Menikmati senja di Pagatan artinya menikmati debur angin ditambah dengan segar kelapa muda yang dijajakan di tepi jalan. Atau bisa juga sekerat jagung bakar manis yang aromanya menggugah selera. Lantas menjemput angin di tepi pantai.
Pagatan tak hanya milik para pelintas, para pasangan yang dimabuk asmara pun menepi. Mereka dengan sedikit malu-malu saling berpegangan tangan, menikmati surup mentari, seolah nikmatnya senja hanya tercipta untuk mereka saja.
Tapi senja semacam ini pun tetap bisa dinikmati. Bukan dinikmati kemegahannya, tapi justru dinikmati kesahajaannya. Senja yang tercipta untuk melepas lelah. Senja yang sederhana, bisa dinikmati sambil lalu begitu saja.
Keindahan itu tergantung bagaimana persepsi. Sayang keindahan terlalu dibentuk dengan laut yang biru, matahari tenggelam dengan lidah merah yang menyala-nyala, ombak yang berdebur gahar. Padahal nilai keindahan itu tidak ternilai, bisa dinikmati dalam bentuk apapun, keindahan adalah soal rasa, bukan soal ejawantah dari indera.
Dari lalu-lalang kendaran di Pagatan ada keindahan yang terselip dan kadang terlewat. Keindahan yang sungguh sederhana. Keindahan yang murah tapi mewah. Keindahan yang tidak membuat sampai dada membuncah atau tarikan nafas yang harus tertahan karena rasa kagum.
Keindahan senja di Pagatan ini sederhana saja. Dengan kopi di tangan kanan, saya menikmati senja indah yang membasuh rasa lelah. Keindahan atas rasa syukur kaki ini masih tetap menapak di tanah.
Tabik
Simak catatan lain di blog pribadi saya di Efenerr.com
NB : Kutipan senja Seno Gumira Ajidarma tadi dari dikutip dari Trilogi “Jazz, Parfum dan Insiden”.