KBGO). Kekerasan yang dilakukan merupakan salah satu serangan yang dilakukan terhadap tubuh, seksualitas serta identitas gender seseorang yang menggunakan teknologi digital sebagai fasilitasnya. Konten yang disebarluaskan secara non-konsensual tersebut termasuk kedalam kekerasan seksual di dunia cyber yang banyak menyerang perempuan. Pornografi balas dendam atau revenge porn merupakan pornografi dengan memanfaatkan kepemilikan materi pornografi yang diperoleh secara 'sah' namun disebarluaskan dengan tujuan balas dendam setelah putus hubungan. Secara umum kekerasan di ranah online dapat menimpa baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi perempuan dinilai lebih rentan untuk menjadi korban yaitu sebesar 71%. Hal ini dikarenakan masih melekatnya budaya patriaki yang terjadi di masyarakat, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa wanita sebagai objek seksualitas, tubuh perempuan hanya sebatas ornament. Â Â Â Â
     Salah satu berita yang pernah menghebohkan media sosial yaitu fenomena revenge porn yang terjadi pada selebriti berinisial R. Penggunaan internet saat ini terbilang wajib dimiliki oleh setiap orang. Salah satu modifikasi kekerasan baru di dunia cyber yaitu Kekerasan Berbasis Gender Online (  Objektifikasi tubuh perempuan terjadi tak hanya pada luar jaringan tapi kini telah menjelma ke dalam ruang digital. Hal itu tentu berdampak pada perempuan yang harus selalu waspada. Tidak jarang korban atas pelecehan seksual justru yang disalahkan atas cara mereka berpakaian, berbicara, maupun membawa dirinya. Mungkin kita sering mendengar atau membaca bahwa langkah-langkah mencegah revenge porn ialah dengan menjaga video privatmu agar tidak memberikan ke siapa pun atau menjaga wajahmu agar tidak kelihatan ketika memberikan foto syur ke pacar. Menganggap korban salah karena sembrono mengambil gambar telanjang sama saja dengan perilaku victim blaming. Pusat kesalahan selalu diletakkan pada korban, padahal yang seharusnya dipermasalahkan adalah si pelaku yang menyebarkan konten tersebut karena wewenang si korban telah diambil. Masalah revenge porn bukan hanya berfokus pada masalah penyebaran gambar atau video intim di dunia digital atau cyberspace, akan tetapi masalah didalamnya juga terdapat kontrol perempuan terhadap tubuh mereka yang direnggut dan dipaksa hidup sebagai property komunal. Menyebarnya foto atau video syur privasi di ruang digital yang jejaknya tidak akan hilang menyebabkan risiko kesehatan mental yang buruk. Para penyintas akan mengalami PTSD (post traumatic stress disorder), serangan kecemasan, dan depresi.   Â
  Pemerintah seharusnya memperioritaskan instrument hukum yang melindungi pengguna, khususnya perempuan yang rentan menjadi korban KBGO, dengan mengesahkan RUU Pungka (Penghapusan Kekerasan Seksual) dan PDP (Perlindungan Data Pribadi). Selanjutnya perlunya terobosan hukum untuk mengoreksi maupun menciptakan perangkat hukum baru yang dapat mewujudkan keadilan dan kesetaraan kemampuan aparat hukum dalam menangani kasus-kasus tersebut. Ada beberapa pasal yang digunakan dalam kasus kekerasan berbasis gender online yaitu UU ITE Pasal 27 ayat (1) mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi atau dikumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, dan UU Pornografi Pasal 4 ayat (1) mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjuaibelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi. Pada faktanya masih banyak pelaku yang tidak jera dengan hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan dampak yang terjadi pada penyintasnya.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H