Twitter (saat ini X) merupakan platform yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik global, menjadi media utama untuk interaksi sosial dan bahkan diskusi politik. Karena sifatnya yang real-time, Twitter memungkinkan pengguna, termasuk pemimpin politik, untuk berkomunikasi langsung dengan publik dan dengan cepat membentuk pandangan serta narasi.Â
Selama masa kepresidenannya, Donald Trump sering menggunakan Twitter untuk menyampaikan kebijakan dan pendapatnya, terutama soal isu besar seperti pandemi COVID-19. Tweet-tweet-nya sering kali memicu diskusi dan kontroversi, yang mencerminkan sikap pemerintahannya terhadap berbagai masalah.
Saat pandemi COVID-19, Trump pertama kali menyebut virus tersebut sebagai "Chinese virus" pada 16 Maret 2020. Istilah ini tidak hanya bertujuan untuk menunjukkan asal-usul virus, tetapi juga membawa konotasi menyalahkan China.Â
Retorika ini menjadi bagian penting dari cara Trump berkomunikasi, mempengaruhi pandangan publik, dan memperbesar diskusi tentang dampak pandemi pada hubungan AS-Tiongkok. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan istilah ini oleh Trump memainkan peran besar dalam membentuk narasi seputar virus dan hubungannya dengan meningkatnya sentimen anti-Asia di Amerika Serikat.Â
Istilah ini dengan cepat menjadi simbol dari cara pemerintahan Trump membahas COVID-19, yang berasal dari Wuhan, China, pada akhir 2019. Penggunaan istilah ini oleh Trump bukan hanya untuk menggambarkan asal-usul virus, tetapi dianggap sebagai upaya untuk menyalahkan China atas penyebaran pandemi ke seluruh dunia.Â
Retorikanya sejalan dengan narasi yang lebih besar yang mencoba menggambarkan China sebagai pihak yang bertanggung jawab atas krisis ini, yang juga terkait dengan ketegangan yang sudah ada antara AS dan China, terutama karena perang dagang dan persaingan geopolitik yang semakin memanas dalam beberapa tahun terakhir.
Penelitian yang dilakukan oleh University of California, San Francisco, mengungkapkan bahwa tweet Trump pada 16 Maret 2020 yang menyebut "Chinese virus" menyebabkan lonjakan signifikan dalam penggunaan hashtag anti-Asia di Twitter.Â
Studi ini menganalisis hampir 700.000 tweet dan menemukan bahwa pengguna yang menggunakan hashtag #chinesevirus jauh lebih mungkin untuk menyertakan bahasa rasial yang terang-terangan dibandingkan dengan mereka yang menggunakan #covid19. Secara spesifik, sekitar 50% hashtag yang terkait dengan #chinesevirus mencerminkan sentimen anti-Asia, sementara hanya 20% dari hashtag yang terkait dengan #covid19 yang menunjukkan hal serupa.Â
Perbedaan mencolok ini menunjukkan bagaimana istilah yang digunakan Trump tidak hanya memperkuat bias yang sudah ada, tetapi juga mendorong munculnya ekspresi rasisme baru di dunia maya.
Dampak dari narasi ini sangat mengkhawatirkan. Menurut laporan dari Stop AAPI Hate, hampir 3.800 insiden kebencian terhadap warga Asia-Amerika tercatat dalam setahun, mencerminkan lonjakan signifikan dalam diskriminasi dan kekerasan yang dilaporkan sejak pandemi dimulai.Â