Islam merupakan agama yang lahir untuk muwujudkan perdamaian dan nilai kemanusiaan. Hal ini dapat kita lihat dari cerminan sebuah ungkapan salah satu potongan ayat dari Al-Quran bahwa Islam merupakan Rahmatan lil-Alamin (Rahmat bagi seluruh alam semesta). Jejak kelahiran dan kemunculan Islam di Jazirah Arab berabad-abad yang lampau telah memberikan kita gambaran dari perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran suci ini. Sebuah ajaran yang bersumber dari doktrin Tauhid. Doktrin teologis tauhid inilah yang kemudian yang mengilhami sebuah gerakan pembebasan bagi masyarakat di Jazirah Arab. Penindasan, perbudakan, struktur masyarakat yang timpang, yang didominasi oleh kaum Quraisy mulai ditinggalkan dengan digantikan oleh kehadiran peradaban Islam yang sangat menjunjungi tinggi persamaan dan nilai kemanusiaan. Sehingga berkat tersebarnya ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW, struktur masyarakat saat itupun menjadi lebih adil dan manusiawi.
Mekkah dan Madinah adalah adalah jejak peradaban tersebut, yang ditinggalkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dengan kehidupan yang sangat plural dan dibangun oleh masyarakat yang sangat beragam saat itu—berasal dari suku, bahkan agama yang berbeda—namun tetap hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Nampaknya gambaran tentang kehidupan masyarakat yang damai dan toleran, yang pernah dibangun oleh Rasulullah SAW hanyalah tinggal kisah dalam sejarah peradaban Islam. Kini, Islam menghadapi sebuah dunia yang begitu sangat kompleks. Salah satu tantangan yang dihadapi umat Islam adalah fenomena pendirian negara Islam dan penafsiran makna jihad yang agak keliru dan melenceng.
Mendirikan negara Islam dan wacana jihad memang bukanlah hal yang baru. Namun, akhir-akhir ini kembali mencuat dan marak diperbincangkan. Adalah ISIS/ISIL (Islamic State of Iraq and Shiria/Islamic State of Iraq and al-Sham) yang menjadi pemicunya, lewat berbagai gerakannya yang menggunakan simbol Islam. Maraknya aksi teror, pembunuhan, pembantaian, penghancuran tempat suci, penyanderaan dan sebagainya adalah bentuk-bentuk jihad menurut ISIS yang dilakukan secara terang-terangan. Terbaru awal tahun ini, yakni aksi penyanderaan jurnalis asal Jepang dan pilot asal Yordania. Tak hanya menyandera, ISIS meminta tebusan bagi korban bila ingin dibebaskan dari eksekusi mati. Lewat video yang diunggah dari sayap media ISIS, Al-Furqan, memberikan ultimatum ancaman pembunuhan terhadap sandera asal Jepang bila tidak menebus dengan uang sebesar 200 juta dollar atau setara dengan Rp 2,5 triliun. Namun akhirnya kabar terakhir melansir bahwa sandera tersebut telah dieksekusi oleh ISIS.
Pengaburan makna Jihad yang disebarluaskan oleh ISIS untuk mengajak membunuh, membantai, menyiksa, menyandera orang yang tidak sejalan dengan mereka jelas sangat merugikan Islam. Apalagi fenomena penafsiran jihad yang kontroversial tersebut sangat tidak sejalan dengan kultur dan tradisi Islam Indonesia. Kesalahan dalam memahami makna jihad ini akan sangat berbahaya dan dapat menjadi ancaman bagi sendi-sendi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara—khususnya di Indonesia. Meski letaknya secara geografis berada jauh dari jangkauan ISIS, namun Indonesia merupakan salah satu target penyebaran ideologi radikal yang dikampanyekan oleh ISIS. Ideologi khilafah dan seruan komando untuk melakukan jihad oleh pemimpin ISIS, Abubakar al-Baghdadi kepada seluruh negara termasuk Indonesia. Lewat media internet ISIS sangat gencar mengampanyekan seruan jihad dengan anak muda sebagai sasaran penyebarannya. Bahkan lewat situs Youtube, ISIS mengunggah sebuah video seruan yang menampilkan sosok seorang pemuda anggota ISIS asal Indonesia, Abu Muhammad al-Indonesy mengajak secara terbuka untuk bergabung bersama ISIS untuk melakukan jihad. Video yang berdurasi lebih tujuh menit tersebut, diunggah setahun lalu untuk meraih dukungan dan simpati dari warga Indonesia khususnya anak muda.
Dari sejak setahun lalu mulai marak hingga kini, entah sudah berapa banyak korban yang tidak berdosa, bahkan perempuan juga menjadi korban dari kebiadaban kelompok ISIS. Praktik penyanderaan dan ekseskusi mati warga Jepang dan Yordania dari anggota ISIS nampaknya belum berakhir sampai disini. Apalagi bila tak ada respon kolektif dari dunia Internasional. Praktik kekerasan dan kebiadaban yang ditunjukkan oleh ISIS sangat jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Gus Dur pernah mengingatkan kita bahwa “kita butuh Islam yang ramah bukan Islam yang marah”. Islam sendiri turun ke muka bumi ini bukan untuk melanggengkan kekerasan dan menyebarkan kebencian antara umat manusia. Bagi umat Islam Indonesia sebagai salah satu komunitas muslim terbesar di dunia, fenomena kemunculan ISIS dengan ideologi khilafah jelas merupakan sebuah ancaman. Nilai keberagaman dan hidup berdampingan secara harmonis antar-umat beragama di Indonesia telah berlangsung lama dan tidak boleh dibiarkan terciderai oleh gerakan politik yang berlabelkan agama.
Seperti jargon yang pernah dipopulerkan oleh Nurcholish Madjid pada awal 1970-an lewat pembaruan pemikirannya “Islam Yes, Partai Islam No”. Nampaknya jargon itu kini sangat ngonteks dan relevan dengan fenomena maraknya gerakan politik yang dikampanyekan oleh ISIS. Gerakan yang dilakukan oleh ISIS sangat tidak mencerminkan jati diri umat Islam dan sangat melenceng dari makna jihad yang sebenarnya. Oleh karena itu, bila ISIS menyampaikan dan menyebarkan ketakutan dan ideologi mereka dengan berbagai media. Maka tugas kita adalah melakukan kontra-wacana terhadap penyebarannya. Potret ISIS tersebut seakan membenarkan apa yang disampaikan oleh seorang filsuf Prancis, Blaise Pascal, bahwa “Tidak pernah ada orang yang melakukan kejahatan yang sempurna dengan senang hati kecuali saat mereka melakukannya atas nama agama”. Oleh karena itu, pemahaman tentang jihad yang kabur tersebut mesti diluruskan dengan baik. Agar umat Islam, khususnya kalangan mudanya tidak terjerumus dalam pemahaman jihad yang keliru dalam bentuk praktik kekerasan yang merugikan banyak pihak. Menyebarluaskan ajaran Islam dan menampilkan wajah Islam yang damai dan nir-kekerasan adalah tanggung jawab kita yang mengaku beragama.Jargon “Islam Yes, ISIS No !” nampaknya juga perlu dikampanyekan oleh kaum muda Islam untuk mengingatkan bahwa ISIS —dan sejenisnya—bukanlah representasi dari wajah Islam yang mencintai perdamaian dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.Wallahu A’lam(*)
Makassar, 09 Februari 2015
Muh. Fardan N
Mahasiswa UIN Alauddin, bergiat di HMI dan PKBM CaraBaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H