Mohon tunggu...
ucik fardilla
ucik fardilla Mohon Tunggu... -

Paling suka nulis2...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Resesi Ekonomi? Resesi Politik? atau Resesi Arah Pikiran?

8 Desember 2014   13:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:48 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sahabat Ali Bin Abi Thalib berwasiat:

“Maka rakyat tidak akan baik kalau pemerintahannya tidak baik. tetapi pemerintahan itu tidak pula akan baik kalau sekiranya rakyat tidak mendapat istiqamah”.

Istiqamah?

Saya bukan ahli tafsir, mengerti bahasa Arab juga enggak.

Tapi ini Buya Hamka: Istiqamah (di sana) berarti tenteram; ketenteraman pikiran bisa diraih apabila sejahtera. Makmur.

Artinya apa?

Ketika negaramu mengurangi subsidi,

Memilih jalan memangkas jaminan sosial dibandingkan dengan memperbaiki diplomasi,

Masih mencoba untuk mendukung lantaran sosok atau bendera,

Coba saja tanyakan pada diri sendiri, benarkah, sungguhkah keputusan itu tepat?

Oh itu titipan pemerintah sebelumnya, kok. Sesederhana itu! Bukan maksud blal..bla..bla..

Lalu, apa bedanya?

Dunia semakin pintar kawan, tidak lagi saatnya turun meggereti kepentingan khalayak.

Akui saja salah. Perbaiki.

Tepat sekali kalau mengatakan harusnya bangkit kita punya harga diri.

Martabat kita hilang entah kemana…

Orang dulu berharap bangsa bisa menentukan nasibnya sendiri, seolah yang ada ditentukan oleh….entah siapa.

Terlalu banyak spekulasi dan asumsi.

Hasilnya sama saja: stagnansi.

Pantas kiranya kalau bangsa ini lalu dianggap ditunggangi.

Entah itu neoliberal. Atau sebut saja langsung World Bank, kalau IMF malu-malu tampil.

Atau lalu menyebut Sri Ratu dan Maha Raja di balik kursi tahta.

Benar atau tidak, yang mengerikan adalah, kawan, kita berada di dalamnya.

Benar, benar, harga diri terkikir oleh kebutaan.

Dan yang mengerikan adalah kawan, kita berada di dalamnya.

Lalu bisa apa kita?

Satu. Sudahi mulut bicara, mari bekerja.

Saat mulut berbusa membela orang-orang yang berpegang erat di kursinya, tetanggamu kelaparan kau diam saja.

Datangi.

Isi piringmu dengan nasi.

Saat jarimu sibuk memaki si ini karena beda agama, si itu karena beda aliran meski sudah satu agama, si ono karena menyetujui sang penguasa dibanding si koalisi.

Berhenti!

Lihat apa yang sebenarnya terhadi.

Selama ini, setelah kau tengok, ada anak-anak tak bisa sekolah.

Punya uang banyak? Bayari.

Punya uang sedikit? Belikan buku.

Tidak punya uang? Ajari.

Sama lah kita dengan pemerintah, resesi arah pikiran!

Lihat orang-orang itu bertepuk tangan lantar berhasil membuat kita sibuk saling memaki!!

Sungai kita ini, kawan, yang saling membangun bukan saling menghancuri.

Kritik iya.

Namun bukanlah kritikus ompong, mengkritik membabi buta tapi tak mampu berbuat apa-apa.

Mencela, tapi diajak membangun malah lari entah ke mana.

Generasi muda, kita ini.

Bukan problem orientasi, melainkan solusi.

Bukan DESTRUKSI, melainkan KONSTRUKSI.

Blitar, December 8 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun