Mohon tunggu...
Ahmad Farhan
Ahmad Farhan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Tarjamah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keputusan 1/2 hati

18 Januari 2015   21:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:52 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Fa laa taqullahumaa “Uf”[1]. Firman Allah swt yang menyadarkan keputusanku. Enam tahun aku menuntut ilmu di SDI AlFalah. Sekolah milik keluargaku. Jid[2] ku berperan dalam mengembangkan pendidikan yayasan tarbiyah islamiyah Alfalah. H. Kosim Bin H. Nasir. Sekaligus berperan dalam mendidik cucunya mengajarkan ilmu agama sampai sekarang menjadi seperti ini. Aku beruntung mempunyai kakek yang begitu mempunyai wawasan tinggi dalam memahami ilmu agama. Terutama Ilmu Fiqih dan ilmu Tauhid serta Ilmu Alat[3] lainnya. Masa mudanya gigih dalam menuntut ilmu. Hingga masa remaja beliau memutuskan untuk meninggalkan negeri tanah air menuju tanah suci. Bersama teman seperjuangannya KH. Tahir Rahili[4], beliau rela mengarungi dan mengorbankan waktunya selama sebulan di pelayaran hingga sampai di Makkah Almukarramah. Pada waktu itu belum ada pesawat.

Aku masih setengah hati menerima tawaran Ibu dan Ayahku. Usai pengumuman lulus ujian, aku langsung di tawari untuk melanjutkan pendidikan ku dipesantren. Sungguh hal yang mengenaskan buatku. Padahal nilai ujian ku tidak buruk-buruk amat. Mungkin, pikirku dengan memberikan alasan yang logis berkenaan dengan nilai, Ayah Ibuku mulai luluh dan aku tidak jadi dipesantrenkan.

Aku bukanlah zaman kakekku. Meskipun beliau lulusan Ummul Qura sekaligus murid dari Syaikh Yasin Alfadany, guru besar di Masjidil Haram berdarah padang tetap jiwaku kokoh tidak ingin dipesantrenkan. Bagiku pesantren seperti tempat asuh anak. Pesantren seperti penjara. Pesantren hanya untuk orang-orang yang susah diatur dan durhaka kepada orang tua. Persepsiku pokoknya begitu negative mengenai pondok pesantren.

Aku adalah anak kedua dari empat bersaudara. Akupun kembar dengan anak pertama. Karena selang waktu lima menit, akupun berhasil menghirup udara dunia yang fana. Sampai sekarang aku masih dibilang kontroversial karena yang namanya kembar satu jenis: perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki. Parasnya pun hampir sama. Sedangkan aku berbeda gen. Apapun namanya, yang penting aku bersyukur masih diberi kesempatan menikmati kehidupan dunia.

Disaat aku dilahirkan kemuka bumi, keluargaku bersedih. Dokter memvonis aku bakal hidup tidak bertahan lama. Dengan ukuran tubuhku “katanya” seperti botol kecap. Keluarga ku pun pasrah. Inna lillahi wa Inna Ilaihi Rajiuun. Sesungguhnya kami milikmu wahai Tuhanku dan sesungguhnya kepadamu kami kembali.

؏

Kun Fayakun! Kalau Allah menghendaki, makhlukpun tidak ada yang dapat menghalangi. Sekaliber dokter yang pernah memvonis ketika aku lahir. Kini aku mulai beranjak remaja. Mulai mumayyiz[5]. Bahkan akupun sudah mengerti yang namanya cinta-cintaan. Walaupun lucunya yang aku taksir adalah saudara ku sendiri.

Aku dilema. Galau. Melankolis. Harus menuruti kata orang tua atau lebih memilih kemauanku sendiri. Setiap kali Ayahku membujuk ku agar menuruti kemauannya. Tetap saja akupun bersi keras menolak permintaannya. Pernah sewaktu-waktu aku sedang menonton sinetron FTV di SCTV, kebetulan alur ceritanya tentang santri kampung yang belajar dipesantren. Suatu hari santri itu sedang menghafal quran di samping empang milik pesantren, ada segerombolan santri yang bertampang preman menghampirinya. Tanpa pandang bulu santri yang sedang khusyuk menghafal quran itu langsung menjadi bulan-bulanan santri berandalan tersebut. Hingga tubuhnya didorong ke empang. Begitu sadis dan miris. Memoriku mulai menyerap hal negative. Akupun khawatir nantinya akan seperti tokoh yang ada disinetron itu.

Kini sasaran empuk mengarah ke kakak perempuanku. Orangtuaku membujuknya agar mau nurut untuk tinggal di pesantren. Pikiran kakakku pun sama, ia juga menolak keras untuk di pesantrenkan.

Sepertinya harapan Ibu dan Bapakku sirna. Harapan agar salah satu anaknya bersedia agar tinggal di pesantren. Aku sempat senang tatkala diriku merdeka. Tidak ada lagi yang menjajah keinginanku. Kini aku bebas dari bayang-bayang tokoh santri malang yang ada di sinetron. Sinetron yang membuat aku trauma dengan statusku menjadi santri. Sungguh lapang hatiku pada waktu itu.

؏

Tiba waktu maghrib. Akupun bersiap untuk kemasjid dengan membawa quran terjemahan. Biasa ba’da Maghrib aku berguru dengan KH.Ramli. Guru yang mengajarkan aku tahlil dan rawi serta mentalaqqi bacaan Alquran.

Usai shalat akupun menemui Kiai Ramli. Setelah menunggu beberapa menit bargantian dengan kawan-kawanku. Akhirnya sampailah aku berhadapan dengan Kiai. Tatapan matanya begitu teduh. “Ayo sekarang bacaannya surat apa?” Tanya Kiai padaku. Dengan santai akupun jawab, “Surah Alisra Ustaz.”

“Ya sudah dibaca. Jangan cepat-cepat, perhatikan makhraj dan tajwidnya.” Ucapan Kiai begitu membuatku hati-hati dalam membacanya. Akupun dengan pede membaca ayat demi ayat dengan nada murattal Assudaisy. Imam besar Masjidil Haram. Dengan modal juara MTQ tingkat DKI di Masjid Attin, TMII perlahan lengkungan suaraku makin aku tingkatkan. Walaupun Kiai Ramli sudah berusia lanjut, tapi soal ketelitian beliaulah yang paling peka. Salah dikit tinggal mengucap dehem.

Sampailah aku pada ayat larangan membantah kepada kedua orang tua. Fa laa Taqullahuma “Uf” Wa Laa Tanharhumaa Waqullahuma Qawlan Karima. Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

“Stop! Pahami ayatnya.” Kata Kiai menyuruh padaku meresapi maknanya. Beliau memberikan waktu dua menit.

Akupun perlahan mencoba mendalami makna ayat itu. Rasa ganjilpun menyeruak dihatiku. Jangan-jangan Ibu atau Bapak ngadu ke Kiai Ramli nih. Gumamku. Mataku dan hatiku terus menyerap makna tersebut.

“Sudah…” Kembali Kiai menyeruku selesai. Sambil melihat jam yang ada ditangannya. Beliaupun langsung memberitahu dari kesimpulan ayat tersebut. “Farhan, cobalah buat orangtuamu bangga. Buat mereka tersenyum senang. Jangan sakiti mereka lantaran anaknya tidak nurut perintahnya. Ingat Han, masa depan kamu ada ditangan ridha orang tuamu juga. Jika kamu tidak patuh kepadanya. Suatu saat hidupmu akan melarat seumur hidup. Mau?”

Aku langsung menggeleng kepala. Tertunduk malu dan bersalah. Akupun yakin dibalik pasrah kedua orang tuaku memaksa aku agar tinggal dipesantren karena mungkin dengan petuah dari Kiai Ramli, anaknya ini bisa nurut kemauan mereka.

“Tapi Ustaz, apa benar pesantren itu sadis kaya penjara?” Aku memberanikan diri curhat dengan beliau.

“Hmmm… Kata siapa Nak? Gak kok. Coba Tanya kakek kamu yang belasan tahun pesantren di Makkah. Ustaz yakin beliau pasti betah. Masa kamu yang hanya ditinggal di negeri sendiri harus takut. Bagaimana nanti kalau tinggal di negeri orang.”

Akupun terdiam. Rasa hororku terhadap pesantren mulai sirna. Kali ini aku diberi pencerahan oleh Kiai Ramli yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan, bahkan sekalipun murid-muridnya.

Keesokan harinya akupun mengiyakan kemauan orang tuaku untuk tinggal dipesantren. Wajah cerah berseripun terpancar dari keduanya. Aku cukup senang melihat kedua orang tuaku tersenyum. Setidaknya aku bukan termasuk “Fa laa taqullahuma “Uf”. Aku ingin masuk dalam golongan “Wa Qullahuma Qawlan Karima” bukan “Qawlan Sadiida”. Meskipun keputusanku ini adalah keputusan yang berat.

[1] Dan Janganlah kamu bekata kepada keduanya (Orang Tua) dengan perkataan “Ah!”

[2] Kakek

[3] Seperti Nahwu dan Shorof

[4] Sekarang Memiliki Pesantren Serta Universitas At-Tahiriyah

[5] Dapat Mengetahui yang baik dan buruk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun