petani jeruk di Desa Karangwidoro. Para mahasiswa ini mewawancarai para petani jeruk untuk mengetahui masalah apa yang sedang dihadapi para petani jeruk pada saat ini. Wawancara ini dilakukan di daerah kebun jeruk Desa Karangwidoro pada Rabu (04/10/2023).
Malang, Kompasiana- Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Malang (UM) melaksanakan wawancara dengan paraWawancara ini dilakukan oleh kelompok mahasiswa dari prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Malang (UM) yang beranggotakan Farel Amanda, Mazidatunni'mah Rahma, Mezaluna Keira, Ryandwino Ramadhan dengan dosen pembimbing Prof. Dr. Imam Mukhlis S.E., M.SI., dan Agung Nugroho S.Pd., M.Pd.,. Pada kelompok mahsiswa ini mewawancarai salah satu seorang petani jeruk bernama bapak Muh. Hilmi Yahya.
Mereka para petani jeruk tidak bisa menentukan harga jual buah mereka sendiri sehingga ini menimbulkan beberapa dampak. "Jika kualitas bagus maka harga akan ikut bagus. Namun harga itu sendiri tetap menganut pada harga para tengkulak," ungkap bapak Hilmi di Desa Karangwidoro.
Salah satu dampak yang sangat terasa yakni pendapatan para petani jeruk di Desa Karangwidoro yang tidak terjamin atau pendapatan mereka yang tidak tentu. Penjualan jeruk di Desa Karangwidoro terhambat karena mengikuti harga jual jeruk di daerah lain seperti Pacitan, Bali, dan Banyuwangi. Mereka tidak bisa mematok harga sesuai yang mereka mau karena mengikuti harga jual di daerah yang telah disebutkan diatas.
"Seperti harga jeruk pacitan yang murah tahun lalu, petani sebenarnya ingin melawan tengkulak agar tidak dijual harga murah. Namun sulit dilakukan. Sehingga kita hanya nurut yang diatas. Sebenarnya jika hasil panen berkualitas baik, bisa. Namun akan tetap kalah dari segi harga dengan para tengkulak yang diatas yang memiliki pasar lebih luas," ungkap bapak Hilmi Yahya, petani Desa Karangwidoro.
Narasumber sempat mencoba untuk menanam beberapa jenis bibit jeruk mulai dari jeruk Pacitan, jeruk siam tapi sempat mengalami kegagalan setelah 5 tahun percobaan "Dulu saya tidak pernah menanam siam, namun saat itu bapak menanam siam dengan metode pemupukan dan perawatan yang disamakan dengan jeruk Pacitan. Ternyata pertumbuhannya  cepat, berbuah full. Karena kita menyamakan pemupukan jeruk siam dengan jeruk Pacitan, akhirnya diumur 5 tahun tanaman jeruk siam mati," ungkap bapak Hilmi Yahya.
Untuk pendapatan para petani tergantung pada hasil panen jeruk mereka setiap periodenya dan sangat berpengaruh pada para pengepul jeruk yang ada di Desa Karangwidoro tersebut selain itu harga jual jeruk dari daerah lain. "untuk 200 pohon bisa menghasilkan 50-60 jt. Dalam sekali panen/ periode dalam hitungan tanaman mulai berbunga hingga habis. Karena untuk pemanenan misal hari ini 1 ton, beberapa hari 1 ton," ungkap bapak Hilmi Yahya.
Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan para petani di Desa Karangwidoro mempunyai banyak hambatan penjualan jeruk mereka. Melihat hambatan-hambatan yang dihadapi para petani di Desa Karangwidoro para mahasiswa mencoba membantu untuk mencari solusi dari permasalahan yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H