Mohon tunggu...
Fareh Hariyanto
Fareh Hariyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Klasik

Sedang menempa kanuragan di Jurusan Ahwalusasyhiah IAI Ibrahimy Genteng Bumi Blambangan Banyuwangi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Negeri Minim Oposisi

31 Oktober 2019   01:15 Diperbarui: 31 Oktober 2019   01:21 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo dan Waketum Gerindra Edhy Prabowo di Istana Negara, Senin (21/10). (Foto. Dok. Jawa Pos)

Peta politik di Indonesia yang sarat kejutan tak ubahnya permainan. Hal inilah yang tak membedakan siapa lawan dan siapa kawan. Bisa saja yang dulu saling bersitegang dalam hal kontestasi pemilihan, kini justru melenggang bersama untuk sebuah capaian. Meski dalam Demokrasi hal tersebut cukup janggal, namun menjadi wajar karena terus berulang.

Rubah Paradigma 

Di Indonesia  sendiri dengan sistem demokrasi yang memberikan ruang tumbuhnya multi partai politik. Sehingga bebas dalam mengemukakan dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintahan.

Dengan adanya multi partai politik inilah diharapkan mampu melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita dan keinginan masyarakat. Namun fakta dilapangan berbeda, pasca reformasi fungsi oposisi tampaknya menjadi fatamorgana. 

Fungsi oposisi akan berbeda jika dibandingkan dalam sistim dwi-partai yang sudah jelas letak tanggungjawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi partai. Mengingat di dalamnya ada partai yang berkuasa (red. partai pemenang Pemilu) yang berperan sebagai pelaksana pemerintahan.

Serta partai oposisi (red. partai yang kalah dalam Pemilu) yang berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa sewaktu-waktu dapat bertukar tangan dalam pemilu yang akan datang. (Prof. Miriam Budiardjo - 1989)

Seharusnya hal tersebut juga bisa terjadi di Indonesia jika memang elite politik bisa merubah paradigmanya. Kerangka berfikir "Koalisi Anugrah, Oposisi Fitrah" bisa ditanamkan sejak sebelum terjun kedunia politik di negeri minim koalisi ini.

Akhirulkalam, mari kita martabatkan suasana pasca pelantikan presiden ini dengan menjadi masyarakat yang cerdas dengan peduli terhadap segala isu yang ada di negeri ini dengan cara yang bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun