Aku hanyalah sebuah wayang kulit, benda mati yang hanya diam tanpa daya, tetapi menjadi saksi bisu dari kisah-kisah manusia yang hadir di sekitarku. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Dalang membawaku keluar dari kotak tua yang pengap untuk sebuah pertunjukan kecil di kampung. Dulu, Dalang masih muda dan penuh semangat, berpentas dari satu kota ke kota lain, membawa seni wayang sebagai warisan budaya. Kini, usianya telah menua, tubuhnya rapuh, suaranya serak, dan batuknya sering terdengar di sela-sela tabuhan gamelan. Namun, ia tetap setia pada seni ini. Baginya, wayang adalah hidup.
Meski penonton semakin sedikit, ada satu wajah yang selalu kukenali: Bastian. Seorang pemuda sederhana yang selalu hadir di setiap pertunjukan, berkaus putih lusuh dan celana training merah yang sudah robek di beberapa bagian. Wajahnya biasa saja, tetapi matanya memiliki binar kehangatan yang sulit diabaikan. Bastian adalah penonton setia yang selalu duduk di pojok dekat panggung. Sejak kecil, ia tak pernah absen. Kini, meski hidupnya penuh kesulitan, ia tetap setia hadir, menikmati setiap detik pertunjukan dengan sepenuh hati, seolah itu adalah oasis di tengah padang pasir kehidupan.
Bastian menjalani hidup yang keras. Ia mengamen dengan suara yang seadanya dan kadang menjual kacang rebus untuk menyambung hidup. Malam-malamnya sering dihabiskan di emperan atau pasar, tempat ia berteduh dari dingin dan hujan. Namun, ia tak pernah kehilangan senyumnya. Ketika gamelan mulai dimainkan, senyumnya semakin lebar. Musik itu, seolah-olah, mampu menghapuskan beban hidupnya, walau hanya untuk sekejap.
Pertemuan Tak Terduga
Suatu malam, di tengah pertunjukan yang sepi, seorang pemuda lain hadir. Penampilannya berbeda. Namanya Agung, seorang pemuda rapi dengan baju koko putih bersih. Ia membawa sebuah kotak kardus bertuliskan "Donasi untuk Anak Yatim." Agung adalah lulusan pesantren yang kembali ke kampung halamannya untuk berbagi rezeki. Ia duduk di dekat Bastian dan menyapanya dengan ramah.
"Mas sering nonton wayang, ya?" tanyanya dengan senyum hangat.
Bastian mengangguk kikuk, merasa sedikit canggung. Pandangannya sesekali melirik kotak kardus Agung yang mulai terisi oleh uang dari para penonton. Diam-diam, wajahnya berubah murung. Mungkin ia merasa iri, atau mungkin malu pada dirinya sendiri yang hanya bisa hidup dari recehan orang lain.
Agung mengajak Bastian berbicara lebih banyak. Mereka berbagi cerita tentang mimpi, harapan, dan lika-liku kehidupan. Bastian mendengarkan dengan penuh perhatian, meski ia lebih banyak diam. Ketika pertunjukan selesai, Agung menawarkan nasi bungkus kepada Bastian. Namun, Bastian menolak dengan sopan. "Terima kasih, Mas, tapi aku nggak apa-apa," ujarnya dengan senyum kecil.
Sebuah Perubahan
Keesokan malamnya, Bastian datang dengan sesuatu yang berbeda: sebuah kotak kecil berisi dagangan kacang yang ia bawa dengan hati-hati. Malam itu, ia melakukan sesuatu yang tak terduga. Di tengah pertunjukan, ia membeli obat herbal dari warung menggunakan seluruh uang yang ia punya. Bahkan, ia rela menjual kacangnya dengan harga lebih murah. Setelah pertunjukan usai, ia menghampiri Dalang dan menyerahkan obat itu dengan malu-malu.
"Ini untuk kesehatan, Pak Dalang," katanya terbata-bata sambil menunduk.
Dalang terkejut, tetapi hanya tersenyum kecil tanpa berkata apa-apa. Wajahnya yang lelah menandakan ia lebih memikirkan hal lain. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat hati Bastian semakin berat. Dalang mendekati Agung dan menyumbangkan sejumlah uang ke kotak donasi. Bastian hanya bisa menahan air mata sambil melihat kejadian itu dari kejauhan.
Perjuangan Baru
Setelah kejadian itu, Bastian memutuskan untuk mengubah hidupnya. Ia berhenti mengamen dan mencoba mencari cara lain untuk bertahan hidup. Ia memulai usahanya sendiri dengan memulung barang bekas. Kaleng susu kental manis yang ia temukan di tempat sampah ia gunakan sebagai tempat menyimpan uang receh hasil kerja kerasnya. Hasilnya memang kecil, tetapi ia merasa bangga karena tak lagi menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang lain.
Suatu hari, saat ia sedang memulung di tepi jalan, Agung melihatnya. Ia mendekati Bastian sambil membawa sebotol air mineral.
"Mas, nggak apa-apa kerja begini? Berat, kan?" tanya Agung penuh perhatian.