Haram disini tidak koheren hanya pada hewan atau sejenisnya yang mahfum kita ketahui. Pun harta juga bisa menjadi haram jika diperoleh melalui jalan yang dilarang oleh Islam. Harta haram dalam benda tentu memiliki cara pandang dalam atribusinya. Akibatnya halal atau haram suatu harta hanya dapat disandingkan kepada perbuatan.
Sehingga obyek hukum yang ditekankan dalam atribut di atas lebih kepada perbuatannya. Tindakan inilah yang disifati haram, halal, dan lain sebagainya. Pun demikian kalau dalam pergaulan sehari-hari penggunaan diksi harta haram atau harta halal, maksudnya ialah uang yang diperoleh lewat jalan haram atau halal.Â
Jadi perkataan tersebut meruapak majazi bahwa hukum hanyalah menjadi atribut dari perbuatan. Sejalan dengan ta'rif hukum yang telah menjadi konsensus Fuqaha', Ushuliyyin dan mufassirin. Pun begitu tidak dinafikan jika dewasa kini manusia dalam mengejar kehidupan materi kadang-kadang tidak mengindahkan aturan haram-halal.
Konsekuensi Hukum
Ironisnya ada juga cara pandang yang begitu ekstrim menyatakan bahwa dalam kehidupan modern kalau ingin maju, mau tidak mau harus bersentuhan dengan yang haram. Nahasnya tidak sedikit asumsi yang menganggap baik bagi muslim yang rajin beramal, tetapi ternyata dari harta haram. Hasil korupsi misalnya.
Lalu bagaimana Fiqh melihat hal demikian ini, niat membantu orang lain dengan harta yang didapat secara tidak benar. Seperti pemaparan penulis diawal tulisan ini, tentu niatan baik tidak akan memetik hasil yang baik jika ada hal yang dilanggar. Ini seperti dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA.
Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu"Â (HR. Bukhari, no. 1410 dan Muslim, no. 1014)
Hadis di atas meski secara konteks mengejawantahkan ihwal sedekah, tentu secara eksplisit juga dapat diqiaskan dalam konteks unggahan Sarah Salsabila diatas. Apapun niatan baiknya dalam memberi bantuan bagi masayarakat terdampak Covid-19 tentu tidak dibenarkan jika cara mendapatkan hartanya salah.
Sehingga perlu kejernihan fikiran dalam membuat suatu unggahan, terlepas niat apapun yang diinginkan tetap saja hal tersebut tetap akan menimbulkan konsekuensi hukum. Terlebih unggahan tersebut memuat simbol dari kalangan lain, yang tentunya dapat mamantik beragam asumsi dan sanggahan. Wallahu A'lam Bish Shawabi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H