Mohon tunggu...
Farah Rizki
Farah Rizki Mohon Tunggu... -

tukang koreksi, blogger musiman, editor typo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dunia (tak) selebar daun kelor *)

5 April 2015   14:09 Diperbarui: 4 April 2017   17:25 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia selebar daun kelor, semua orang tahu (peribahasa) itu. Bahwa dunia sebenarnya tidak selebar kubikel kantor, kadang ada yang tidak sadar. Banyak. Saya salah satunya. Atau mungkin saya saja.

Rumah-jalanan-kantor-jalanan-rumah, setidaknya itulah rutinitas yang saya lalui beberapa waktu ini. Benar-benar dunia hanya selebar kubikel kantor. Sampai kemudian datang satu tautan pengumuman open recruitment Relawan Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau (KIJP)—dari seorang teman—yang menyelamatkan saya dari kubikel kantor yang posesif.

Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau, atau KIJP. Pernah dengar?

Tanpa mengetikan kata-kata itu di kolom google, mungkin sedikit mengingatkan pada kegiatan-kegiatan yang sering diusung oleh satu gerakan yang mengatasnamakan Indonesia dengan mengajar sebagai kegiatan dominan. Penuh dengan aroma semangat, dan inspirasi yang bertebaran.

Untuk kalian yang malas googling, saya akan ceritakan sedikit tentang komunitas ini. Secara singkat, komunitas ini bisa dibilang sebagai perpanjangtanganan Kelas Inspirasi, satu kegiatan yang terlebih dulu ada. Penginisiais KIJP adalah para relawan yang pernah terlibat dalam Kelas Inspirasi. Untuk mengetahui jelasnya, kalian bisa main ke tautan ini.

Dari namanya saja sudah terdengar bahwa kegiatan ini bersifat menebar inspirasi. Masalah siapa yang memberikan inspirasi dan siapa yang terinspirasi, itu bergantung masing-masing orang. Buat saya, boro-boro menginspirasi, justru saya lah yang terispirasi. Baru mendengar namanya saja saya sudah terinspirasi, apalagi setelah saya berkenalan dengan sembilan anak muda nekat yang kurang kerjaan. Gimana nggak kurang kerjaan, kalau mau-maunya mereka datang ke Pulau Pramuka—salah satu Pulau di Kepulauan Seribu—bukan untuk bermain snorkeling, atau main air, mereka malah berkunjung ke salah satu (dan satu-satunya) sekolah dasar, untuk bercerita. Sekolah dasarnya itu ya sekolah biasa, seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Jangan dikira, mentang -mentang sekolahnya berada di kepulauan, lalu sekolah ini membuka fasilitas pelajaran snorkeling, diving, atau mungkin ekstrakurikuler menyetir perahu.

Tiga hari dua malam, seperti penawaran open trip yang kini mulai sebanyak penggemar batu akik, adalah lamanya kegiatan ini dilakukan. Selain mengambil jatah cuti yang bisa dipakai untuk traveling ke Jogja, atau Bandung, misalnya, mereka juga mengeluarkan uang pribadi, yang rata-rata besarnya sepadan dengan nraktir gebetan nonton di malam minggu sambil makan malam romantis di mall dilanjut minum-minum cantik di outlet kopi masa kini. Nekat satu-satunya alasan yang mendekati masuk akal, dan satu lagi, kurang kerjaan.  Kalau pesertanya saja nekat, tidak terbayangkan bagaimana panitia yang menyiapkan?

Satu-satunya misteri yang belum terpecahkan adalah, kira-kira apa motivasi orang-orang ini untuk ikut?Kalau saya, jelas; cari inspirasi, yang tak lain motivasi egois. Tadinya saya curiga, mereka itu para pekerja yang diutus bosnya masing-masing sebagai duta pencitraan, untuk mengenalkan perusahaannya kepada masyarakat luar. Kemarin saya menunggu moment masing-masing dari mereka melakukan adlibs, setidaknya 3 atau 5 kali dalam satu  sesi untuk menyebut nama perusahaan mereka. Tiga hari saya tunggu, mereka semua kompak untuk lupa menyebut nama tempat mereka bekerja.

Jurnalis, pialang saham (oh my god, saya saja baru kali ini bertemu langsung), insinyur, peneliti, bankir, games master (dari namanya saja sudah terdengar bagaimana serunya), apoteker (saya tidak perlu khawatir di mana membeli obat ketika saya ada di pulau), animator (ya tuhan ini pekerjaan yang sangat menggemaskan), asesor psikotes (saya belum siap untuk dibaca kepribadiannya), pelatih yoga (dan saya ngilu melihat gaya splitnya), dan yang tak pernah saya sangka akan ada, PNS (tunggu sampai kalian mengenal orangnya).

Setidaknya itulah beberapa profesi kesembilanbelas anak muda nekat dan kurang kerjaan. Ada beberapa yang baru pertama kali mengikuti kegiatan ini, namun tak sedikit juga dari mereka yang pernah mengikuti sebelumnya. Satu kali, dua kali, bahkan ada yang tujuh kali! Sementara saya? Baru dua kali (tiga kali jika kelas inspirasi ala-ala kantor ikut dihitung.) Di antara mereka, saya hanyalah remah-remah gorengan yang terselip di lipatan bungkusan koran, yang ikut terbuang dan nggak termakan.

Dari sekian banyak orang yang ikut KIJP dengan niat menginspirasi, mungkin saya salah satu anomali, yang mengikuti kegiatan ini karena ingin terinspirasi. Kata orang jawa, ojo gumunan, tapi gimana? Saya rela didukani ibu kalau berada di tengah-tengah mereka, saya nggak bisa ngampet nggumun. Di tengah deadline kantor, kejaran target, sampai di sela-sela perjalanan dinas, mereka masih mengosongkan jadwalnya untuk ikut berpartisipasi melakukan perjalanan ke Kepulauan Seribu.

Ketika sembilan belas orang ini (dan beberapa orang lainnya di pulau lain) baru saja tiba, orang-orang yang baru saja liburan beranjak pulang, kembali ke rutinitas mereka di daratan (yes, orang kepulauan menyebut Jakarta yang kita tinggali itu sebagai daratan, dan mereka sendiri menyebut diri mereka orang pulau). Baru ingat kalau Indonesia itu negara kepulauan? Sama.

Sesampainya di sana, air jernih di sekeliling pulau memanggil-manggil, seperti segelas es teh manis pukul 12 siang ketika bulan Ramadhan. Menggoda. Hari itu, berendam di laut tidak termasuk dalam itinerary kami. Kami sudah mesti bersiap untuk mengadakan kegiatan berkenalan dengan anak-anak dan warga sekitar, mengajak mereka menonton film bersama dengan menyulap dua ruang kelas menjadi studio ala-ala bioskop. Berbekal proyektor, speaker bawaan, dan beberapa lembar koran untuk menutup jendela, tiga film pendek diputar; tentang anak yang tadinya tak suka makan sayur, tentang energi terbarukan, dan tentang membuang sampah di tempatnya. Filmnya seseru deskripsi singkatnya, dan saking serunya, saya ikut terpesona duduk di antara para ibu yang menjadi udangan. Berandai-andai, kapan film-film seperti itu banyak berseliweran di TV lokal. Seperti kejayaan tahun 90-an ketika setiap hari minggu film kartun menjajah hampir semua stasiun tv, menjadi obat ampuh yang membuat anak-anak dengan suka rela bangun pagi. Lebih pagi daripada hari sekolah. The Power of Marathon Film Kartun.

Di Pulau Pramuka, kegiatan agama—dalam hal ini agama islam—sangatlah kuat. Ketika ngobrol bersama seorang ibu yang juga guru di SD tersebut, ternyata setiap hari anak-anak di sana berkegiatan mengaji,  ada yang selepas ashar, ada juga yang selepas mahgrib. Bergantung tempat belajar mereka. Pemutaran film yang harusnya dimulai tepat pukul 03.30 sore, harus rela mundur beberapa puluh menit karena banyaknya anak-anak yang terlalu bersemangat sampai lupa caranya tertib dan mengikuti instruksi. Untung ada satu teman kami (halo kak Maria) yang langsung sigap mengajak anak-anak ini bermain di luar, sementara yang lain menyiapkan peralatan. Kehebohan masih berlanjut saat anak-anak diminta masuk kelas dengan tertib. Ada yang saling dorong, ada yang tak mau mengalah. Butuh lebih dari 15 menit untuk membuat mereka dengan setengah hati antre, memasuki ruangan.

Dengan sedikit teriakan, ocehan dan perhatian yang kadang lepas dari anak-anak, 1,5 jam berakhir dengan lancar. Kami pun pulang menyusuri jalanan, berburu matahari tenggelam. Bagai anak ayam yang sudah lama terkurung dan tak dibiarkan keluar kandang, kami langsung memperagakan berbagai macam pose dalam rangka merayakan moment matahari tenggelam dengan senjanya yang sangat menawan. Beruntung ada seorang pelatih yoga dalam kelompok kami yang langsung mengambil alih jalannya sesi pemotretan di pinggir laut. Entah berapa giga byte yang habis untuk mengabadikan pose-pose cantik dan ciamik kami kala itu. Hingga adzan magrib berkumandang, mengingatkan kami bahwa esok kami masih akan bertemu dengan anak-anak, berbagi cerita tentang kabar dari daratan. Kami pun pulang, bersantap malam. Namun malam masih panjang. Banyak persiapan yang harus dilakukan untuk pertempuran kami esok hari.

Pagi, pukul 04.00. Alarm biologis memanggil membangunkan saya. Ketika semua masih terlelap, saya mencuri start mencari semangat dari beberapa guyuran air segar. Tak seperti pulau-pulau lainnya, beruntung air di Pulau Pramuka termasuk air jernih yang jauh dari payau. Satu per satu dari kami terbangun, mulai mengantre mandi dan bersiap menyambut pagi. Sayang, sarapan yang sudah dijanjikan akan datang sebelum pukul 6 tak jua sampai. Pukul 06.30 sedikit terlambat dari yang seharusnya, kami menyusul anak-anak yang sudah rapi berbaris, mengikuti upacara bendera. SD Panggang 2 di Pulau Pramuka bersebelahan dengan SMP dan SMA. Kebetulan, lapangan upacara yang ada merupakan lapangan milik bersama sekolah menengah pertama. Upacara untuk anak SD digunakan bergantian dengan anak SMP. Kami tak bisa berlama-lama memperkenalkan nama.

Sesuai kesepakatan, satu hari itu SD Panggang 2 kami bajak dari pagi hingga siang. Setelah upacara selesai, kami langsung menuju kelas masing-masing, sesuai jadwal. Masing-masing dari kami mendapat jatah 45 menit di setiap sesinya.

Anak-anak terlihat bersemangat, penasaran, dan menunggu apa yang kami bawa. Sesi satu diakhiri dengan tanda bel istirahat pertama. Ada sedikit miskomunikasi ketika anak kelas 1 dan 2 ternyata tidak dipulangkan seperti yang seharusnya. Padahal mereka tak mendapat jatah pengajar selepas waktu istirahat. Kami yang sudah bebas tugas, secara otomatis membagi diri di kelas-kelas tersebut dengan skenario dadakan yang baru dibuat saat itu juga. Sedikit berdebar saya ikut ambil bagian. The grade of  million little monster. Kelas 1.

Salah satu bagian terbaik yang memompa adrenalin di acara seperti ini; harus selalu memiliki rencana B hingga Z untuk segala situasi. Inspirasi yang kesekian kali.

Dengan segala kerepotan mengatur, dengan sedikit teriakan mengingatkan, siang itu diakhiri dengan bernyanyi dan berjoged bersama dengan lagu dan gerakan ciptaan teman kami, Chiki Fawzi—Iya, Chiki Fawzi yang itu—yang saya rasa punya kantong ide seperti kantong ajaib Doraemon, tak pernah habis.

Setelah berfoto bersama, dan beristirahat sebentar, kami pun kembali ke penginapan. Tenang, hari belum berakhir. Kami masih memiliki satu lagi kegiatan bersama, Kegiatan Lingkungan. Amazing Race Go Green Indonesia—ala-ala, itu namanya. Kami terbagi menjadi beberapa kelompok. Memainkan perannya masing-masing.

Lagi-lagi karena anak-anak tersebut memiliki tenaga yang berlebih, beberapa dari kami harus rela melonggarkan kesabaran, mengatur dan menertibkan mereka. Semua berjalan dengan lancar, sampai adzan magrib berkumandang, menjadi pengingat bahwa hari itu harus usai.

Berusaha melepas kelelahan, kami pun kembali menuju pinggir Tanjung Pegantin, tempat kami bisa mengaku-aku bahwa pinggir laut itu cuma milik kami. Menikmati malam yang jarang kami temukan di daratan. Melihat bintang. Kami duduk berbaris menghadap laut, tenggelam dalam kelelahannya masing-masing. Ada yang bermain gitar, ada yang bersantap malam, bahkan masih ada yang bermain bersama anak-anak. Saya, satu yang mencoba merekam dalam pikiran semua pemandangan itu, berantakan dilihat, menyenangkan dipandang. Semua sepakat, badan kami letih. Tapi semua lebih sepakat bahwa hari itu hati kami menghangat.

Menyusuri pulau mengendarai odong-odong, menjadi penutup malam itu. Alunan musik dangdut yang telah digubah menjadi lebih ceria dan mengentak hati siapa saja yang mendengar, entah kenapa terdengar lebih merdu. Bahkan bisa membuat beberapa dari kami lupa siapa kami, siapa bapak ibu kami. Literally.

Ah, malam masih panjang, sepanjang kisah yang belum usai sampai di sini. Kalau kebetulan itu ada, tiga hari dua malam ini salah satu kebetulan yang menyenangkan.

Pertemuan dengan kesembilanbelas anak muda nekat dan kurang kerjaan. Fariz, Aie, Maria, Johan,Chiki,Uci, Uri, Hain, Yus, Ocep, Domy, Citra, Ayu, Yanti, Anggie, Harry, Putri, Dian, Nida. Pulau Pramuka.

Buat saya, dunia (tak) selebar daun kelor, apalagi kubikel kantor, seperti Jakarta yang tak hanya berhenti di Muara Angke.

Untuk kesembilanbelas anak muda nekat dan kurang kerjaan,

its not ending, its beginning.

*) tulisan ini juga dapat dibaca di sini



1428216710302712084
1428216710302712084

1428216796234062213
1428216796234062213

14282147511361677902
14282147511361677902



Bazinga!

*) Cerita Pramuka bag. 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun