Mohon tunggu...
Farhan Syakur
Farhan Syakur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Shalat subuh. Baca buku. Ke sekolah, kadang-kadang ke sawah. Rehat sambil baca Kompasiana. Sesekali mancing ikan di kolam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sore yang Basah karena Hujan

23 November 2012   23:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:45 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada semilir angin yang meghembus dari jendela terali besi. Angin itu seperti dikirim dari seseorang yang tengah ditelan kerinduan. Ketika rambutnya yang terjatuh di pipinya terhembus, hatinya langsung tergugah lari mendekat jendela. Ia mencari tahu siapa gerangan yang datang.

Nihil. Tak seorang pun yang datang. Rupanya hanya angin biasa yang dikirim oleh pohon sawo di depan masjid. Perempuan itu masih menatap keluar, seperti sedang mengharapkan jawaban atas penantian. Ia menatap jauh keluar jendela. Bukan menatap pohon sawo matang itu, tetapi melihat mawar putih yang dulu pernah dipetik oleh si kekasih.

Ia teringat hari itu. Sore yang basah karena hujan. Air di halaman menggenang sampai membanjiri teras hampir-hampir masuk ke dalam rumah melewati celah pintu. Pemuda itu, yang tampak dadanya membidang, membahasi tubuhnya dengan air hujan. Dengan galah bambu membungkar sampah plastik yang menyumbat selokan.

Ia ingin sekali membantu, memayungi tubuh kekasihnya untuk menyingkirkan dingin air hujan. Ia dibalas dengan senyum yang berarti penolakan.

Ah, hatinya semakin membara. Ia geram. Ingin sekali memberi kehangatan dalam apapun bentuknya. Maka ia masuk ke dalam, menyeduh kopi dan menyiapkan sepiring cemilan, juga bak mandi yang sudah dihangatkan. Ketika ia kembali ke halaman, tiba-tiba ia dikejutkan oleh setangkai bunga yang ia tahu dari mana dipetik. Aromanya melekat tak terguyur hujan, masih saja wangi seperti apa adanya. Dan yang membuatnya semakin hangat adalah wajah di balik rangkaian bunga itu.

Ia semakin tidak bisa berbuat apa-apa ketika tangannya yang basah mendinginkan pipinya. Namun dalam sejenak ia merasakan kehangatan, tidak hanya karena sentuhan tangan tetapi juga karena ia tak lagi mampu menahan untuk jatuh dalam pelukan.

Sore itu, dua tahun yang lalu itu, halaman telah basah oleh hujan dan di dalam rumah keringat jatuh bercucuran.

Hembusan angin dari dedaunan telah membangkitkan kenangan. Air matanya pun tak lagi mampu dipertahankan. Kenangan terindah yang sekaligus menjijikkan. Masa-masa sesudah itu justru membuatnya malu. Seribu kali ia menolak untuk bertemu.

Lelaki yang basah oleh hujan itu memaklumi kebencian kekasihnya. Kepergiannya akan melahirkan bahagia. Maka, dengan mawar yang dipetik dari pohon yang sama ia pamit untuk undur diri. Ia akan pergi, tapi rasa cintanya tidak akan dibiarkan mati. Sehingga, di depan pintu yang tetap dikunci, ia mengucap janji. Kelak takdir akan mempertemukan keduanya kembali.

Aneh, kebenciannya sirna sama sekali. Setiap hari tidak ada yang ia lakukan kecuali merindui. Apalagi ketika hujan kembali turun sore hari, ketika bunga mawar di kebun halaman bersemi kembali.

Sampai hari ini, perempuan itu masih suka berdiri terpaku di depan jendela. Menanti seseorang yang dulu pernah berucap janji.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun