Deru mesin lokomotif raksasa terdengar seperti melodi yang menakutkan untuk didengar. Hembusan angin kencang yang ditimbulkan juga turut menyumbang suasana mencekam. Akan tetapi, seorang anak bernama Bayu malah takjub dengan hal itu.Sejak kecil, bayu tidak pernah bermimpi menjadi seorang masinis. Ia bercita-cita menjadi seorang satpam, namun hidup membawanya ke arah yang berbeda.  Pengalaman hidupnya mengajarinya satu hal tidak semua yang kita inginkan akan kita dapatkan,  tapi pengabdian pada profesi adalah sebuah pilihan.
   Sejak kecil, Bayu selalu  memandang kereta dengan rasa takjub. Dikampungnya yang kecil, rel kereta melintasi hamparan sawah dan hutan, Setiap kali kereta api lewat, Bayu akan berlari ke pinggir rel, duduk di sana sambil menatap kereta api yang sedang melintasi. Ia akan melambaikan tangan pada masinis yang duduk di balik kaca depan, membayangkan suatu hari nanti dirinyalah yang duduk di sana, mengendalikan mesin besar itu.
   Kereta api adalah simbol kekuatan bagi dirinya. Sejak saat itu, ia punya satu impian yang terus dipegang erat yaitu menjadi seorang masinis.
"Aku ingin jadi masinis, Bu!" ucap Bayu penuh semangat pada ibunya suatu sore. Ibunya tersenyum lembut, mengusap kepala Bayu. "Masinis itu tugasnya berat, Nak, tapi kalau kamu sungguh-sungguh, Ibu yakin kamu bisa."
   Kata-kata ibunya menancap di hati Bayu. Saat teman-temannya bercita-cita menjadi dokter, insinyur, atau guru, Bayu tetap teguh pada impiannya. Setiap kali mendengar suara peluit kereta dari kejauhan, hatinya berdebar kencang. Ia sering membayangkan dirinya duduk di balik kemudi, mengendalikan lokomotif yang kuat dan membawa penumpang menuju tempat yang jauh.
   Tahun demi tahun berlalu, dan impian Bayu tak pernah berubah. Setelah lulus SMA, ia memutuskan untuk mendaftar di sekolah perkeretaapian. Meski jalan menuju mimpinya tidak mudah, ia tak pernah menyerah. Ia mempelajari semua hal tentang dunia kereta api---mekanisme mesin, keselamatan penumpang, dan bagaimana cara mengendalikan lokomotif raksasa. Setiap pelajaran yang ia dapatkan semakin menguatkan tekadnya. Ia tahu, menjadi masinis bukan sekadar pekerjaan, tapi sebuah pengabdian.
   Akhirnya, setelah bertahun-tahun belajar dan bekerja keras, Bayu mencapai impiannya. Hari pertama ia duduk di balik kemudi lokomotif adalah hari yang tak pernah bisa ia lupakan. Dengan tangan yang sedikit gemetar namun penuh keyakinan, ia menggenggam tuas kontrol, merasakan kekuatan besar dari mesin yang kini berada di bawah kendalinya. Deru mesin yang dulu hanya bisa ia dengar dari jauh kini terdengar jelas di telinganya, menjadi bagian dari hidupnya.
   Setiap hari, Bayu mengantarkan ratusan penumpang dari satu kota ke kota lainnya. Bagi banyak orang, pekerjaan ini mungkin terasa monoton---rute yang sama, pemandangan yang sama. Namun, bagi Bayu, setiap perjalanan adalah sebuah tanggung jawab besar. Ia bukan hanya membawa penumpang, tapi juga menjaga keselamatan mereka. Meski mereka tak pernah melihat wajahnya, hidup mereka berada di tangan Bayu setiap kali mereka duduk di dalam gerbong.
   Tahun demi tahun berlalu, dan Bayu semakin terbiasa dengan rutinitasnya. Namun, menjadi masinis juga berarti banyak berkorban, terutama waktu bersama keluarga. Istrinya, Sinta, selalu mengerti. Meski begitu, Bayu merasa bersalah setiap kali harus meninggalkan rumah saat fajar, sebelum anaknya, Nanda, terbangun. Saat ia pulang larut malam, Nanda sudah tertidur pulas. Ada rasa perih di hati Bayu, karena ia tahu, waktunya untuk bersama keluarga semakin sedikit.
   Sore itu, Bayu sedang dalam perjalanan pulang, mengendarai lokomotifnya dengan hati-hati di tengah hujan yang turun deras. Jalan rel di depannya licin, dan pandangan mulai kabur. Di kabin masinis yang sunyi, ia hanya ditemani oleh suara mesin dan gemericik hujan yang menghantam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H