Mohon tunggu...
Fardhila Rochman
Fardhila Rochman Mohon Tunggu... -

Institut Teknologi Bandung, Chemical Engineering, 2010

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Energi, Mahasiswa, dan Nasionalisme

26 Januari 2014   13:50 Diperbarui: 22 Agustus 2016   15:08 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kalau kamu punya jiwa nasionalisme yang tinggi, kuliah di Indonesia dong"

"Kerja di BUMN berarti keren, nasionalisme tinggi"

Awalnya saya pikir juga begitu, tapi nampaknya Prof. Dr. Ir. IGN Wiratmaja Puja punya pandangan lain. Kemarin (Sabtu, 25 Januari 2014) di Aula Barat ITB digelar grand seminar dies emas HMTM Patra ITB yang berjudul Kemandirian Industri Migas Nasional. Menarik sekali bisa mengetahui fakta-fakta ESDM Indonesia saat ini terutama migas. Betapa Indonesia sangat kaya namun kekayaannya dijual ke orang lain sebagai barang murahan kemudian kita beli lagi sebagai barang mewah.

Sampai akhirnya, ada seorang audien yang membuka topik baru. Kira-kira pertanyaannya seperti ini “Mengapa blok Cepu dikelola oleh Exxon, tidak diambil oleh pihak kita saja? Mengapa proyek Tangguh malah jadi milik BP? Kalau seperti ini terus bukankah kita tidak bisa maju?” Percaya atau tidak, saya deg-degan juga sih menunggu jawaban Pak Puja. Namun dengan sangat runut dan apik, beliau menjawab pertanyaan tersebut.

Dimulai dari penjelasan bahwa bisnis hulu migas itu bukan hal yang sepele. Ada 4 aspek yang perlu diperhatikan :


  1. Padat modal
  2. Padat teknologi
  3. Padat pengalaman
  4. Padat resiko

Mari kita bahas satu-satu. Modal? Mudah. Banyak investor yang mau mendanai kita, karena “ladang” di Indonesia tinggi potensi. Teknologi? Kecil. Insinyur perminyakan dan mesin Indonesia pintar-pintar dan teknologi bukan lagi hambatan. Pengalaman? Nah, ini mungkin yang agak sulit, tapi pengalaman bisa didapat seiring berjalannya waktu dan kerja keras. Orang Indonesia juga bisa. Akhirnya sampailah pada poin keempat, resiko. FYI, untuk mengebor satu sumur minyak/gas perlu dana minimal satu triliun rupiah, minimal Rp 1 T! Dan seperti yang kita tahu, kemungkinan sumur tersebut “basah” (banyak minyaknya) tidak besar. Artinya, kalau sumur yang dibor itu kering, mungkin 3 Triliun bisa melayang percuma. Ada perusahaan Indonesia yang mau buang-buang 3 Triliun? Nggak ada.

Terjawablah, mengapa blok-blok tersebut diserahkan ke pihak asing. Karena cuma “big boy" companies-lah yang berani buang-buang triliunan rupiah untuk mengebor sumur-sumur minyak di Indonesia. Kalau triliunan hilang, mereka senyum-senyum saja. Dengar penjelasan dari Pak Puja ini, jadi ingat kuliah manajemen proyek oleh dosen saya Pak Gerardus Handi Argasetya. Kalau kita nggak mampu ambil resiko, serahkan saja ke trustee company. Now it makes sense.

So, it’s all about risks. Kesejahteraan rakyat Indonesia meningkat pesat, bahkan perekonomian kita meningkat 6.4% disaat negara maju lain untuk mencapai 1% saja sudah ngos-ngosan. Hal ini menyebabkan kebutuhan energi kita juga meningkat. Untuk memenuhinya, ya dengan eksplorasi kekayaan yang kita punya. Sayangnya, kembali lagi ke resiko, tidak ada yang berani.

Pemerintah Indonesia tentunya bukan orang sembarangan yang seenaknya “menjual bangsa” ke asing. Kalau sudah tahu kita bakal gagal kalau nekat mengebor, kenapa harus maksa kan? Kasih saja ke pihak lain yang berani. Yang penting kita pintar mengelola mereka, jangan sampai dibodohi. Itu gunanya mahasiswa kuliah, belajar teknologi. Di sinilah letak nasionalisme. Selama ini kita memandang pihak asing sebagai masalah besar. Bila bekerja untuk mereka, kita harus tunduk, karena mereka “besar dan tinggi”. Salah. Kesalahan kita adalah menganggap pihak asing sebagai hambatan, padahal sama sekali bukan. Mereka di wilayah kita, kita yang harusnya berkuasa. Kuncinya adalah sekali lagi, pintar membagi dan mengelola apa yang jadi milik kita.

Ada mahasiswa yang setelah lulus anti bekerja di perusahaan asing. Ada mahasiswa yang MNC oriented.Sebenarnya itu semua tidak akan mempengaruhi nasionalisme dalam diri, walaupun kerja di perusahaan asing tapi niatnya untuk mebangun Indonesia, apa itu bukan nasionalisme namanya? Dan ketika bekerja di BUMN atau menjadi pegawai negeri tapi niatnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, apakah termasuk tinggi nasinalisme? Bukannya membela perusahaan asing, tapi kita sebagai mahasiswa Indonesia pasti punya jiwa nasionalisme yang tinggi. Sarjana teknik Indonesia pasti patuh kepada kode etik insinyur dan harusnya punya kode etik bangsa Indonesia di hatinya. Semua orang pasti mendambakan Indonesia menjadi negara maju suatu saat nanti. Saya juga. Semoga umur saya masih cukup untuk berdiri di tanah Indonesia ketika jadi negara maju nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun