Namaku Nasha, salah satu siswa di Sekolah Menengah Atas yang cukup terkenal di kota. Aku tidak pintar namun juga tidak bodoh, dan tubuhku tidak pendek tetapi juga tidak terlalu tinggi. Pada saat ini aku sedang berdiri di tepi jalan protokol untuk menunggu lampu merah bagi pejalan kaki berubah menjadi hijau bersama dengan beberapa pejalan kaki lain yang terlihat sedang terburu-buru. Lalu tidak lama kemudian, lampu berubah hijau dan para pengendara kendaraan bermotor berhenti. Hembusan angin yang membawa debu tipis itu menerpa wajahku yang sudah kusam karena sinar mentari yang setiap hari seakan semakin panas, menelisik mengitari leher dan beranjak pergi.Â
Pikiranku kosong, semenjak bel pulang sekolah berbunyi aku terus memikirkan perkataan Bu Ariani, beliau adalah guruku dan mengatakan bahwa manusia bisa menciptakan apapun di dunia ini. Lalu, aku bertanya pada diriku sendiri, Memangnya aku bisa menciptakan apa? Nilai ulangan matematika saja selalu pas dengan batas nilai. Huft, aku mengakhiri lamunanku setelah suara klakson mobil berbunyi yang menandakan waktu menyebrang akan segera habis, dan setelah sampai di halte seberang ada seseorang menepuk bahuku.
"Hei, jangan melamun terus." Ucap seorang anak laki-laki berambut ikal memakai seragam sekolah yang sama denganku, dia adalah Surya.
"Ah, nggak kok, Sur, hanya sedang memikirkan sesuatu." Jawabku merespon percakapan Surya.
"Memikirkan apa? Pacarmu yang dari kelas sebelah itu?" Tanyanya dengan nada bergurau.
"Hei, itu hanya gosip. Kamu nggak mungkin percaya, kan, Sur?" Jawabku yang sedikit panik karena Surya yang jarang percaya gosip, bisa mengatakan hal seperti itu.
"Hahahahaha, kenapa kamu panik sekali? Aku hanya bergurau tapi soal pertanyaanku tentang memikirkan apa, aku serius." Aku mengarahkan pandangan ke samping, tepat ke arah manik mata Surya sebentar lantas kembali menatap kedepan.Â
"Hanya terpikir ucapan Bu Ariani tadi saat di kelas, beliau mengatakan setiap manusia bisa menciptakan apapun. Jika bisa menciptakan apapun lantas aku bisa menciptakan apa? Nilai matematika saja pas-pasan." Menjawab pertanyaan dari Surya.
"Nggak semua hal harus berpatok pada nilai matematika, Nasha. Coba mulai dengan hal yang kamu sukai. Ngomong-ngomong, bus yang mengarah ke rumahku sudah sampai tuh, aku duluan ya Nasha, sampai bertemu besok di sekolah." Jawab Surya yang disertai dengan lambaian tangan menandakan perpisahan kami dan aku kembali hanyut kedalam pikiranku yang tidak karuan memikirkan apa.Â
Tidak lama kemudian, bus yang mengarah ke arah rumahku datang dan aku bergegas naik. Kini aku tidak melamun lagi dan aku mencoba menikmati perjalananku menuju rumah yang bisa dibilang tidak menyenangkan, berdesak-desakan dengan penumpang lain, aroma tak sedap dari orang dewasa yang sudah lelah bekerja, knalpot motor yang melengking membuat telingaku sedikit sakit, dan hal tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari. Sesampainya dirumah, aku melepas sepatu dan menaruh di atas rak dan ibu sudah menungguku di dalam rumah.Â
"Sudah pulang, Sha? Segera bersihkan dirimu dulu ya, setelah itu kita makan bareng." Jawab ibu dari arah dalam rumah. Untuk makan malam ibu sudah memasak semur daging dan kentang balado. Tanpa kehadiran ayah disini, terasa sangat sunyi karena hanya ada aku, ibu, dan suara sendok garpu yang saling beradu satu sama lain.Â
"Bu, memangnya setiap orang bisa menciptakan sesuatu ya?" Ucapku untuk memecah keheningan, dan akhirnya aku bercerita mengenai kebingunganku yang sedari tadi bersarang di kepala kecilku.
"Bisa saja, tergantung bagaimana orang itu mau berusaha atau tidak. Tumben sekali pertanyaan kamu seperti ini?" Jawab ibu sebelum lanjut menyuap sesendok nasi ke mulutnya.
"Ya, bu. Tadi guruku berkata seperti itu, tapi aku tidak yakin karena aku saja seperti ini dan nilai matematika saja pas-pasan. Eh, bu, ini semurnya terlalu manis, bukankah kalau rasa semur itu lebih sedikit rasa manis dan lebih banyak rasa asin? Lebih pedas, mungkin." Ucapku dengan spontan.
"Ibu rasa ini sudah cukup. Tunggu, kenapa kamu tidak mencoba membuat rasa lain dari semur ini? Seperti yang kamu bilang tadi." Jawab ibu dan memberikan pertanyaan balik kepadaku.
"Ah, tidak, bu. Aku tidak pandai memasak." Jawabku dengan raut wajah malu.
"Ah kau ini, dicoba saja belum, masa sudah menyerah? Ayo bersemangatlah!" Ibu menanggapi dengan mata yang berapi-api seperti mengajak berperang dengan kobaran api semangat.
"Astaga, bu, aku hanya berkomentar tentang masakan ibu kok, jadi disuruh membuat masakan dengan rasa yang aneh-aneh? Lagi pula, membuat semur daging itu sulit, aku masih tidak bisa memasaknya," kataku sambil meneruskan suapan terakhir yang sempat tertunda karena mendengar ucapan ibu.
"Coba saja masak yang mudah terlebih dahulu, pisang goreng misalnya, ibu ada pisang kapas, nanti kamu bisa membuat terobosan baru dengan pisang itu." Jawab ibu dengan memberikan saran.
"Ibu ini ada-ada saja, pisang goreng ya pisang goreng dengan rasa manis, apalagi yang mesti diubah?" jawabku kepada ibu.
"Tidak ada salahnya untuk mencoba, Nak. Ibu ke kamar dulu ya." Ucap ibu sambil memelukku dari belakang. Setelah selesai mencuci piring, aku masuk ke kamarku untuk mengerjakan tugas sekolah dan beristirahat. Tapi sebelum itu, aku kembali memikirkan ucapan Ibu saat di meja makan tadi. Tapi aku juga tidak bisa berbohong bahwa aku memang ingin mencoba membuat pisang goreng versi berbeda, versi yang aku buat sendiri. Setelah selesai makan, aku membereskan piring dan mencucinya.
"Apa kucoba saja ya?" lirihku dalam hati. Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk membuatnya. Pisang yang sudah dibeli oleh ibu, kini telah berubah menjadi pisang goreng yang lembut didalam dan renyah diluar. Tetapi mengapa ini terasa lebih asin dibanding pisang goreng kebanyakan ya? Sedikit aneh saat memakannya tetapi tidak buruk juga. Bergegas aku mengetuk pintu kamar Ibu, sang pemilik kamar pun keluar.
"Bu, coba pisang goreng ini, sepertinya aku membuatnya terlalu asin jadi aku pikir harus di colek dengan saus, bagaimana rasanya?" ucapku sambil menyodorkan pisang goreng.
"Wah, Ibu coba dulu ya." Ibu mencoba pisang goreng buatanku, dimasukkannya pisang goreng yang telah dicolek saus dan melahapnya, lalu mata ibu melihat ke kanan dan kiri untuk memastikan rasanya, dan rasanya adalah...
"Ini enak sekali! Bagaimana caramu membuatnya Sha? Coba besok kamu bawa ke sekolah dan minta temanmu untuk menilainya. Menurut ibu, ini sudah enak sekali!" Jawab ibu dengan sangat antusias.
"Siap bu, akan aku bawa ke sekolah besok dan aku bagikan ke teman-teman. terima kasih ya bu." Jawabku setelah dipuji seperti itu membuatku malu sekaligus senang atas respon ibu. Baiklah, aku akan membawanya besok ke sekolah dan meminta teman-temanku untuk mencobanya.Â
Keesokan harinyaÂ
"Oi, Sha! Weh, bawa apa tuh? Bagi-bagi dong." Sapaan Rohania teman sekelasku, aku baru tiba di depan sekolah dan langsung disambut oleh tepukan di bahu olehnya.
"Hai, Roha! Sabar dong, ini mau aku bagi-bagi sekelas, kalau cukup tapi." Jawabku kepada Rohania yang biasa dipanggil Roha.
"Aku mau juga, dong, Sha!" Surya tiba dibelakang kami tepat saat Roha memanggilku
tadi.Â
"Boleh Sur, nanti ya di kelas bareng sama teman-teman yang lain." Jawabku sambil tersenyum simpul dan dibalas senyum oleh Surya. Begitu tiba di kelas...
"Oi, teman-teman! Nasha bawa makanan nih, katanya mau dibagi-bagi semua itu pun kalau kebagian, HAHAHAHAHA." Sesaat setelah Roha berteriak, teman sekelasku semua langsung mengerubungi mejaku dan menanyakan aku membawa apa.
"Tumben banget? Â Nasha lagi ulang tahun, ya?" tebak Karla dengan asal.
"Nggak kok, ini aku bawa pisang goreng tetapi rasanya lebih asin dari pisang kebanyakan. Jadi, kalian harus memakannya dengan saus, nanti kalian coba berkomentar tentang pisangnya ya." Setelah menjelaskan lalu mendadak suasana kelas menjadi sepi. Mata mereka saling bertatapan satu sama lain, pisang goreng dengan saus, katanya? Membayangkannya saja sudah aneh apalagi memakannya.Â
"Aku mau mencobanya." Suara Surya bersahut.Â
"Sur, kamu kalau terpaksa, mending jangan, deh," kata Roha.Â
Surya tidak memedulikan ucapan Roha dengan tetap mencoba pisang goreng itu dan mengunyahnya secara perlahan dan menelannya. Ekspresi wajahnya berubah, dari yang tadinya memikirkan rasa kini berubah menjadi datar. Sontak, seisi kelas ramai oleh bisik-bisik penghuninya, mengapa Surya mau mencoba pisang goreng yang dibawa Nasha dan dianggap pisang goreng aneh oleh teman sekelas.
"Gimana Sur? Enak?" Tanyaku dengan ragu. Aku takut dia pingsan setelah memakan pisang goreng yang aku bawa.Â
"KALIAN HARUS COBA!! INI ENAK SEKALI! Aku nggak nyangka ternyata pisang goreng enak juga kalau dimakan bersamaan dengan saus." Jawaban Surya ternyata berhasil meyakinkan teman-temanku untuk mencoba pisang goreng buatanku.Â
Dalam sekejap, pisang goreng sudah berada di tangan masing-masing teman sekelas dan  mulai memakannya. Ekspresi mereka bermacam-macam, ada yang memandang aneh, tersenyum dan memakannya lagi, dan ada pula yang menunjukkan ekspresi yang biasa-biasa saja
"Nasha, ini enak sekali. Kamu jago masak ternyata." Roha berkomentar sambil memakan pisang gorengku.
"Sha! Ini enak! Siap terima pesanan nggak?" tanya Pra sambil memandang Roha dan Surya. Mereka berdua mengangguk setuju.
"Aku masih belum pede kalau untuk itu," Jawabku dengan rasa ragu.
Pra menjelaskan kepadaku bahwa kesempatan itu tidak datang dua kali. Aku hanya menjawab nanti akan aku pikirkan terlebih dahulu. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru.
"WOI WOI! SEKOLAH MAU NGADAIN ACARA BAZAR! Dimulai seminggu lagi terhitung mulai hari ini." Ucap Karla, ketua kelas kami. Sontak, seluruh kelas menatap ke arahku dan tersenyum.
"Sha, peluangnya langsung datang. Nanti pisang goreng buatanmu ditambahkan saja di daftar menu kelas kita. Teman-teman setuju nggak?!?!" Teriak Surya dengan bersemangat.
"Boleh, tuh, idenya!" Suasana kelas ramai oleh bincang-bincang anak kelas yang ingin merencanakan tema apa yang mau diambil. Akhirnya, Karla sang ketua kelas membuat keputusan dan mengakhiri suara riuh di kelas.
"Ya sudah begini saja, karena tadi aku mendengar kalau Nasha membuat pisang goreng tapi dengan saus, kita mengusung tema 'Keberagaman Menginspirasi', bagaimana?" Ucap Karla didepan teman-teman kelasnya.
"Aku setuju, Kar!" Jawab Roha dengan semangat.
Para siswa mengangguk tanda setuju dengan tema yang diusulkan oleh Karla. Nasha tak menyangka bahwa pisang goreng yang berawal dari kesalahan karena ia terlalu banyak menambahkan garam malah membukakan jalan untuknya. Karla berkata bahwa hal ini akan dibicarakan lebih lanjut saat pulang sekolah nanti karena bu guru sudah masuk kedalam kelas dan pelajaran segera dimulai. Jam pelajaran terasa lebih lambat dari biasanya, aku sudah tidak sabar untuk berkutat dengan alat dapur setelah pulang sekolah nanti. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, anak-anak kelas berdiskusi mau menyajikan menu apa, dan telah diputuskan bahwa kelas akan menjual pisang spicy, pisang keriting, dan dadar gulung isi es krim. Surya, Pra, dan Roha menghampiriku.Â
"Sha, kamu mau beli bahan-bahannya kapan? Sini kami bantu." Ujar Roha.
"Mungkin sekitar H-2 acara bazar karena pisang nggak bertahan terlalu lama." Menjawab pertanyaan Roha.
"Nanti kalau mau belanja, kami ikut ya Sha, aku sama Pra pulang duluan, ya, Sha. Sampai jumpa!" Roha dan Pra beranjak pergi meninggalkan aku dan Surya yang juga sedang berjalan keluar kelas.
H-2 acara bazar.Â
Pelajaran telah usai dan para siswa segera membubarkan diri. Matahari sedang berjalan pelan kembali ke peraduan, mungkin ia sudah merindukan rumahnya seperti aku merindukan rumahku saat ini. Namun, sebelum aku pulang, aku harus membeli bahan-bahan untuk besok ditemani dengan Roha, Pra, dan Surya. Â