Mohon tunggu...
Farah Yuanita
Farah Yuanita Mohon Tunggu... -

seorang ibu yang juga aktif menulis media cetak dan online. Bagi yang ingin copas tulisan saya, akan sangat saya hargai bila konfirmasi terlebih dahulu, atau menuliskan link sumbernya dan nama penulis dengan jelas. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan sebagai Proses Belajar Bukan Hanya Bersekolah

9 April 2014   23:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Paradigma yang berkembang selama ini seringkali membatasi pemahaman kita tentang makna pendidikan hanya sebatas pendidikan formal, yang identik dengan kegiatan di dalam sekolah dengan kurikulum dan metode yang belum tentu sesuai dengan tumbuh kembang anak. Anak sebagai subyek pendidikan seringkali hanya dipandang sebagai obyek yang harus mengikuti apa yang telah ditentukan tanpa ditelaah terlebih dahulu apakah bentuk pendidikan tersebut yang dibutuhkan anak dan dapat membantunya menempuh seluruh fase kehidupannya secara optimal. Semua bidang studi yang diajarkan di sekolah belum tentu dapat memberikan keterampilan hidup (life skills) yang lebih diperlukan untuk mengatasi segala persoalan yang akan ia hadapi, terutama saat ia telah tumbuh dewasa dan dituntut untuk hidup mandiri tanpa bantuan dari orangtua.

Banyak anak yang pandai di kelas dan selalu langganan juara saat bersekolah, namun harus tertatih-tatih meniti kehidupan, di saat teman-temannya yang dulu biasa-biasa saja di sekolah malah lebih sukses daripada dirinya. Sebab, mempunyai anak cerdas dengan predikat juara di kelas atau hebat secara akademis dengan nilai-nilai bagus di semua bidang studi sepertinya menjadi tujuan utama orangtua dalam menentukan pendidikan untuk anaknya sehingga menjadikan pendidikan formal seperti sekolah sebagai satu-satunya tempat yang bisa memberikan pendidikan bagi anaknya tanpa memperhitungkan kemungkinan pendidikan dalam bentuk lain yang bisa jadi lebih mendukung anaknya untuk meraih kesuksesan.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Dianggap Sebagai Sarana Menciptakan Si Jenius

Beragam cara pun ditempuh orangtua agar anak bisa menjadi cerdas bahkan sejak usia dini. Istilah periode emas anak yang sering didengungkan pada akhir-akhir ini, memang bisa memberikan dampak positif sebab membuat banyak orangtua menyadari perlunya memberikan rangsangan yang optimal pada anak sejak usia dini. Mulai dari pemberian nutrisi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan fisik anak sampai dengan mengikutsertakan anak dalam sekolah-sekolah untuk anak usia dini yang tumbuh menjamur belakangan ini di Indonesia.  Namun, pada kenyataannya Playgroup (PG) atau Kelompok Bermain (KB), tidak selalu menjadi tempat yang menyenangkan lagi bagi anak. Sebab, Pendidikan Anak Usia Dini yang dimaksudkan agar anak usia dini dapat menumbuhkan dan mengembangkan potensi sesuai dengan tahapan usianya sehingga bisa lebih siap dalam mengikuti pendidikan selanjutnya, pada kenyataannya malah sering membuat anak berada dalam situasi yang tidak nyaman, bahkan terampas haknya untuk menikmati masa-masa bermain.

KB yang seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak untuk berkumpul dengan sebayanya sebagai sarana untuk belajar bersosialisasi, menumbuhkan empati dengan belajar tentang berbagi dan saling membantu, belajar mewujudkan tujuan bersama dengan bekerja sama, dan pengalaman belajar lainnya yang bisa mengembangkan semua aspek dalam diri anak, ternyata pada prakteknya lebih banyak diartikan sebagai tempat untuk menjadikan anak “pintar” dan tampak jenius sejak dini. Orangtua akan lebih bangga bila anaknya bisa menyebutkan angka-angka daripada menghargai anaknya yang mau berbagi mainan dengan temannya. Lalu akan menjejali anak dengan berbagai buku atau alat peraga lainnya yang menjanjikan anak bisa membaca sejak bayi, serta menyerbu sekolah-sekolah yang mengklaim siap menjadikan anak balita bahkan batita menjadi cerdas dan tidak ragu merogoh kocek dalam-dalam untuk masuk ke sekolah favorit yang menyediakan berbagai fasilitas.

Bahkan di Taman Kanak-kanak (TK) yang seharusnya menjadi sarana yang menghibur bagi anak untuk mengenali minat dan potensinya, memupuk keberanian dan rasa percaya diri serta mengeksplorasi hal-hal di sekitarnya berubah menjadi tempat untuk menjejali otaknya dengan segala bentuk metode agar bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tidak cukup dengan itu, bila di kelasnya si anak dianggap belum bisa mengikuti pelajaran, anak akan diikutkan les calistung di luar jam sekolahnya. Bagaimana anak bisa memiliki kesempatan untuk mengembangkan daya imajinasi dan kreativitasnya bila yang difokuskan untuknya adalah kemampuan yang seharusnya baru dipelajari saat anak sudah siap secara kognitif saat di usia SD?

Hal ini mungkin juga terpaksa diterapkan oleh sekolah TK karena banyak SD yang memberlakukan tes calistung pada calon-calon siswa yang mendaftar masuk. Sungguh ironis dan sangat menggelisahkan bila SD yang seharusnya mengajarkan hal-hal yang mendasar malah “menyingkirkan” anak-anak seharusnya diajari dari tidak bisa menjadi bisa. Lalu dimanakah peran sekolah sebagai institusi pendidikan yang mempunyai tanggung jawab mencerdaskan anak-anak bangsa? Sekolah yang hebat bukanlah sekolah yang bisa meluluskan murid-murid yang sudah “pintar” dari sebelumnya. Namun, sekolah yang hebat adalah sekolah yang mampu membantu dan memotivasi anak dari tidak mampu menjadi mampu, dan dari tidak mau menjadi bersemangat tinggi untuk meraih ilmu.

Komersialisasi dan Marjinalisasi Pendidikan yang Merampas Hak Anak untuk Belajar

Tidak bisa dipungkiri, peran pemerintah yang kurang mampu mengawal prosesnya, menyebabkan pendidikan di Indonesia masuk dalam komersialisasi pendidikan. Pemerintah dianggap tidak mampu menyediakan sekolah dengan mutu pendidikan yang berkualitas sehingga memunculkan inisiatif dari banyak pihak (swasta) untuk berlomba-lomba menawarkan sekolah dengan berbagai fasilitas dan metode yang diklaim efektif untuk mencetak anak menjadi anak yang cerdas, kreatif dan kriteria idaman lainnya, tentu dengan biaya yang selangit yang bisa dinikmati oleh sebagian anak yang orangtuanya mampu.

Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak dari saudara kita sebangsa dan setanah air yang kurang beruntung? Mereka harus puas belajar di sekolah-sekolah yang mungkin jauh dari kata layak. Bersekolah dengan taruhan nyawa karena tidak tahu sampai kapan bangunan bisa bertahan dan tidak menimpa mereka. Begitu juga dengan mereka yang harus menumpang di musola kampung atau emperan rumah warga. Belum lagi anak-anak yang bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan karena tinggal di pedalaman atau harus ikut membanting tulang bersama orangtuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Terlebih sistem pendidikan di Indonesia yang lebih mengartikan pendidikan sebagai sekolah bukan sebagai proses belajar sehingga membuat anak-anak yang tidak bersekolah sebagai anak yang tidak berpendidikan dan terbatasi kesempatannya untuk meraih masa depan yang lebih baik hanya karena tidak mempunyai ijazah. Padahal kemampuan orang tidak hanya terukur melalui angka-angka yang tertera pada selembar kertas yang melegalkan seseorang telah lulus dari jenjang pendidikan formalnya saja.

Tanpa bermaksud mengesampingkan pentingnya bersekolah, namun sebenarnya pendidikan bisa didapatkan dari mana saja sepanjang hayat manusia. Sebab, setiap pengalaman yang memiliki efek normatif atau tindakan pada dasarnya bisa dianggap sebagai pendidikan. Sejak dalam kandungan pun, sebenarnya orangtua, terutama ibu, secara sadar atau tidak sadar telah mendidik anaknya. Dari makanan yang dikonsumsi, kata-kata yang diucapkan, tindakan atau perilaku yang biasa dilakukan, akan membentuk dan mewarnai selera, pola pikir dan kebiasaan-kebiasaan yang akan dikembangkan anak di kemudian hari. Karena itu pada sebagian orang, pengalaman yang ditemui dalam kehidupan sehari-sehari dianggap lebih berarti daripada pendidikan formal.

Bila kemudian ada anggapan bahwa semakin lama anak bersekolah akan membuat anak semakin pintar, bisa jadi kurang tepat jika mencermati sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Kurikulum yang memuat materi yang begitu padat sehingga sangat menyita waktu dan energi anak-anak. Serangkaian tugas sekolah yang memaksa anak berkutat dengan pelajarannya yang bila tidak diselesaikan akan ada sanksi atau hukuman baik dari sekolah maupun dari orangtua sehingga tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengeksplorasi hal-hal lain yang mungkin menarik minatnya yang bisa jadi malah merupakan potensi utama dalam diri anak. Kondisi seperti ini bukan tidak mungkin menjadi sumber penyebab banyak permasalahan remaja, seperti kenakalan dan kriminalitias remaja. Sebab tuntutan yang besar dari sekolah dan orangtua agar berprestasi secara akademis bisa memunculkan kecenderungan frustasi dari anak yang akhirnya membuat anak memilih melampiaskan ketidaknyamanan batin yang dirasakannya pada kegiatan-kegiatan yang negatif bahkan destruktif. Ditambah dengan ketidakmampuan para pendidik dan orangtua untuk menjadi “teman” yang memahami jiwa anak dan remaja seringkali mendorong mereka mencari teman lain saat mengalami suatu permasalahan. Sedangkan teman tersebut belum tentu mampu memberikan solusi yang benar bahkan tidak tertutup kemungkinan malah mengajak anak untuk terjerumus ke dalam perbuatan yang salah.

Proses belajar yang seharusnya bisa terjadi dimana saja, menjadi terbatas dalam gedung sekolah dengan situasi anak mendengarkan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan tidak terbantahkan. Tanpa memberi kesempatan dan ruang dialog bagi murid untuk berdiskusi apalagi mendebat bila ada ketidaksesuaian antara yang disampaikan guru dengan pemahaman anak. Bagaimana mungkin akan lahir generasi-generasi bervisi pemimpin yang mampu menjawab segala tantangan jaman bila anak hampir tidak pernah dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang riil bila hanya berkutat pada hal-hal yang mungkin tidak akan pernah ditanyakan saat melamar kerja apalagi untuk menciptakan lapangan pekerjaan?

Ijazah Bukan Jaminan Kesuksesan

Akan sangat menjerumuskan bila anak dianggap hanya akan sukses bila nilai-nilainya bagus dalam setiap mata pelajarannya. Bukan berarti anak harus berhenti sekolah, namun banyak tokoh dunia yang menyerah pada rutinitas perkuliahan dan memutuskan untuk mengeksplorasi kemampuannya dan berguru pada kehidupan sehingga bisa sukses bahkan memberikan manfaat yang besar pada kehidupan. Seperti Bill Gates yang memutuskan keluar dari kampus dan mendirikan Microsoft bersama Paul Allen. Ada Tiger Wood yang memilih menekuni hobinya bermain golf sehingga mengantarkannya menjadi juara dunia daripada meneruskan kuliahnya. Sedangkan Steve Jobs adalah salah satu contoh orang yang awalnya kurang beruntung karena tidak bisa meneruskan kuliahnya disebabkan masalah finansial keluarga. Tapi dengan tekad dan kegigihannya, Steve Jobs menjadi salah satu orang yang memberi kontribusi yang besar pada dunia yang dengan kemampuannya memungkinkan kita menikmati kecanggihan iPad dan iPhone, sebagai salah satu dari sekian banyak inovasinya.

Dalam situsnya, Ciputraentrepreneurship menampilkan wawancara yang cukup menarik antara New York Times dengan Laszlo Bock, pimpinan operasional Google mengenai sistem perekrutan karyawan di Google. Ternyata, Google memilih untuk menghindari lulusan top dengan nilai terbaik untuk menjadi karyawan dengan alasan mereka yang biasanya lulusan dengan predikat terbaik dianggap tidak memiliki “kerendahan hati intelektual” karena dididik untuk mengandalkan bakat mereka sehingga kurang mampu beradaptasi saat terjun ke dunia kerja. Orang-orang dengan bakat jenius dianggap cenderung berpikir saat ia sukses karena ia jenius namun saat gagal ia akan menyalahkan orang lain atau hal-hal lain di luar dirinya. Menurut Bock, orang yang sukses tanpa mengenyam pendidikan formal adalah orang-orang yang luar biasa. Sebab, baginya kemampuan untuk belajar adalah hal yang lebih penting daripada tingkat kecerdasan, gelar akademik mapun ijazah dengan banyak nilai A.

Tugas Pemerintah

Sebagai pihak yang menyelenggarakan pendidikan, pemerintah sudah seharusnya secepatnya bergerak untuk membenahi segala tantangan permasalahan pendidikan di Indonesia yang begitu banyak sehingga menempatkan Indonesia dalam ranking yang sama sekali tidak membanggakan di dunia dalam masalah pendidikan. Bisa dimulai dari menjauhkan bahkan memisahkan pendidikan dari dunia politik sehingga posisi-posisi strategis dalam kewenangan pendidikan dapat diisi dengan orang-orang yang benar-benar kompeten dan mempunyai visi yang bagus dalam memajukan pendidikan Indonesia.

Akan sangat menentukan bila orang-orang yang dipilih adalah orang-orang yang sudah mempunyai peran dan karya nyata sebelumnya yang rela mengerahkan segenap upaya dan kemampuannya dalam bidang pendidikan yang juga memberikan kesempatan pada banyak kalangan yang tidak beruntung untuk bisa menikmati pendidikan. Bukan dari parpol atau golongan tertentu yang mungkin hanya akan mewakili kepentingan kelompok tertentu dalam kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan.

Dengan sistem yang menjauhkan pendidikan dari kepentingan-kepentingan lain, diharapkan orang-orang yang berwenang dapat dengan bebas membuat kebijakan-kebijakan yang sepenuhnya didasarkan pada kepentingan dunia pendidikan di Indonesia. Anggaran dapat sepenuhnya dikelola untuk kemajuan pendidikan dengan membangun sarana, prasarana dan fasilitas yang bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Pemerataan pendidikan sebagai hak seluruh warga negara Indonesia dapat diakses oleh setiap anak di negara ini. Para orangtua dan anak bisa merasa tenang tanpa rasa was-was karena dapat bersekolah di dalam gedung dan bangunan penunjang pendidikan yang layak dan aman untuk anak di seluruh wilayah Indonesia.

Mutu guru sebagai ujung tombak pendidikan yang menentukan kualitas anak-anak sebagai generasi penerus bangsa juga perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah. Hal ini bisa diwujudkan bila pemerintah bisa menyelenggarakan suatu sistem pendidikan yang baik untuk para calon guru. Sebab, akan sulit bagi seorang guru bisa mendidik anak dengan baik, bila ia sendiri tidak mendapatkan pendidikan yang baik.

Dibutuhkan satu institusi khusus semisal sekolah kedinasan untuk guru dengan sistem perekrutan yang baik, sehingga bisa didapatkan calon guru yang mempunyai kriteria-kriteria yang memenuhi syarat untuk menjadi guru yang berkualitas. Bila selama ini kebanyakan orang memilih bekerja sebagai guru bukan sebagai profesi idaman, sehingga saat menjadi guru pun dia tidak bisa memiliki passion yang kuat untuk menjadi fasilitator belajar yang baik bagi anak. Perekrutan yang melalui serangkaian tes seperti halnya sekolah kedinasan yang lain, akan memungkinkan terjaringnya SDM yang benar-benar memiliki kompetensi dan motivasi yang tinggi untuk menjadi guru. Bukan orang-orang “salah jurusan” yang pada akhirnya menganggap tugas guru hanyalah mengajar, bukan mendidik dan mengelola anak-anak yang telah dipercayakan padanya untuk dibimbing dan difasilitasi menjadi pribadi yang mandiri dan menikmati proses belajar mengajar bersamanya sehingga dapat tercapai tujuan pendidikan bersama. Dengan ditempatkan dalam satu institusi, maka diharapkan penyelenggara pendidikan dapat mengontrol mutu dan kualitas lulusan guru.

Selain itu, sekolah kedinasan tersebut diharapkan disertai dengan jaminan pengangkatan lulusannya sebagai pegawai negeri serta jenjang karir yang jelas sehingga bisa memberikan rasa tenang kepada guru saat menjalankan tugasnya karena ada kepastian dari pemerintah. Sebab, anggapan bahwa guru bukanlah profesi yang menjanjikan dalam segi ekonomi juga menjadi faktor penyebab banyak SDM yang berkualitas kurang berminat berprofesi sebagai guru. Dengan ikatan dinas, pemerintah juga dapat melakukan pemerataan penyebaran guru-guru yang bermutu ke seluruh wilayah Indonesia.

Sikap Yang Perlu Dikembangkan

Sebagai orangtua dan pendidik, akan sangat mendukung anak bila memiliki pemahaman bahwa pendidikan adalah proses belajar yang seharusnya membuat anak bisa mengeksplorasi kemampuan dan hal-hal baru disekitarnya agar mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman yang membantunya menjalani kehidupan. Memahami tahapan perkembangan anak juga dapat membantu mengembangkan semua aspek pada diri anak dengan cara yang tepat sehingga anak dapat menikmati proses belajarnya dengan nyaman tanpa paksaan apalagi ancaman sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan tahapan usianya.

Sekolah hendaknya dipandang sebagai tempat yang memfasilitasi proses tersebut agar lebih terarah dan orangtua memiliki partner dalam membimbing dan memberikan stimulasi bagi anak dalam mengenali dan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Bukan sebagai satu-satunya tempat anak untuk belajar lalu diartikan anak yang belajar adalah anak yang duduk di kursi dan menulis di mejanya saja. Karena proses pembelajaran sebenarnya bisa didapatkan anak dari manapun dan dari siapa saja yang kemudian menjadi tugas orangtua dan para pendidik membantu anak untuk mengolah input yang dia dapatkan menjadi hal yang positif dalam proses belajarnya.(*fay)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun