertama kalinya aku berkenalan dengan seorang wanita di tempat aku menuntut ilmu.
“Irma Munawaroh. Panggil aja Irma. Oke!” Respon sambil menyunggingkan senyum lebarnya. Baru pertama kali aku bertemu teman wanita yang kelakuannya sangat menghibur dan terbilang lucu.
Dihadapkan secarik kertas membuatku semakin penasaran siapa yang menuliskan surat ini. Perlahan ku buka lipatan kertas tersebut. Firasatku mengatakan kalau surat ini berasal dari wanita yang sempat memanggilnya waktu lalu.
“Akh …!”
Aku kesal dan sempat ingin merobek surat itu. Ternyata tidak tercantum nama penulisnya, hanya menggunakan tulisan, “Secret” di pojok kanan suratnya. Padahal di dalam tulisan kertas tersebut mengandung kata-kata yang begitu indah. Bahkan, aku sempat tersenyum kagum membacanya.
Ketika hari sudah mulai siang dan matahari semakin berkulminasi, aku kembali pulang menuju asrama. Entah firasat itu hanya kebetulan atau benar-benar kenyataan, wanita yang sempat memanggilku dari jendela waktu lalu, kali ini kembali memanggil dengan suara khas. Aku terbelalak kaget. Sejenak urat nadiku berhenti kencang. Tubuhku terasa kaku. Lidahku mulai kelu. Bagaimana tidak, aku dihadapkan seorang wanita yang sebelumnya aku anggap biasa-biasa saja.
Cukup lama pada saat itu berdampingan di tiang penyangga lantai atas sekolah. Sesekali pandanganku sedikit canggung bila harus menatap wajahnya. Alisnya yang hitam menghiasi mata indahnya serta senyumnya yang anggun ditambah lesung pipinya yang manis membuatku terkadang salah tingkah. Pertama kali aku pada saat itu merasakan getaran cinta menyeruak di dalam diriku. Pertama kali juga aku menyukai seeorang wanita berkudung putih bernama, Mariya. Ternyata ia pula yang mengirimkan surat misterius itu.
Seiring mengikuti alur berjalannya waktu. Aku dan Mariya sudah akrab dan tidak malu-malu lagi jika bertemu atau berhadapan langsung di depan teman-teman seperjuangan ku. Kami tidak peduli ledekan mereka. Memang benar, ketika dua insan jika sedang di mabuk cinta, getaran gempa seperti getaran dada dan cahaya kilat pun seperti cahaya kamera. Sangat indah dan mengesankan.
Tidak butuh waktu lama, akhirnya aku beranikan diri mengutarakan perasaanku pada Mariya. Sulit diungkapkan dengan kata-kata pada waktu itu. Mulut seperti ada yang menghalangi kata demi kata saat aku ingin mengungkapkan rasa cinta padanya. Tubuh seakan dihujam ribuan peluru, tidak kuat menahan segala beban yang merasuk di hati ini. Kini aku dihadapkan sebuah mental yang belum pernah aku alami sebelumnya.
“Maukah kau menerimaku …?”
Tanpa pikir panjang aku langsung too the point padanya. Mariya masih gamang. Sempat aku berpikir mungkinkah secepat itu aku menutarakan perasaanku padanya? Yang jelas aku seperti angin, selalu berpindah arah. Perasaanku campur aduk tidak karuan. Keringatku sedikit demi sedikit mulai membasahi kening yang mulai berkerut, menunggu keputusan darinya.
“Iya, Farhan. Aku terima kamu …”
Seperti mimpi di siang bolong. Beberapa buah kata terucap dari bibir manis seorang Mariya. Anggukannya yang agak malu-malu membuatku hilang kendali. Pertama kali saat itu aku resmi mendapatkan cinta pertama dalam hidup. Cinta yang membuat hidupku di penjara suci menjadi lebih berwarna.
☺
JULI 2005 …
Waktu menghitung perputaran bumi, bulan dan matahari. Kisah cintaku bersama Mariya mulai goyah. Kenangan indah selama setahun perlahan mulai terlupa. Semua berubah seiring waktu berjalan.
Aku terpaku melihat seorang wanita pindahan dari sekolah lain. Ia satu kelas denganku ketika aku menginjak ke kelas dua mts. Wajahnya sangat bersih dan putih seperti orang Turki. Meski ia memakai kacamata, namun tidak mengurangi rasa anggunnya. Inilah yang mengawali hancurnya kisah cintaku dengan Mariya. Kisah cinta yang ku harapkan berjalan lama sekejap hilang oleh keegoisanku. Mata hatiku telah ditutupi oleh hawa nafsuku sendiri.
“Tolong tanyain dong best namanya siapa.” Aku mulai melancarkan strategi dengan meminta bantuan seorang sahabat yang dekat denganku waktu itu, Sarah. Sambil menunggu Sarah menegur wanita itu, sepintas aku hanya duduk sambil pura-pura membaca buku pelajaran, seolah aku orang yang paling pintar dan rajin membaca buku. Sebuah pencitraan yang tidak patut di contoh oleh siapapun. Seharusnya jika kita sedang menyukai seseorang, justru jangan tunjukan sifat yang kita tidak sukai. Jujur, pada waktu itu aku sama sekali tidak hobi membaca buku. Bahkan membaca satu kertas saja aku sudah jenuh.
Sepintas aku mulai memandang Sarah dari tempat duduk. Pada waktu itu teman-temanku masih belum tahu kalau aku mulai punya mata dengan anak baru tersebut. Memang tidak sedikit banyak yang kagum dengan parasnya. Sampai ada seorang temanku, Ridha mulai melancarkan sasaran kepadanya. Aku bimbang. Melankolis. Resah dan gelisah mulai terlukis di benak pikiranku. Apa mungkin aku harus bersaing dengan temanku itu? Terlebih lagi ia juga teman terdekatku.
☺
“Nur Habibah dari Kalideres.” Ujar Sarah pelan padaku. Ia sahabatku yang paling tidak ribet mengurusi hubungan orang, walaupun aku pada waktu itu masih berhubungan dengan Mariya namun Sarah tidak berpikiran yang negatif denganku.
Dengan sekuat kemampuanku sedikit-sedikit aku mulai masuk dalam kehidupannya. Namun kendala yang ku hadapi sekarang amatlah sulit. Habibah tidak menyukai tipe pria seperti aku. Katanya aku terlalu kaku, cupu dan tidak gentle. Sangat amat bertolak belakang dengan Mariya yang menyukai aku apa adanya tanpa mengkoreksi kepribadian diriku belum lagi teman-temanku sudah mulai tahu kalau aku berpaling pada anak baru itu.
Petaka mulai datang. Hampir semua teman-teman dan kakak kelasku perlahan mulai gusar. Aku sudah menyakiti perasaan Mariya dan kali ini Habibah pun tahu kalau aku masih berhubungan dengannya. Image-ku sudah mulai buruk di mata mereka. Aku di anggap playboy ketika itu. Rasanya ingin sekali teriak sekeras-kerasnya. Ingin mencabik-cabik hati ku yang mulai kotor dengan hawa nafsu.
☺
Tiga tahun berlalu …
Kini perjuangan aku mendapatkan cinta Habibah sudah sirna. Seperti debu tertiup angin, entah hilang kemana. Terakhir kali aku berhubungan dengannya ketika pulang dari puncak. Pada waktu itu habis mengikuti acara perpisahan sekolah. Rasa penasaranku kembali timbul. Terlintas dipikiranku apa yang membuat Habibah begitu sulit menerimaku saat itu. Aku coba kembali beranikan diri untuk berkomunikasi dengannya melalui pesan elektronik berupa sms. Ingin melunasi rasa penasaranku dengan menanyakan bagaimana perasaan dia selama ini padaku.
“Maaf Farhan. Kamu telat lagi pula Bah sudah terlanjur kecewa mendengar omongan orang-orang tentang kamu. Ya … Bah memang suka sama Farhan, tapi kali ini maaf sudah terlambat. Bah akan melanjutkan sekolah di tempat lain lagi. Suatu saat ada wanita yang lebih baik dari Bah ….”
Aku hanya bisa menghela nafas panjang ketika menanggapi kurang lebih balasan seperti itu. Kini aku menyesal harus mengakhiri hubunganku dengan Mariya. Sekarang ia sudah mendapatkan kekasih yang lebih baik dari seorang Ahmad Farhan yang hanya bisa menyakiti perasaannya. Seorang Playboy kelas teri.
Sampai sekarang ini aku masih berstatus jomblo. Entah sebuah karma atau bukan yang jelas kini aku bangga dengan kejombloan ku, bagiku jomblo bukan jadi masalah. Dengan kesendirianku ini Alhamdulillah, Allah memberikan kesempatan padaku untuk bisa berkarya di masa muda tanpa terhalang oleh over protektiv-nya pacaran zaman sekarang. Dengan statusku menjadi jomblo kini aku sudah bisa membuat satu buku Novel dan aku tidak ingin hanya sampai di batas itu, aku akan membuat impianku yang sempat tertunda akan terwujud menjadi nyata.
Firman Allah dalam surat an-Nur menyadarkanku kalau jodoh yang paling baik berada di tangan-Nya. Tetap berpikir positiv dan selalu berserah diri pada-Nya.
۩
“Tidak perlu resah dengan status Jomblo. Beruntung jiwa-jiwa muda yang masih bergelar Jomblo. Mulai sekarang kuatkan tekad mu, raih impian mu, jawab keraguan orang-orang yang masih meragukan kemampuan mu. Yakin! Jomblo sukses!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H