Mohon tunggu...
Farhan Qudratulloh Ginanjar
Farhan Qudratulloh Ginanjar Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Fakultas Hukum

Seorang pembelajar sepanjang hayat yang tertarik kepada isu hukum, politik, ekonomi, pendidikan dan peradaban

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Problematika Korupsi dan Solusi Pemberantasan dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

19 Agustus 2021   23:00 Diperbarui: 19 Agustus 2021   23:11 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ketika orde baru tumbang dan peralihan menuju masa reformasi, desentralisai atau otonomi daerah diberlakukan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudia UU tersebut diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 23 Tahun 2014. Namun, dengan semangat desentralisasi penyelenggaran pemerintahn daerah, berirngan pula dengan meingkatnya kasus korupsi yang terjadi di daerah-daerah. DAlam catatan Kementerian Dalam Negeri antara atahun 204 sampai tahun 2015 terdapat 343 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan mneghadapi proses hukum mereka baik di kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Maraknya korupsi yang terjadi di daerah sejalan dengan korupsi di level nasional. Level korupsi yang tinggi tersebut dapat kita lihat dari angka persepsi korupsi seperti yang dilakukan oleh Transparency Internatinal  (TI). Dalam catatan TI, pada sepuluh tahun terakhir, Indonesia merupakan negara yang termasuk kepada kelompok negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Pada catatan Corruption Perception Index sejak tahun 2001 sampai tahun 2010 nilai korupsi Indonesia selalu dibawah 3,0. Artinya, tingkat korupsi di Indonesia sangatlah tinggi. Serta, berdasarkan survey terakhir pada tahun 2015, skor CPI Indonesia naik menjadi 3,6.[1]

Dengan tingginya angka korupsi tersebut, menyebabkan ketidak puasan public terhadap berjalanya penyelenggaraan pemerintah daerah. Seba, ketika korupsi terjadi ditubuh pemerintahan daerah, akan menimbulkan efek negative terhadap efektivitas penggunaan APBD, kenaikan biaya penyelenggaran pmerintahan, dan mereduksi kualitas penyelenggaraan pemerintahn daerah. Akhirnya, korupsi menghancurkan harapan pelayanan publik yang baik sebagai tujuan desentralisasi itu sendiri. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa korupsi di daerah telah menyebabkan buruknya kualitas pelayanan publik, khususnya di sektor pendidikan, transportasi dan kesehatan[2]. 

Problematika Korupsi Di Tubuh Pemerintahan Daerah

Korupsi di daerah dipengaruhi oleh konstektualitas daerah yang tersebut. Selain itu, terdapat pula benang mera tentang pola dan modus korupsi di Indonesia. Dalam catatan ICW, modus korupsi yang paling banya dialukan berupa penyalahgunaan anggarn. Dalm temuan ICW, tercatat 134 kasus korupsi akibat penyalahgunaan angaran dengan nilai kerugian sebesar Rp. 803,3 miliah, contoh kasus korupsi yang terjadi di daerah yang masuk kaegori ini adalah korupsi dana bansos bupati bengkalis yang menimbulkan kerugian negar sebanyak 29 miliar.  Setelah itu, modus yang banyak digunakan setelah penyalahgunaan anggaran adalah penggelapan dana, dalm penelitian yang dilaukan ICW terdapat 107kasus dengan nilai kerugian negar sebesar Rp.412 miliar. Selanjutnya adlah modus mark up sebanya 104 kasus dnegan kerugiannegara sebanya 45 Miliar, serta penalahgunan wewenag sebanya 102 kasus dengan kerugian negara sebesar 991,8 Miliar. Sementara modus korupsi lain, namun dengan jumlah yang kecil, seperti laporan fiktif sebanyak 29 kasus, suap atau gratifikasi sebanyak 24 kasus, proyek fiktif sebanyak 20 kasus, pemotongan sebanyak 15 kasus, pemerasan sebanyak 6 kasus, mark down sebanyak 5 kasus, pungutan liar 3 kasus dan satu kasus anggaran ganda [3]

Dalam catatan Badan Pemeriksa Keuangan Republi Indonesai, pada semester I tahun 2010, total temuan mencapai 10.113 kasus dengan potensi kerugian negara Rp. 26,12 triliyun secara nasional. Khusus untuk potensi kerugian daerah mencapai Rp. 2 triliyun. Dari sekian banyak itu, ternyata ada beberapa oknum memang sengaja melakukan hal-hal berpotensi merugikan negara dan daerah. Khusus untuk daerah, BPK mencatat ada 348 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) menunjukkan adanya kerugian sebanyak 1.246 kasus dengan nilai Rp. 306,63 miliyar. Kerugian di daerah dimaksud adalah berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, nyata dan pasti jumlah sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Kerugian ini timbul karena kasus-kasus meliputi belanja atau pengadaan barang dan jasa fiktif, rekanan pengadaan barang dan jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan termasuk proses pemahalan harga (mark up). Sementara itu, Kementerian Keuangan menyatakan hingga kini belum memiliki langkah jitu untuk mengantispasi manipulasi dan korupsi para pegawai daerah dalam proses pengadaan barang dan jasa atau kegiatan lain[4].

Laporan mengenai angka korupsi di daerah, kembali dilaporkan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (Pukat UGM). Pada catatan tim Pukat UGM yang dilaporkan pad KPK tahun 2010, terdapat 1.891 kasus korupsi di daerah hasil pemekaran. Korupsi terbanyak terjadi di Provinsi Banten 593 kasus, Kepulauan Riau 463 kasus, Maluku Utara 184 kasus, Kepulauan Bangka Belitung 173 kasus, Sulawesi Barat 168 kasus, Gorontalo 155 kasus, dan Papua Barat 147 kasus. Sisanya di daerah lain.Menurut tim Pukat UGM, melonjaknya kasus korupsi di daerah lantaran dipicu oleh tingginya anggaran negara digelontorkan ke daerah. Hal tersebut menyebabkan gagalnya proses pembangunan di daerah baru hasil pemekaran. 80 % daerah baru hasil pemekaran gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat[4]

Tingginya angka korupsi tersebu dilator belakangai karena beberapa factor, menurut Isra (2009)[5] memberikan catatan sebab tumbuh dan berkembangnya korupsi dalam penyelengaraan pemrintahan daerah. Penyebab tersebut dapat dilihat dari tiga persoalan penting. Pertama, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Kedua, program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Dan Ketiga, masyarakat belum mampu mengawasi ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif.

Solusi Terhadap Tinginya Kasus Korupsi dalam Penyelengaraan Pemerintahan Daerah

1. Optimalisasi Pemberantasn Korupsi

Pemberantasan korupsi merupakan prioritas utama guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Oleh karena itu kebijakan optimalisasi pemberantasan korupsi harus ditindaklanjuti dengan strategi yang komprehensif, integral, dan holistik agar benar-benar dapat mencapai hasil yang diharapkan. Menyimak penyebab terjadinya korupsi, dapat disimpulkan terkait aspek-aspek manusia, regulasi, birokrasi, political will, komitmen, dan konsistensi penegak hukum serta budaya masyarakat. Untuk itu secara garis besar strategi yang diterapkan meliputi aspek-aspek sebagai berikut[6]: 

  • Peningkatan Integritas dan Etika Penyelenggara Negara;
  • Penguatan Budaya Anti Korupsi Masyarakat; dan
  • Penegakan Hukum yang Tegas, Konsisten, dan Terpadu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun