politik di Bumi Blambangan sudah mulai semarak dengan upaya grub diskusi guna mengkaji siapa yang kelak laik memimpin Kabupaten di ujung timur Pulau Jawa ini.
Meski Pemilihan Kepala Daerah (PIlkada) Banyuwangi yang juga digelar serentak baru akan diselenggarakan pada 23 September tahun 2020 nanti. Namun suasanaGelaran grub diskusi yang diselenggarakan bukan tanpa alasan, Radar Banyuwangi menjadi pionir dengan memulai Forum Rektor Banyuwangi hingga Forum Diskusi 77 yang menggandeng Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Banyuwangi, keduanya berlangsung semarak. Itu mencerminkan betapa antusisanya para pemantik diskusi guna memunculkan sosok penerus pemimpin Banyuwangi.
Mengingat untuk menjadi suksesor Bupati Abdullah Azwar Anas tidaklah mudah. Penulis yang besar di Semarang lahir dari darah Banyuwangi merasakan dampak perubahan yang terjadi di era Banyuwangi masa kini.
Sebut saja jika dulu Banyuwangi cukup santer terkenal dengan sebutan Kota Santet, bahkan Dahlan Iskan dalam salah satu tulisannya sempat menyebut Banyuwangi sebagai Ibu Kota Santet Nasional. Kini, secara perlahan namun pasti stigma tersebut sudah meredup dan digantikan dengan pandangan baru.
Banyuwangi dengan wajah baru yang dulu dianggap kota santet kini memiliki citra baru menjadi kota sun rise. Bukan tanpa sebab hal itu muncul, ibarat teori relativitas dampak itu muncul dari kegigihan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi yang sejak satu dekade terahir terus memberi atensi penuh terhadap industri pariwisata.
Rubah Stigma
Tercatat tiap tahunnya, puluhan agenda Banyuwangi Festival digelar dibelbagai kecamatan. Kegiatan itu berguna mengenalkan berbagai aspek budaya dan kearifan lokal yang dibalut dengan promosi pemasaran untuk mengundang wisatawan datang. Harapannya dengan masifnya kunjungan turis, Banyuwangi yang banyak menyimpan pesona alam bisa menyamai Bali yang sudah matang dalam industri pariwisata.
Setali tiga uang, selain bentuk program dari Pemkab upaya dukungan seluruh masyarakat Bumi Blambangan juga menjadi kunci dampak stigma positif Banyuwangi saat ini. Mengingat tidak sedikit even di Banyuwangi Festival yang muncul dari usulan masyarakat akar rumput. Sehingga Pemkab hanya menjadi fasilitator sementara penggerak kegiatan itu adalah masyarakat sendiri.
Bukan hanya kota sun rise, Banyuwangi kini juga tenar dengan sebutan lain. Bahkan Abdullah Azwar dalam buku terbarunya berjudul Anti-Mainstream Marketing: 20 Jurus Mengubah Banyuwangi menyebut jika banyak pendekatan tak lazim yang dikerjakan di Banyuwangi antara lain Setiap Dinas adalah Dinas Pariwisata.
Selain itu stigma Banyuwangi dari Kota Santet kini juga menjadi Kota Internet. Ini tak lain dan tak bukan juga berawal dari inovasi Smart Kampung. Program tersebut pengembangan desa yang digagas Banyuwangi untuk mendekatkan pelayanan publik ke level desa.
Sehingga setiap desa di Banyuwangi memiliki program terintegrasi yang memadukan antara penggunaan teknologi, kegiatan ekonomi produktif, peningkatan pendidikan-kesehatan, dan upaya pengentasan kemiskinan. Sejak diluncurkan pada Mei 2016 oleh Menkominfo Rudiantara, kini telah ada 170 desa yang teraliri internet berbasis serat optik dari total 189 desa.
Dalam bukunya tersebut Bupati Anas juga menjabarkan upaya-upaya yang dilakukam dengan pendekatan yang anti mainstream. Diantaranya semakin Terbawah Semakin Prioritas Teratas, Semakin Misteri Semakin Diminati, Semakin Tersembunyi Semakin Dicari, hingga Rumah Sakit Bukan Tempat Orang Sakit. Hal-hal itu menjadikan terobosan baru bagi perkembangan Banyuwangi.
Harapan Besar
Oleh karenanya, harapan besar digantungkan untuk suksesor Abdullah Azwar Anas kedepan karena akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan guna membawa Banyuwangi ke arah yang lebih baik. Upaya-upaya tersebut juga diharapkan mendapat angin segar dari kendaraan politik untuk memilah dan memilih calon yang terbaik.
Jika menggunakan analisis input/output model ekonomi, maupun menggunakan model social concent matrix terhadap peta perpolitikan di Banyuwangi maka akan dapat dilihat dampak pentingnya pemimpin dalam tatanan pemerintahan guna membawa daerah tersebut semakin berkembang.
Lalu upaya simulasi angka-angka dengan satu model tadi yang kemudian menjadi landasan mengapa ihwal pendidikan politik cukup penting. Agar pemilih tak seperti membeli kucing dalam karung. Sehingga upaya meneruskan kegemilangan Banyuwangi Era Bupati Anas dapat berlanjut.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mencatat ada 270 daerah yang menggelar Pilkada serentak. Hal itu dengan rincian sembilan pemlihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota. Gelaran tersebut diharapkan bisa menjadi momen untuk warga bisa kembali memilih pemimpinnya untuk menjabat selama lima tahun ke depan.
Akhirukalam baik atau tidaknya politik ini semua kembali ke Masyarakatnya, idealnya memang harus ada medium pembelajaran agar masyarakat tak hanya memilih sosok pemimpin hanya karena status dan asal usul dari keluarga siapa bukan bisa apa dan memiliki kapabilitas apa dalam kepemimpinan itu maka hal itu cukup riskan.
*Tulisan ini sempat di Muat di Radar Banyuwangi dengan judul yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H