Sejak peristiwa kebocoran data penduduk di tanah air yang dilakukan hacker asing, masyarakat pemerintah mulai membicarakan permasalahan ini. Kejadian ini seperti telah menjadi topik hangat yang diberitakan oleh berbagai media. Padahal, isu data privasi sudah menjadi permasalahan yang harus diusut sejak munculnya budaya media baru. Hal ini dikarenakan platform digital sudah digunakan oleh mayoritas masyarakat. Hampir semua media sosial, e-commerce, vidio gim, dan platform digital lainnya memiliki kebijakan untuk meminta data privasi para penggunanya. Tidak hanya itu, fasilitas layanan pemerintah juga membutuhkan data pribadi masyarakatnya agar dapat pemerintah dapat menjalani.
Data pribadi merupakan pembahasan sensitif yang tidak begitu sering dibahas oleh publik. Padahal, data privasi menjadi salah satu hak yang harus dilindungi, baik oleh pemerintah, swasta, maupun individu itu sendiri. Namun, masyarakat tidak begitu mengetahui apakah data mereka benar-benar terlindungi, terutama di era 4.0 sekarang. Peristiwa heboh Bjorka pada tahun 2022 yang membocorkan data individu masyarakat telah memberikan persepsi baru mengenai keamanan data masyarakat, bahwa data mereka sangat terancam dan pemerintah tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Kejahatan siber saat ini semakin marak. Tidak hanya kejadian data yang bocor, namun penipuan digital sudah sangat sering terjadi sekarang, salah satunya adalah phising yang dikirimkan oleh pelaku melalui aplikasi WhatsApp. Menurut Gregory (2015), kejahatan siber sendiri diartikan sebagai bentuk kejahatan virtual dengan memanfaatkan media komputer yang terhubung melalui internet, dan dapat mengekspliotasi komputer lain yang terhubung dengan internet.
Kejahatan siber dapat diatasi dengan meningkatkan keamanan siber negara oleh pemerintahan. Dengan tingginya keamanan siber, maka celah kejahatan di dunia maya akan semakin sempit. Berbicara tentang keamanan siber, Indonesia menempatkan peringkat ke-84 dengan poin 38,96 menurut laporan National Cyber Security Index. Dari berbagai negara G20, Indonesia menempati urutan yang sangat rendah. Mulai dari serangan virus malware sampai pembocoran data, semua jenis anomaly traffic sering terjadi di negara ini. Hal ini dibuktikkan dengan laporan bulanan publik yang dikularkan oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada Agustus 2022, di mana tercatat 44.776.891 anomali terjadi di Indonesia sepanjang bulan tersebut.
Dilansir dari artikel di kominfo.co.id, Eva Noor selaku PT Exynesis International mengungkapkan dunia butuh 15 juta tenaga expertis untuk cyber security. “Indonesia kini butuh 1000 tenaga ahli (expert) cyber security diluar officer untuk berbagai kebutuhan instansi pemerintah, dunia industri, perbankan, telkom dan lain sebagainya,” ujar Eva di Jakarta, Senin (26/12). Hal ini menunjukkan bahwa tidak banyak SDM berkualitas di Indonesia dalam bidang keamanan siber. Mengetahui situasi ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengadakan program pencarian bakat tentang cyber security bernama Born to Control. Program yang dilakukan pada tahun 2017 ini disosialisasikan oleh Kominfo dengan tujuan mencari 2000 talent di 5 kota. Akan tetapi, kita sebagai masyarakat yang merasakan musibah siber sepanjang tahun masih merasakan ketidakseriusan pemerintah dalam meningkatkan keamanan data negara.
Jika dilihat dari mata hukum, negara kita memiliki undang-undang yang mengatur permasalahan ini. UU No. 19 Tahun 2016 dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi menjadi dua regulasi yang menjadi payung hukum cyber security di Indonesia. Peraturan ini belum cukup menyelesaikan isu yang sudah terjadi dan pemerintah dinilai sangat telat. Pemerintah masih belum memiliki undang-undang yang menjadi fondasi untuk meregulasi arus dunia siber di Indonesia. Hal ini menjadikan pemerintah Indonesia masih belum mempunyai hukum yang kuat terhadap cyber crime.
Keteledoran pemerintah memaksa masyarakat harus menerima konsekuensinya. Sekarang, masyarakat tentunya merasa tidak aman akan kejadian-kejadian serangan siber sebelumnya yang mengekspos kelemahan pemerintah. Pihak legislatif seharusnya mulai serius dalam membuat undang-undang yang membahas kejahatan siber secara spesifik. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus berupaya untuk melahirkan SDM berkualitas di bidang keamanan siber. Jangan selalu mengandalkan sosialisasi sana-sini, tetapi mulailah dengan aksi nyata secara akademik. Pada akhirnya, keamanan data perlu ditangani secara serius oleh pemerintah dan masyarakat agar kejadian ini tidak terulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H