Mohon tunggu...
Fardan Mubtasir
Fardan Mubtasir Mohon Tunggu... Guru - Human, Culture, and Society

Seseorang yang sedang belajar menjadi manusia dan belajar berbagi coretan-coretan sederhana yang bisa berdampak positif terhadap sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Sendu nan Manis

11 September 2024   23:25 Diperbarui: 11 September 2024   23:30 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuaca pagi nampaknya mentari enggan untuk bersinar cerah, awan mendung masih saja menghalangi sinar mentari, mungkin sang awan sengaja menutupi mentari, karena ada beban yang masih dirasa atas berita duka cita. Aku berjalan dengan tatapan kosong berkeliling di tempat kenangan kami, melewati pantai yang menjadi saksi bisu kebahagiaan kami terukir. Menatap sekelompok burung camar sedang mengepakkan sayap tampaknya mereka sangat menikmati semburan ombak dan angin pantai hari ini, kemudian bayangan kami yang sedang tertawa bahagia merasakan tiap butiran pasir saat kami berlari-lari mengikuti lantunan ombak dan angin begitu saja muncul di depan mataku lalu tersenyum.

"Nic, perhatikan ovennya! jangan sampai yang kali ini hangus lagi," perintah Ruby yang masih merasa jengkel dengan Nic karena membiarkan oven menyala begitu saja saat berada sendirian di rumah kemarin.

Selagi ia sibuk dengan adonan kue, pintu putih yang sudah terlihat tua karena garangnya rayap tiba-tiba terbuka tanpa ketukan atau salam dari luar menampakkan pria berkaos putih yang tersenyum ketika aroma kue brownies menyambut indera penciumnya.

"Darimana saja kak? Syukurlah kau datang tepat waktu jika tidak brownies ini sudah habis tidak tersisa karena Luke," ucap Ruby sambil tertawa kecil melihat Luke yang sudah tergiur di depan meja tiba-tiba mengerutkan alis.

"Ck! Padahal aku mau menunggu kak Paul pulang," bantah Luke sebagai pembelaan diri karena terlalu malu mengakui bahwa ucapan Ruby ada benarnya juga.

"Sudah, sudah," aku menyela.

Sudah menjadi makanan sehari-harinya melihat pertengkaran kecil ini. Suasananya masih sama, selalu Ruby dan Luke yang memulai lalu Nic sebagai penonton tenang yang sudah bosan dan ku akan merindukannya.

"Kak Paul jaga!" Teriak Luke girang mendapati sekarang giliran aku berjaga disaat yang lain sembunyi.

Ya, di malam harinya kami bermain permainan bersembunyi dan mencari, salah satu permainan yang kami sukai.

"Dimana kalian, aku datang," seru Paul setelah berhitung. Suaranya menggema di seluruh ruangan membuat adik-adiknya yang sudah berpencar berlari kegirangan mencari tempat bersembunyi.

Aku memulai pencarian di dapur dan ke ruang tamu lalu mataku menangkap sesuatu yang sudah lama tidak kulihat kembali, pintu kamar ibu terbuka. Setelah berpisah dengan ayah, ibu mengalami sakit keras dan beliau selalu berpesan untuk selalu menjaga adik-adikku. Masih membekas, membuat dadaku kian sesak. Rasa penasaran menguasai diriku, perlahan aku memasuki kamar dan ada satu yang aku curigai yaitu kain penutup barang bergerak-gerak seperti ada yang tinggal didalamnya atau memang ada?

 "Akhirnya ketemu juga kau, Luke! Ayo semuanya menyerahlah aku sudah menemukan adik kecil kalian," aku teriak dengan bangga setelah melihat Luke yang ternyata pelaku di balik kain bergerak tersebut. 

"Kak Paul curang! Bagaimana bisa menemukan aku? Kau mengintip ya?," cerocos Luke yang masih tidak menerima kekalahannya.

Aku hanya bisa menahan tawa melihat wajah kesalnya seperti ingin meledak, lalu aku membantunya berdiri dan langsung membersihkan celananya yang kotor terkena debu. Tepat saat Luke berdiri kain yang menutupi sebuah barang itu terjatuh, ternyata itu adalah cermin tetapi ada yang aneh dari cermin itu.

"Kak Paul! Kenapa kau lama sekali? Aku sudah tidak betah di dalam lemari," ucap Ruby kesal karena dirinya hampir kehilangan udara segar di dalam lemari. Ruby datang sambil menggandeng Nic.

"Ternyata kamar Luke menjadi tempat tinggal kedua bagi para nyamuk, 5 menit bersembunyi di bawah ranjangnya saja sudah membuatku gatal-gatal seperti ini," gerutu Nic.

"Yang benar saja? Mungkin karena kak Nic saja yang belum mandi jadi nyamuk mengerubungi kakak," balas Luke sembari tertawa tanpa dosa.

"Baik saudara-saudariku sekarang sudah larut malam itu pertanda bahwa kalian harus segera tidur," celetuk aku saat jarum jam menunjukkan pukul 10 malam.

Sembari mengantar adikku keluar kamar ibu, entah atas perintah dari mana aku dengan sengaja menengok kebelakang. Tidak ada pantulan adik-adikku di cermin, seakan ini semua kosong.

"Hati-hati diperjalanan kak Paul, cepat pulang ya," ucap Ruby dari dalam pagar mengantarku untuk pergi bekerja. Jarak tempat kerja aku tidak begitu jauh itu sebabnya aku mengendarai sepeda pagi ini.

"Hai Paul, tidak biasa kau datang sepagi ini," sapa Diana, teman kerjaku yang sangat suka membaca buku, bahkan aku pernah berpikir apa dia tidak muak melihat barisan kata yang tebal itu. Namun, untuk hari ini aku penasaran dengan buku yang dia baca hari ini terlihat menarik.

"Kebetulan saja tadi aku bangun lebih awal, kau sedang membaca apa?" tanya aku sembari menaruh tas di meja dan beralih duduk disebelah Diana. 

"Oh ini? Hanya cerita pendek karya Guy The de Maupassant judulnya The Horla.  Jika kau ingin meminjamnya, kau harus menunggu aku menyelesaikannya sedikit lagi," jawab Diana menebak keinginan aku yang sungguh tertarik membaca isi bukunya. Aku hanya tersenyum dan mengintip halaman yang sedang Diana baca.

"Tentang keseharian seorang penderita psikosis yang merasa akan dimakan oleh mahluk misterius yang tidak terlihat, ini sedikit menakutkan tetapi entah mengapa selalu membuatku penasaran apa yang akan terjadi di setiap halamannya," sambung Diana yang membuatku semakin tidak sabar membaca karya penulis Prancis itu.

Sore hari adalah saat yang berharga untuk kita sejenak menikmati keindahan alam, salah satunya adalah senja, periode yang sungguh indah. Namun, tidak dengan Diana, wanita berambut pirang itu sedang menuju rumah Paul. Ya, dia ingin memberi bukunya kepada Paul. Sudah hampir setengah jam dia menunggu tetapi sang tuan rumah tidak kunjung menampakkan eksistensinya.

 "DOR," betapa kagetnya Diana mendengar suara tembakan peluru dari lantai atas rumah Paul.

Diana tidak sabar lagi untuk menunggu, akhirnya dia nekat memanjat dan melompat dari atas pagar rumah Paul lalu berlari secepat mungkin karena dia takut.

"Paul kau tidak apa-apa? Kenapa menembakkan peluru? Apa kau sudah gila?" Teriak Diana dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Ruby takut kak,"

"Tidak apa-apa, tidak perlu takut ada kak Paul disini. Aku akan menjagamu dengan baik,"

"Bagaimana jika orang itu menyerang kita lagi kak? Luke tidak mau mati,"

"Sudahlah Luke, tenangkan dirimu. Nic juga tidak ingin seperti itu,"

Diana melihatnya. Dia bisa pastikan hanya ada Paul disana, Paul yang berbicara dan Paul yang memerankan adiknya. 

"Kabar yang sangat baik, Diana. 10 pekan Paul tidak mengalami kepribadian ganda. Pasti Nic, Ruby, dan Luke perlahan menghilang dari pikiran Paul. Tetapi trauma semacam itu memiliki konsekuensi tak terduga dalam pikirannya, maka kita harus waspada," ucap dokter yang sudah berkepala empat itu. 

Aku hanya tersenyum lalu dia memberikan sebotol obat kepadaku, obat yang sama setiap kali aku mengontrol keadaan Paul.

"Pastikan dia meminum obatnya, ini satu-satunya cara untuk menghilangkan Nic, Ruby, dan Luke dipikiran Paul." Aku tidak tega menghilangkan keluarga kecil itu dari pikiran Paul, Paul sungguh sangat menyayangi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun