Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh perbukitan dan ladang, sinar mentari pagi mulai menyinari tanah yang masih basah oleh embun. Suasana pagi di kota ini terasa tenang, hanya terdengar suara ayam berkokok dan daun-daun yang tertiup angin. Begitu juga dengan seorang pemuda bernama Ardan yang sudah terjaga sejak fajar menyingsing. Ardan tinggal di sebuah desa yang terletak jauh di luar kota, sehingga setiap pagi ia harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapai tempat kerjanya. Untuk itu, kereta api menjadi transportasi utama yang ia andalkan.
Sejak beberapa bulan lalu, Ardan sudah terbiasa bangun pukul 04.30 pagi untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat kerja. Ia mandi cepat, shalat subuh, dan mengenakan pakaian kerjanya yang sederhana. Setelah itu, ia berjalan kaki menuju halte bus yang terletak di ujung jalan desa. Tak lama, bus kota yang menuju stasiun kereta api datang, dan Ardan pun naik dengan langkah terburu-buru. Suasana di dalam bus tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa penumpang yang tampak lesu, seperti halnya Ardan yang merasa kantuk masih menggantung di pelupuk matanya.
Perjalanan menuju stasiun memakan waktu sekitar setengah jam. Di sepanjang jalan, Ardan sering kali memikirkan bagaimana hari-harinya yang penuh rutinitas. Seringkali, ia merasa seperti robot yang menjalani kehidupan tanpa ada perubahan berarti. Namun, ia sadar bahwa ini adalah cara hidup yang harus ia jalani demi menghidupi dirinya sendiri.
Setibanya di stasiun, suasana sudah ramai. Banyak orang yang berlalu-lalang, ada yang sibuk membeli tiket, ada yang sedang duduk-duduk di bangku menunggu kereta datang, dan ada pula pedagang kaki lima yang membuka lapak di sepanjang peron. Ardan mengambil tiketnya dan membeli sarapan dari seorang ibu yang menjajakan nasi uduk dengan lauk tempe dan ayam goreng. Sambil menikmati sarapan kecilnya, ia mengamati kerumunan orang di sekitarnya. Beberapa wajah tampak familiar, sementara yang lainnya terlihat seperti orang baru.
Akhirnya, suara pengeras suara di stasiun mengumumkan kedatangan kereta yang akan membawa Ardan menuju kota tempat ia bekerja. Kereta api yang tiba pada pukul 06.00 pagi itu penuh sesak dengan penumpang yang sudah berdiri di sepanjang peron. Ardan segera bergegas menuju gerbong yang paling dekat dan mencari tempat duduk yang kosong. Setelah beberapa saat, ia melihat ada satu kursi kosong di sebelah seorang wanita muda yang duduk dengan tenang sambil memegang tas selempang. Wanita itu mengenakan pakaian kerja yang rapi, dengan rambut panjang yang diikat ke belakang.
"Permisi, apakah tempat duduk ini kosong?" tanya Ardan dengan sopan.
"Iya, silakan duduk," jawabnya, lalu wanita itu menoleh dan tersenyum.
Ardan mengucapkan terima kasih, lalu duduk di samping wanita itu. Meskipun kereta sudah mulai berjalan, suasana di dalam gerbong terasa cukup tenang. Beberapa penumpang tampak sibuk dengan ponsel mereka, sementara yang lainnya memilih untuk memejamkan mata menikmati perjalanan.
Beberapa menit kemudian, Ardan merasa ingin mengajak wanita itu berbicara. Namun, ia merasa agak canggung. Setelah menarik napas panjang, ia memberanikan diri untuk memulai percakapan.
"Mau turun di stasiun mana, Kak?" tanya Ardan dengan suara agak ragu.
"Saya turun di stasiun yang sama dengan kamu," jawabnya sambil tersenyum, dan wanita itu menatapnya sejenak sebelum menunjukkan tiketnya.
"Benarkah? Kita ternyata menuju tempat yang sama," kata Ardan dengan wajah ceria dan sedikit terkejut.
"Ya, sepertinya begitu," jawab wanita itu sambil tersenyum manis.
Obrolan mereka pun berlanjut. Ardan merasa senang karena wanita itu ramah dan tidak canggung. Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang kehidupan di kota, dan tentang berbagai hal kecil yang membuat perjalanan menuju tempat kerja terasa lebih ringan.
Ardan pun akhirnya mengetahui bahwa nama wanita itu adalah Laila. Ia bekerja di sebuah kantor yang terletak tidak jauh dari tempat Ardan bekerja. Mereka pun sepakat untuk bertemu lagi di stasiun setelah pulang kerja nanti dan naik kereta bersama.
Setelah berbincang-bincang, perjalanan mereka pun terasa singkat. Kereta berhenti di stasiun tujuan mereka, dan keduanya berpisah untuk menuju tempat kerja masing-masing. Namun, Ardan merasa ada sesuatu yang berbeda setelah bertemu dengan Laila. Ada perasaan yang tumbuh dalam dirinya, perasaan yang selama ini jarang ia rasakan.