Sebagai seorang yang tinggal di ibu kota dengan bayang-bayang kemajuan ekonomi dan infrastruktur, nyatanya masih banyak lokasi yang tidak terjangkau oleh transportasi umum yang juga ikut semakin maju.
Ketika saya masih bersekolah dasar di pinggiran Ibu Kota, jarak dari rumah ke sekolah bisa dibilang tidak begitu jauh tetapi memiliki beberapa keterbatasan salah satunya dari aksesibilitas seperti harus melawati jalan sempit, rel kereta api, beberapa lampu lalu lintas, jalan yang rusak, ditambah padatnya lalu lintas saat jam berangkat sekolah dimana harus berpapasan dengan banyaknya orang yang akan berangkat kerja entah menggunakan mobil ataupun motor, mengingat transportasi umum yang belum memadai untuk mengantar ke tempat tujuan.
Dengan kondisi orang tua yang juga harus berangkat kerja, akhirnya saya harus menggunakan jasa antar jemput. Menggunakan jasa antar jemput dengan mobil bukanlah sebuah pilihan yang ideal, sebab penjemputan dilakukan secara bergantian, orang yang pertama di jemputlah yang harus bangun lebih pagi, ditambah kemacetan ketika dijalan menjadi sebuah hal yang tidak pasti.
Di pagi hari, saya dijemput oleh ojek langganan yang sudah kenal dekat dengan orang tua saya dan sudah menjadi kewajibannya untuk mengantarkan saya ke sekolah setiap pagi. Pada saat pulang sekolah saya menaiki transportasi umum “angkot” dengan tarif yang murah “harga pelajar”. Tetapi pada akhirnya angkot tidak dapat menggapai langsung rumah saya, dan saya harus memilih untuk jalan kaki atau naik ojek yang berada di depan gang jalan besar untuk sampai di rumah.
Saya termasuk dalam generasi yang masih merasakan manfaat hadirnya ojek pangkalan, dan itu sangat membantu dalam aspek antar jemput “penumpang”, Ditandai dengan adanya pangkalan seperti pos ronda, motor yang berjejer, serta suasana canda tawa antar bapak-bapak atau sekedar bersantai, maka disitulah terdapat tulisan “pangkalan ojek” atau sekedar “ojek” saja.
Disisi lain, ojek pangkalan tidak selamanya dapat diandalkan, sebab, bagi orang yang tinggal di dekat pangkalan ojek lah yang dapat secara fleksibel menikmati jasa tersebut. Cara menyiasatinya adalah dengan membangun kedekatan dengan salah satu pengemudi agar dapat memesan melalui telepon atau sms.
Kedekatan tersebut lah yang akhirnya membuat adanya ojek langganan atau “dapat diandalkan” yang pada akhirnya timbul rasa tidak enak akibat pelanggan tetap atau segala macamnya antara pengemudi lainnya. Harga yang ditetapkan antar pengemudi lainnya tidak sama rata jika kedekatan tersebut tidak terbangun, ditambah faktor keamanan dan kenyamanan juga dapat berbeda dari sudut pandang penumpang. Seiring berkembangnya teknologi, segala kekurangan dari ojek pangkalan tersebut lah yang pada akhirnya membuat ojek online muncul.
Sejarah Singkat Kemunculan Ojek
Pada tahun 2018, bertepatan dengan tahun pertama saya ambil kuliah antropologi, saat itu banyak pemberitaan mengenai demo yang dilakukan oleh tukang ojek pangkalan terhadap kemunculan ojek online. Banyak spanduk yang bertuliskan larangan ojek online yang tersebar di jalan-jalan besar hingga di gang gang kecil. Demo penolakan tersebut dilakukan Ketika tukang ojek pangkalan merasa sumber mata pencahariannya mulai tersaingi akibat adanya ojek online. Alhasil aksi yang dilakukan oleh tukang ojek pangkalan membuat ruang gerak ojek online pun terbatasi, baik pengemudi dan penumpang ojek online dihantui oleh ketakutan akan munculnya konflik.
Awalnya saya acuh terhadap fenomena tersebut dan menganggap itu hanya demo biasa, “ah cuma protes biasa” atau “biasalah mereka tersaingi sama ojek online dan gak terima”, tetapi ternyata banyak aspek-aspek baik secara sosial, ekonomi dan psikologis yang mempengaruhi pengemudi ojek pangkalan melakukan aksi protes tersebut, dan beberapa kali saya menemukan bahwa pengemudi ojek online tidak hanya berasal dari golongan pekerja baru, tetapi justru berasal dari pengemudi ojek pangkalan yang dapat melihat peluang. meskipun pada waktu itu tidak sedikit dari mereka yang masih tetap setia menjadi ojek pangkalan.
Seiring bertambahnya tingkat kuliah saya, perlahan saya mulai peka terhadap lingkungan sosial yang ada di sekitar. Emang bener ya tujuan kuliah bukan buat pinter, tapi bikin berfikir ketika menemui sebuah masalah. Kemudian, semakin banyaknya referensi buku bacaan yang saya dapat dari materi perkuliahan, secara tidak sengaja saya berkesempatan membaca bukunya Claudio Sopranzetti yang menceritakan mengenai motorcycle taxis atau kita mengenalnya dengan ojek, di Bangkok. Mulai dari awal kemunculannya pada tahun 1970 hingga menjadi sebuah gerakan sosial politik pada 2010. Kehadiran ojek sangat besar dalam membentuk kembali Bangkok.