Dalam sehari, Jawa Pos edisi 25 Maret 2014 memuat dua berita mengenai 2 TKW yang nyawanya sama-sama tergantung pembayaran diat. Diat atau uang darah sebesar 21 milyar untuk menebus nyawa Satinah TKW asal Semarang, Jateng dan diat berjumlah sangat fantastis yaitu 90 milyar diminta oleh keluarga majikan Zainab, TKW asal Bangkalan yang divonis membunuh majikannya pada Juli 2000.
Ironis memang, para TKW yang karena sulitnya memenuhi kebutuhan hidup di negeri sendiri hingga terpaksa harus bekerja ribuan kilometer dari negaranya dengan harapan dapat memberi kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, malah harus membayar uang dalam jumlah yang mungkin tidak akan pernah bisa mereka kumpulkan meski harus bekerja seumur hidup di Arab Saudi, untuk menyelamatkan kepala mereka dari hukuman pancung.
Alih-alih mendapatkan riyal untuk dikirimkan kepada keluarga di kampung halaman, kini malah keluarga merekalah yang harus berjuang mati-matian untuk bisa mendapatkan uang dalam jumlah yang mungkin hanya bisa dimiliki oleh segelintir konglomerat di negara ini untuk menyelamatkan nyawa orang yang mereka kasihi.
Sungguh tidak bisa kita bayangkan seperti apa perasaan anak, orangtua, kakak atau adik dan segenap keluarga mereka di kampung saat ini. Mereka tentu tidak bisa makan enak, tidur nyenyak dan hidup tenang karena di saat yang sama mereka memikirkan Satinah dan Zainab yang harus menjalani hari-hari dalam hitungan jari menuju eksekusi hukuman pancung. Suatu bentuk hukuman yang mungkin bagi kebanyakan kita hanya ada di film Robin Hood atau Braveheart dan film-film epik zaman dahulu.
Tanpa bermaksud meragukan keputusan pengadilan Arab Saudi, namun rasanya sulit diterima oleh akal sehat bila ada ibu yang rela berpisah dengan anaknya dan jauh-jauh ke LN hanya untuk berbuat kriminal, apalagi melakukan pembunuhan. Mestinya ada suatu situasi atau kondisi darurat yang mungkin begitu membahayakan keselamatannya sehingga memaksa mereka melakukan suatu tindakan untuk membela diri atau menyelamatkan nyawanya sendiri sehingga harus merenggut nyawa orang lain yang mungkin membahayakan dirinya.
Seharusnya lobi diplomatik yang dilakukan pemerintah kita jangan berfokus pada masalah negosiasi jumlah diat yang harus dibayar, tapi lebih kepada proses pendampingan selama penyelidikan berlangsung sehingga para TKW/TKI yang bermasalah dengan hukum bisa mendapatkan perlakuan dan hak-hak yang semestinya didapatkan seperti investigasi yang menyeluruh untuk mengetahui motif dan bukti-bukti yang sesuai fakta. Hal ini mengingat posisi TKW/TKI yang sangat lemah bila tidak mendapatkan pendampingan hukum yang optimal dari pemerintah RI.
Sebab, selama ini kasus-kasus seperti Satinah dan Zainab baru mencuat dan diketahui luas oleh publik setelah proses eksekusi tinggal menunggu hitungan hari. Tentu akan sulit bagi kita untuk berbuat banyak dalam usaha untuk membebaskan atau meringankan hukuman karena sudah telanjur diputuskan. Ketika pihak KBRI atau Kemenlu mengalami kendala di awal-awal pemeriksaan, semestinya melakukan upaya optimal dengan meminta bantuan ke segala pihak yang mungkin bisa membantu termasuk mengungkapkannya ke publik agar segenap rakyat Indonesia bisa melakukan tekanan publik secara luas, karena dengan penggunaan media sosial seperti saat ini, bukan tidak mungkin tekanan untuk meringankan hukuman bagi para TKW tersebut bisa dilakukan oleh jutaan rakyat Indonesia meski melalui dunia maya.
Tentu masih segar dalam ingatan kita kisah TKW muda asal Filipina yang bebas dari hukuman pancung setelah Presiden Filipina saat itu, yaitu Presiden Gloria Arroyo melakukan lobi diplomatik yang cantik dan membuahkan hasil yang sangat melegakan warga negara Filipina karena merasa pemerintahnya mampu melindungi warga negaranya, dimanapun mereka berada.
Masalah pembayaran diat bukan hanya masalah bagaimana membayar diat untuk Satinah dan Zainab saja. Namun, juga pada bagaimana seharusnya kita menyikapinya bila setiap ada kasus seperti itu, kita selalu diminta untuk membayar diat. Berapa trilyun lagi uang rakyat Indonesia dan negara pengekspor TKW/TKI ini yang harus dikirim ke negara petro dollar yang kaya raya tersebut? Sebab, selain jumlahnya yang makin lama makin fantastis karena  tidak ada batasan yang jelas yang tercantum dalam KUHP Arab Saudi mengenai jumlah maksimal diat yang boleh diminta oleh keluarga korban, juga tidak tertutup kemungkinan akan muncul jutaan Satinah dan Zainab lainnya. Lalu bila setiap kali ada permintaan diat kita selalu berusaha sekuat tenaga mengumpulkan uang, bisa jadi orang-orang Arab Saudi menganggap negara kita memiliki penduduk yang kaya-kaya sehingga selalu mampu memberikan uang berapapun jumlah yang mereka minta. Padahal, negara kitalah yang mengirimkan penduduknya untuk menjadi tenaga kerja dan mengais ceceran dinar atau riyal dari penduduk Arab Saudi yang membutuhkan pekerja. Jadi bila bisa dibalik, seharusnya penduduk negara kitalah yang membutuhkan sumbangan uang sebegitu banyak agar bisa hidup makmur dan tidak perlu jauh-jauh mencari nafkah ke LN, meninggalkan anak dan keluarga dengan resiko yang begitu besar terutama bagi kaum perempuan.
Mungkin pemerintah bisa melakukan lobi diplomatik yang berbeda dengan pendekatan yang lebih menyentuh hati, seperti menggunakan pendekatan dengan sesama ulama, mengingat Indonesia dan Arab Saudi penduduknya sama-sama mayoritas kaum muslim. Seperti lobi yang pernah dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga ulama. Saat itu, lobi yang beliau lakukan sempat membuat hukuman pancung untuk Zainab batal dilaksanakan. Namun sayangnya, entah apa yang terjadi setelahnya, karena sepertinya proses pembatalan hukuman pancung tersebut tidak terkawal dengan baik sehingga saat ini Zainab kembali terancam hukuman pancung meski telah menjalani hukuman penjara selama 15 tahun. Rasanya sangat tidak adil, karena setelah menunggu sekian lama, Zainab pun pada akhirnya tetap harus menjalani eksekusi di meja pancung. Hal ini sama saja dengan menjalani dua hukuman sekaligus untuk kasus yang sama.
Sementara pemerintah diharapkan terus memperbaiki sistem ketenagakerjaan kita di LN, terutama perlindungan untuk para TKW dan TKI, barangkali MUI atau ikatan ulama lainnya ada yang mempunyai hubungan baik dengan ulama di Arab Saudi sehingga bisa diajak oleh pemerintah untuk melobi ulama Arab agar bisa meluluhkan hati keluarga korban untuk mengampuni dan meringankan hukuman para TKW tersebut. Mengingat mereka adalah kaum yang kurang beruntung sehingga harus mencari nafkah ke Arab Saudi, yaitu negara kelahiran Rasulullah yang mengajarkan kita untuk saling menyayangi dan memaafkan, serta menyantuni kaum fakir dan lemah, sehingga para TKW yang notabene masuk dalam golongan kaum tersebut sudah semestinya layak mendapatkan kedermawanan terutama belas kasihan berupa ampunan agar dapat melanjutkan hidup sebagai tulang punggung keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H