Pada dasarnya setiap keluarga menginginkan keluarga bahagia dan penuh rasa saling mencintai baik secara lahir maupun batin. Harapan tersebut menyebabkan sebagian orang terus berusaha untuk tetap mempertahankan pernikahannya dengan melakukan berbagai hal demi membangun keharmonisan pasangannya. Sebagaimana tertera dalam Undang - undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, "bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami -- istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".Â
Pada kenyataannya bahwa tidak semua keluarga dapat berjalan mulus dalam mengarungi hidupnya, karena dalam keluarga tidak sepenuhnya dapat dirasakan kebahaglaan dan saling mencintai dan menyayangi, melainkan terdapat rasa ketidaknyamanan, tertekan, atau kesedihan dan saling takut dan bend di antara sesamanya. Â Hal ini terindikasi dengan masih banyak dijumpai rumah tangga yang bermasalah, bahkan terjadinya berbagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Â
KDRT didefinikan dalam Undang - undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), pasal 1 ayat 1, "sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga". Ironlsnya jumlah kekerasan yang terjadi semakin hari semakin meningkat balk secara kuantitatif maupun kualitatif.Â
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), bukan lagi permasalahan baru bagi masyarakat, namun fenomena kasusnya sendiri masih seperti gunung es. Dimana kasus yang dimunculkan di media baik cetak maupun eletronik hanyalah sekian persen dari banyaknya kasus yang terjadi dimasyarakat. Komnas Perempuan meluncurkan CATAHU 2022 tentang KDRT, menjabarkan selama kurun waktu 10 tahun pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun 2012 sampai 2021, tahun 2021 tercatat sebagai tahun dengan jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) tertinggi, yakni meningkat 50% dibanding tahun 2020, sebanyak 338.496 kasus. Angka ini bahkan lebih tinggi dari angka KBG sebelum masa pandemi di tahun 2019.Â
Siapakah yang menjadi korban KDRT?
Memahami masalah KDRT, tidak terlepas dari memahami mengenai masalah pelaku dan korban. Diketahui bersama, bahwa KDRT bisa terjadi dimana saja, bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif yang beragam, sehingga pelaku dan korban bisa berasal dari kedua belah pihak, yaitu pria dan wanita . Jadi korban KDRT sudah tercantum pada UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (3) menjelaskan "Orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga".Â
Komnas Perempuan pada tahun 2020, mencatat bahwa KDRT dialami sebanyak 6.555 kasus atau 59% adalah kekerasan terhadap istri, anak perempuan juga meningkat 13%. Kemudian di tahun 2021, Komnas Perempuan mencatat, 10% pelapor KDRT adalah pria.
Siapa saja yang dapat menjadi pelaku KDRT?
Disebutkan bahwa KDRT terjadi dalam lingkup keluarga yang terdiri dari : Suami, Istri, dan Anak. Bisa dibilang pelaku adalah orang yang melakukan kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Untuk itu, Â peraturan dan kebijakan pelaku KDRT juga telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sejak 16 tahun lalu dan telah diimplementasikan dalam pencegahan dan penanganan perempuan korban kekerasan.Â
Fakta dilapangan mengungkapkan bahwa kenyataannya pelaku KDRT di Indonesia sebagian besar adalah pria yang berperan sebagai suami. Hal ini menjelaskan bahwa adanya kekerasan berbasis gender, dengan bentuk-bentuk kekerasan yang tertuang di UU PKDRT adalah meliputi kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9).Â