Senja mungkin adalah momen yang paling diburu para pendamba perjalanan. Senja adalah eskapisme yang dinanti. Banyak orang berlomba-lomba menjari senja merah, senja yang meriah merona, senja yang membuat sosok-sosok pejalan sampai tak bernafas saat menikmatinya.
Mungkin senja bisa dipadankan kemewahan duniawi, walaupun senja sebenarnya bisa saja dinikmati cuma-cuma. Tapi memang adalah kemewahan tersendiri untuk menikmati senja yang sempurna, senja yang orang bilang adalah senja yang takkan terlupa, senja dengan lidah merah menyala-nyala.
Padahal perihal senja Seno Gumira Ajidarma pernah bicara. Begini katanya “Setiap hari ada senja, tapi tidak setiap senja adalah senja keemasan, dan setiap senja keemasan itu tidaklah selalu sama”. Ya, dia benar. Ada banyak bentuk senja. Tiap hari bisa saja berbeda, bisa sempurna, bisa biasa saja.
Tapi soal menikmati senja adalah soal menikmati hati. Dus, ada cara lain menikmati senja. Yaitu menikmati senja dengan kesederhanaannya, bukan senja megah dengan segala kesempurnaannya.
Menikmati senja yang sederhana, tak mendamba senja bulat sempurna atau langit merah merona, tapi menikmati senja sekedar menatap matahari tergelincir detik demi detik, menikmati momen senja itu sendiri.
Dan jika ditengok lebih dekat sebenarnya tidak ada yang istimewa dari senja di Pagatan. Tidak ada eksotisme macam senja merekah merah dan menggelora. Semua biasa-biasa saja.
Senja ini selintas lalu. Terkadang orang tidak peduli. Hanya ada pantai segaris dengan penahan ombak, pasirnya pun hitam dan airnya tak terlalu jernih. Tapi bagaimanapun senja adalah pelepas dari rasa penat yang melanda.
Para pelintas terkadang berhenti di Pagatan. Menikmati debur pantai Laut Jawa. Maka lantas di Pagatan muncul ragam penjual untuk mereka yang berhenti di Pagatan. Senja datang, uang datang.
Para pelintas memang maklum jika berhenti di Pagatan. Lintas Kalimantan Selatan yang jaraknya jauh dan butuh tenaga ekstra untuk dilintasi, di Pagatan-lah mereka beristirahat sejenak. Menikmati nyanyi ombak pelepas lelah.