Penulisan dari buku hasil karya tulisan William Marsden  yang berjudul "Sejarah Sumatra" dibuat ketika masa pemerintah kolonial Belanda menduduki wilayah Indonesia. William Marsden sendiri merupakan seorang berkebangsaan Inggris yang bekerja sebagai sekretariat di wilayah Bencoolen. Di sela-sela pekerjaannya sebagai seorang sekretariat ia melakukan riset terhadap kehidupan-kehidupan yang berada di wilayah Sumatra khususnya di wilayah Bengkulu. Hingga akhirnya, berkat adanya dorongan yang berasal dari teman-temannya ia kemudian menulis buku "Sejarah Sumatra". Namun demikian, terdapat maksud lain juga yang mendorong William Marsden  untuk menulis yaitu adanya ambisi supaya ia bisa menjadi seseorang yang dikenal luas dalam hal menulis khususnya menulis sejarah.
Ada hal yang menarik yang dilakukan oleh William Marsden  dalam penulisan bukunya, akibat ia ditugaskan di wilayah Bencoolen maka dalam hal ini ia cenderung lebih detail dalam menjelaskan suku Rejang karena William Marsden membaginya secara khusus untuk membahas orang-orang Rejang ke dalam beberapa bab yang membahas mengenai suku Rejang. Walaupun demikian, ia juga dalam bukunya tidak hanya membahas suku Rejang saja tetapi di singgung juga suku asli Sumatra lainnya. Selain itu juga, suku Rejang dipilih sebagai fokus kajiannya dari buku ini karena dipakai oleh William Marsden sebagai tolak ukur dalam menjabarkan dari struktur sosial masyarakat asli Sumatra.
Suku Rejang merupakan suku yang berada di Sumatra tepatnya berada di wilayah Bencoolen. Suku Rejang merupakan suku yang sangat menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai tradisional. Walaupun pada saat itu wilayah Sumatra telah dimasuki oleh bangsa asing yaitu oleh bangsa Eropa tetapi penduduk dari masyarakat Rejang hidupnya sangat sederhana karena mereka sangat bergantung terhadap alam. Hal tersebut dapat dilihat dari sedikitnya bentuk imitasi yang dilakukan oleh masyarakat Rejang. Seperti dari gaya berpakaian wanita yang di mana masyarakat Rejang mulai terpengaruh oleh gaya berpakai bangsa Eropa khususnya dalam penggunaan pakaian renda serta rambut palsu.
 Penduduk orang Rejang di pimpin oleh  kepala suku yang bernama Pangeran Sungai Lamo yang di mana kepala suku tersebut tidak mengakui bahwa ia berasal dari orang Melayu seperti pada kutipan berikut "Malayo tidah, Sir Orang ulu betul sayo" artinya bahwa ia bukan asli orang melayu tetapi ia asli orang Rejang. Dari sini terlihat jelas bahwa pangeran tersebut memiliki sikap etnosentrisme karena ia sangat bangga akan budaya dari Rejang sampai-sampai ia tidak mengakui bahwa ia sebenarnya berasal dari orang melayu karena ia menggunakan bahasa melayu dalam percakapan sehari-harinya. Orang-orang Rejang terdiri dari empat rumpun utama yang berasal dari empat bersaudara yang kemudian bersatu menetap di sebuah dusun-dusun yang berada di bawah dari pemerintahan dari seorang dupati dan di bawahnya disebut anak buah. Biasanya, seorang dupati mempunyai kawasan yang mencakup satu sungai atau dusun tersebutnya biasanya berada di pinggir sungai. Kemudian seorang Pangeran hanya mempunyai sebuah bentuk kekuasaan feodal yang berada pada satu wilayah kekuasaan saja. Kemudian, seorang pangeran hanya mempunyai suatu bentuk kewenangan feodal akan adanya satu wilayah saja.
Sistem pemerintahan dari suku Rejang termasuk sangat sederhana dan cukup simpel karena dominasi dari para pimpinannya hanya bersifat simbolis. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari wilayah suku Rejang yang keberadaannya miskin sehingga cenderung lebih mementingkan kedamaian daripada kepentingan politik serta militer. Biasanya, dalam menjalankan pemerintahannya para pemimpin suku Rejang disusun pada adanya opini serta kesetiaan dari rakyat suku Rejang itu sendiri yang dilakukan dengan tulus. Apabila terdapat pemimpin yang bertindak di luar kekuasaannya maka rakyat suku rejang berhak untuk  meninggalkan pemimpi tersebut. Sedangkan jika terdapat seseorang yang mempunyai jiwa dalam kepemimpinan maka orang tersebut bisa dianggap sebagai seorang pemimpinnya. Â
Suku Rejang dalam hal untuk mengatur dari tindakan serta dari perilaku masyarakatnya mereka mengadopsi sistem adat istiadat. Biasanya, adat istiadat yang digunakan tersebut merupakan hasil warisan turun-temurun daripada leluhurnya. Isi dari adat istiadat tersebut diciptakan atas adanya suatu bentuk kejadian yang sudah terjadi. Jika terdapat suatu bentuk permasalahan yang sebelumnya tidak ditemukan solusinya maka masyarakat suku Rejang akan melakukan perundingan dengan melakukan suatu bentuk solusi jalan keluarnya. Jika sudah menemukan kesepakatannya maka aturan tersebut akan dimasukkan ke dalam sistem adat mereka. Dalam hal ini, prinsip kekeluargaan sangat ditekankan oleh Suku Rejang.
Tulisan hasil dari karya karangan William Marsden ini isinya berkisar mengenai Sumatra serta masyarakatnya. Dalam hal ini, William Marsden menjadikan suku Rejang sebagai standar utama guna untuk memaparkan struktur sosial dari masyarakat asli Sumatra. Dengan begitu, penduduk pribumi dari suku-suku yang ada di Sumatra dijadikan sebagai objek utama dalam tulisannya. Tetapi, William Marsden juga menjelaskan Sumatra dari sisi ekologi bahkan ia juga menjelaskan mengenai praktik pertanian yang ada di Sumatra. Jika dilihat dari penulisannya, William Marsden menulis buku "Sejarah Sumatra" dengan titik perhatiannya pada Sumatra dan penduduknya bukan untuk menjelaskan mengenai peran dari orang-orang Eropa yang ada di Sumatra. Sehingga dapat dikatakan buku ini tidak bersifat Eropa sentris. Walaupun di beberapa penjelasan terkadang William Marsden dalam tulisannya menyinggung peran dari orang Eropa seperti pada campur tangan Inggris dalam mengatur pedoman hukum suku Rejang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H