Mohon tunggu...
Farchan Noor Rachman
Farchan Noor Rachman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, Backpacker, Punker, Penikmat Musik, Pembaca Buku, Pemain Futsal, Penulis, Pemain Game, Penggila Film dan Pendukung Manchester United.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Beradabnya (Sebagian) Fotografer Kita

8 Mei 2012   07:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:33 19355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13364915321575290666

[caption id="attachment_187101" align="aligncenter" width="500" caption="Foto dari Claudia Von Nasution / @odeelix"][/caption] Sabtu, 5 Mei 2012. 04.30 WIB. Saya standby di Stasiun Tugu di Yogyakarta, menjemput kawan-kawan ACI yang ikut merayakan Waisyak di Candi Mendut dan Candi Borobudur hingga keesokan harinya. Bersamaan dengan mereka, para fotografer tumpah ruah dari kereta asal Jakarta. Backpack, kamera, kamera dan kamera. Beberapa dikalungkan atau ditenteng keliling stasiun. Dari situ saya tahu, akan banyak sekali pemburu foto Waisyak di Borobudur. Minggu, 6 Mei 2012. 09.00 WIB. Saya ke Candi Mendut untuk mengantar Diki, seorang kawan penganut Buddha mengikuti detik-detik perayaan Waisyak. Sudah banyak fotografer yang bertengger, siap membidik, di tiap sudut Candi Mendut. Mereka tampak handal dengan kamera dan lensa canggih. Siapa sangka, apa yang saya lihat selanjutnya adalah perburuan. Para fotografer itu berburu dengan buas. Buas, dalam konteks ini, adalah mengambil gambar dengan jarak superdekat. Dekat dengan siapa? Tentu saja para Banthe yang sedang berdoa. Misal, dari belakang altar yang menghadap langsung Banthe pemimpin doa. Atau, berjongkok di depan mereka dengan jarak yang amat dekat, mengambil gambar lekat-lekat, di depan muka sang Banthe yang sedang khusyuk berdoa! Pulang dari Candi Mendut, saya ceritakan hal yang menjanggal di hati itu kepada Gilang. Teman saya yang juga seorang fotografer itu rupanya merasakan hal yang sama. Katanya, beberapa fotografer memang mengambil foto secara serampangan. Mengganggu upacara sembahyang yang harusnya berlangsung khidmat. Minggu, 6 Mei 2012. 16.00 – 23.30 WIB. Candi Borobudur sudah dijejali turis dan fotografer. Semakin malam, perburuan semakin sengit. Suara jepretan kini dibarengi dengan sinar flash yang menyilaukan. Saya sendiri berada di posisi para Banthe itu, di altar sebelah kanan, persis di depan paduan suara Walubi. Para Banthe lain sedang melantunkan kidung doa di depan altar Buddha. Sementara para fotografer memotret dari samping kiri dan kanan, tak sampai satu meter jauhnya. Beberapa Banthe sampai mengerjapkan mata terkena sinar flash yang menyilaukan. Saya mengikuti Pradhakshina, ketika para umat Buddha mengeliling candi sebanyak tiga kali. Ketika prosesi itu pun, para fotografer mengikuti. Hujan flash kembali mengguyur, bertubi-tubi. Banyak mata mengerjap. Banyak mata pula, punya fotografer, yang membara. Saya sempat menegur salah satu fotografer dengan flash menyilaukan dari kameranya. Kepada saya ia bersungut. Di saat bersamaan ia juga melantunkan sumpah serapah. Sebenarnya malam itu, cahaya dari altar sangat terang. Pencahayaan di Borobudur pun sangat memungkinkan bagi para fotografer untuk tidak menggunakan sinar flashnya. Sebutlah saya amatir, tapi itulah yang saya lihat: beberapa fotografer memang tidak peka. Ah, sebagai umat Muslim, saya jadi membayangkan bagaimana rasanya dihujani flash seperti itu ketika sedang shalat. Saya sendiri pun, walaupun bukan fotografer, juga ikut memotret pakai kamera pocket. Saya juga merasakan sulitnya mencari momen.Tapi saya tak tahan melihat tingkah mereka yang mengambil gambar tanpa perasaan. Saya menyebut mereka, pathetic. Tidak manusiawi. Waisyak. Betapa seluruh dunia tahu kalau Buddha adalah agama yang dekat dengan alam. Keseimbangan lahir-batin tercermin dalam kesakralannya beribadah. Waisyak adalah perayaan tertinggi mereka, bagian dari agama mereka, yang apik bila dijadikan objek tulisan apalagi terekam kamera. Tapi, Waisyak kali ini berbeda. Tak hentinya saya mengelus dada. Saya tak tega umat Budha dieksploitasi sebegitu rupa seenaknya. Bagaimanapun Waisyak adalah upacara keagaamaan yang sakral, bukan ladang perburuan photo tanpa aturan.

–

tulisan ini muncul karena kerisauan dan hasil diskusi saya dan @saastrii akibat perilaku (sebagian) fotografer pada saat perayaan Waisyak, ditulis oleh saya, kemudian direvisi oleh @saastrii ..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun