Mohon tunggu...
Muhamad Farda Setiawan
Muhamad Farda Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - 22107030043 Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Menaruh minat pada ilmu-ilmu sosial, agama, serta sains dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Book

Matinya Kepakaran dan Netizen Maha Benar

15 Maret 2023   11:57 Diperbarui: 15 Maret 2023   12:30 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Masyarakat keninian yang hidup dalam negara demokrasi dapat merasakan kebebasan mereka secara penuh dalam berpendapat dan menerima informasi. Hal itu karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang meningkat sepanjang waktunya, terutama media sosial. Coba hitung berapa banyak informasi yang kita dapatkan dalam sehari saja dari men-scroll tiktok? Mungkin kita tak mampu menghitungnya, bahkan untuk mengingat berapa waktu yang kita habiskan untuk memandangi layar smartphone saja sudah kesulitan.

Tidak seperti di masa lalu ketika informasi umum hanya dapat tersebar dari mulut ke mulut atau melalui media massa konvensional seperti televisi, radio, ataupun koran, informasi kini dapat kita hanya dari gesekkan jari kita diatas layar. Entah sumber yang membawanya dapat dipercaya atau tidak, masyarakat sudah tidak peduli terhadap hal itu. Dulu, seorang ahli di bidang tertentu seperti dokter, psikolog, ahli hukum, hingga pemuka agama dipandang sebagai para pakar yang memiliki otoritas di bidangnya. Seorang muslim biasa menanyakan sesuatu tentang hukum agama atau tata cara ibadah kepada kiai atau ustadz yang benar-benar memiliki pengetahuan dalam hal tersebut. Begitu pula dokter selalu menjadi rujukan utama ketika seseorang memiliki masalah kesehatan, bukannya mengikuti saran-saran dari influencer yang katanya memiliki pengalaman padahal sedang endorse obat.

Tom Nichols pada 2017 lalu menulis sebuah buku yang mengkritik hal-hal tersebut. Buku itu diberi judul "The Death of Expertise" atau "Matinya Kepakaran". Judul yang sangat tegas menggambarkan kekecewaan kalangan ahli karena keahlian mereka yang tak lagi dihargai akibat informasi-informasi bebas tak terkendali dari sumber-sumber antah berantah yang menghancurkan otoritas para pakar. Tom Nichols yang mana adalah seorang profesor dalam bidang strategi dan keamanan nasional di US Naval War College resah dengan keadaan "demokrasi" hari ini setiap orang bebas berpendapat namun tidak memiliki etika dan tanggung jawab.

Berkembangnya teori konspirasi adalah salah satu isu yang diangkat Nichols dalam bukunya kali ini. Tema-tema yang kontroversial, disertai data-data seadanya yang, menjadi daya tarik masyarakat awam terhadap teori konspirasi ketika hal tersebut dibungkus dengan gaya komunikasi yang menarik. Terlebih ketika para selebritas ikut meramaikannya. Dampaknya jangan dianggap sepele. Kita lihat ketika pandemi Covid 19 melanda beberapa waktu lalu. Banyak masyarakat hingga kalangan selebritas yang ikut dalam gerakan anti vaksin. Mengatakan Covid hanyalah bualan elite global untuk melancarkan tujuan jahat mereka. Masyarakat awam pun menjadi enggan untuk mematuhi protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh para ahli medis beserta pemerintah sebagai lembaga yang otoritatif. 

Netizen atau warganet yang kini kurang memiliki kesopanan juga menjadi sorotan. Seringkali kita temui perdebatan-perdebatan di kolom komentar terkait masalah tertentu. Nichols disini memberi contoh tentang seorang mahasiswa yang meminta bantuan di media sosial tentang sebuah materi sains (dalam contoh tersebut adalah kimia). Akhirnya ada seorang yang membantunya, yang kebetulan orang tersebut adalah professor kimia terkenal. Namun bukannya berterima kasih, mahasiswi tersebut malahan mencaci-maki dan memarahinya dengan nada emosi akibat jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dia percayai. Jelas kita bisa menduga bahwa sang professor telah memberikan jawaban yang benar karena latar belakang pendidikan dan pengalamannya yang sudah memenuhi standar dan tak perlu diragukan lagi. Kalaupun profesor tersebut salah, lalu mengapa mahasiswi tersebut harus memprotesnya dengan umpatan-umpatan dan kata-kata tak sopan?

Bukan hanya antara awam dan pakar. Sesama orang awam pun seringkali berdebat tentang hal-hal yang mereka sebenarnya tidak memiliki pengetahuan sama sekali dalam bidang tersebut. Yang mereka ucapkan adalah omong kosong belaka yang dibungkus dengan kata-kata dan tentu saja, umpatan. Dari perdebatan tersebut tentu tidak akan menghasilkan apa apa selain suasana emosional. Netizen kita hari ini masih terlilit dengan segala logical fallacies (kesesatan berpikir) terutama ed hominem ketika berdebat bukannya menggunakan argumen yang jelas dengan data data yang lengkap tetapi malah menyerang hal-hal personal dari lawan debat. Kata kata seperti "ah lu mah gatau apa apa" atau "belajar lagi sana"-yang kenyataannya mereka semua memang gatau apa apa- seringkali terlintas dalam perdebatan di kolom komentar media sosial.

Para pakar jelas bukan orang yang tak pernah luput dari kesalahan. Banyak kita temui dokter di rumah sakit yang melakukan malpraktek, arkeolog yang salah memprediksi umur sebuah batuan purba, atau fisikawan yang teorinya tidak tepat. Namun, Nichols membela mereka bahwa tiap kesalahan-kesalahan mereka setidaknya bisa diperhitungkan. Kita kadang sering memandang satu kesalahan orang lain dibanding ribuan kebenaran yang mereka hasilkan. Ilmu pengetahuan memiliki metodologi tertentu dalam menjalankan segala kerjanya yang dipegang teguh oleh para pakar, dan metodologi itulah yang tidak dimengerti oleh orang awam yang tidak pernah belajar secara terstruktur, yang pada akhirnya akan menghasilkan pernyataan yang ngawur.

Tom Nichols terlihat dalam buku ini tidak bermaksud untuk menyerang masyarakat "biasa" secara umum. Menukil komentar Budiman Sudjatmiko atas buku "The Death of Expertise" ini dalam sebuah acara 2019 lalu, Ia mengatakan bahwa judul seharusnya dari buku ini adalah"The Death of Sanity" atau "Matinya Kewarasan" akibat cara berpikir sebagian orang yang telah "keluar dari jalurnya". Tom Nichols mengatakan bahwa dia bukanlah pendukung Teknokrasi Otoriter, ataupun seorang yang anti terhadap Liberal Arts. Dia hanya mengingatkan bentuk asli dari negaranya yaitu Amerika Serikat (termasuk mirip juga dengan Indonesia) adalah Republik dan bukan demokrasi. Ada perbedaan mendasar yang seringkali dikupakan. Republik atau Res Publica adalah sebuah kendaraan bagi pemilih yang memiliki informasi. Berbeda dengan demokrasi yang mana semua manusia dipandang sama, baik memiliki pengetahuan.

Matinya kepakaran adalah adalah realita yang harus kita sadari telah terjadi saat ini. Disamping beberapa ungkapan dari Tom Nichols yang terkesan berlebihan dalam menentang kelompok anti-kepakaran, namun ia telah menjelaskan bagaimana ilmu pengetahuan yang terstruktur dan memiliki data-data yang valid dan otoritatif seketika runtuh oleh serangan akun akun konspirasi di sosial media, pengaruh influencer dan selebriti, dan acara telivisi yang telah membawa pikiran orang-orang untuk merasa bahwa dirinya telah mengetahui segalanya. Tidak ada orang yang lebih pintar dan lebih pintar daripada dirinya. Internet dipandang sebagai penyebab utama matinya kepakaran dan lahirnya pemikiran pragmatis (dalam artian negatif). Munculnya netizen yang sok tahu dan merasa menjadi maha benar adalah masalah bagi kehidupan demokratis kita.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun