Tidak ada pihak luar yang bisa mengintervensi sebuah negara berbuat apa kepada negara lain, kecuali negara itu sendiri. Namun sebisa mungkin sebuah negara tidak mengambil keputusan yang bisa merugikan negara lain. Namun terkadang keputusan yang diambil oleh sebuah negara bisa saja menimbulkan pro maupun kontra di negara lain dengan mengatas namakan kepentingan negara mereka sendiri. Hal-hal inilah yang terkadang membuat hubungan antar sebuah negara memanas.
Seperti hubungan Indonesia dengan Australia yang kerap kali memanas karena perbedaan pandangan diantar kedua belah pihak. Pada tahun 2008, Menlu Hassan Wirajuda dan Menlu Stephen Smith di Perth, menandatangi perjanjian yang meliputi kerja sama bidang pertahanan, penegakan hukum, kontra terorisme, intelijen, keamanan maritim, keselamatan pembangunan dan keamanan pencegahan senjata pemusnah massal. Namun di akhir tahun 2013 ditemukan bahwa Australia melanggar pejanjian tersebut.Â
Ditemukan dugaan bahwa Australia melakukan penyadapan terhadap sejumlah pemimpin Indonesia dalam kurun waktu 2007-2009. Berita penyadapan ini muncul setelah Edward Snowden seorang pekerja kontrak intelejen AS, mulai muncul ke berbagai media internasional dan menyangkut tentang posisi Indonesia. Indonesia bereaksi dengan menarik dubes Indonesia untuk Australia yang menjabat kala itu Nadjib Riphat dari Canberra. Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat sebagai Presiden Indonesia kala itu langsung menginstruksikan akan mengkaji ulang hubungan kerja sama dengan Australia setelah timbul masalah ini.
Mantan Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen (Purn) Sudrajat mengungkapkan bahwa penyadapan merupakan hal yang lumrah dan sudah pasti banyak dilakukan oleh negara-negara maju. Penyadapan menurutnya sudah terjadi sebelum Perang Dunia II. Penyadapan juga semakin lama akan semakin susah dibuktikan seiiring dengan perkembangan teknologi.Â
Kita juga tidak mengetahui apakah Indonesia juga melakukan penyadapan terhadap negara lain atau tidak karena bukti dari penyadapan sendiri memang sulit untuk ditemukan, dan biasanya hal ini dilakukan beberapa negara secara rahasia dan mengatas namakan keamanan negara.
Pada tahun-tahun selanjutnya ketegangan antara Australia dan Indonesia tak kunjung menghilang mulai dari pelaksaan hukuman mati terhadap para pengedar narkoba, perlakuan kejam terhadap sapi-sapi yang dikirim dari Australia. Namun sejatinya hubungan kedua negara sangat saling membutuhkan dan saling menguntungkan, sehingga setiap permasalahan tidak berakhir dengan mengangkat senjata.
Dalam bidang pariwisata ternyata sendiri kedua belah pihak sangat saling menguntungkan. Bagi Indonesia sendiri berdasarkan data dari Bali Tourism Board sebanyak satu juta warga Australia mengunjungi pulau dewata setiap tahunnya dan sebanyak 50 juta dari kalangan menengah di Indonesia memiliki peluang untuk mengunjungi negeri kanguru tersebut. Di hubungan perdagangan antara kedua negarapun sangat menguntungkan, menurut Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia kerjasamanya perdagangan dengan Indonesia memiliki nilai sebesar Rp107 Triliun pada tahun 2015-2016
Kedua negara memiliki banyak sekali kerja sama yang terbaru adalah penghilangan semua batasan yang diterapkan Australia terkait impor minyak kelapa sawit dan kertas yang berasal dari Indonesia. Indonesia juga menyetujui pemangkasan tarif produk gula dan memudahkan impor produk produk dari Australia terutama pada sektor ternak. Indonesia mendapatkan keuntungan berupa penghapusan tarif terhadap produk pestisida dan herbisida. Selain itu kedua negara memperkuat hubungan disektor maritime dan pemberantasan terorisme di kedua negara.Â
Hubungan Antara Indonesia dan Australia memang sering mengalami pasang surut, namun hubungan kedua Negara tetap harus berjalan dengan baik dan saling menghormati kedaulatan masing-masing negara. Hubungan kedua negara ini tidak mungkin bisa dipisahkan karena kedua Negara ini terletak di wilayah yang bersebelahan dan membuat kedua negara ini menjadi tetangga yang abadi.
Perbedaan budaya, sejarah, dan kepentingan tidak seharusnya membuat pertentangan, melainkan bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kedua negara untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan tersebut. Daripada memutus hubungan diplomatik, lebih baik kedua negara saling memperbaiki pola hubungan bilateral dan multilateral mereka agar dimasa mendatang permasalahan seperti ini tidak terulang kembali.Â
Â