Mohon tunggu...
Farah Febri Yanti
Farah Febri Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

Halo, saya Farah, mahasiswa S1 Gizi di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Di halaman Kompasiana ini, saya berbagi perspektif, pengalaman, dan kajian ilmiah seputar dunia gizi dan kesehatan masyarakat. Melalui platform ini, saya berharap dapat menyampaikan informasi yang bermanfaat, menginspirasi, dan memotivasi pembaca untuk lebih peduli pada gizi dan kesehatan. Mari bergabung dalam diskusi dan berbagi ide untuk masa depan yang lebih sehat dan berdaya!

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Paradox Pedas: Benarkah Kebiasaan Makan Sambal Memicu Anemia?

18 Desember 2024   10:47 Diperbarui: 18 Desember 2024   10:47 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Cabai merupakan bahan makanan yang sangat populer di berbagai belahan dunia. Tidak hanya digunakan sebagai bumbu untuk memberikan rasa pedas yang khas, cabai juga dikenal sebagai sumber vitamin C yang tinggi. Namun, di balik manfaatnya, cabai juga memiliki sisi lain yang kurang menguntungkan. Kandungan senyawa seperti polifenol dan fitat di dalam cabai diduga dapat menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh (Tuntipopipat et al., 2006). Hal ini penting untuk diperhatikan bagi para pecinta pedas yang kerap mengandalkan lauk nabati sebagai pilihan protein karena ketercapaian penyerapan zat besi yang ideal cenderung semakin sulit tercapai.Pemahaman akan interaksi senyawa-senyawa dan cara mengkompensasinya dapat membantu kita mengelola konsumsi cabai untuk memaksimalkan manfaatnya tanpa mengorbankan kebutuhan zat besi tubuh. 

Komponen utama cabai yaitu capsaicinoid, yang memberikan rasa pedas pada cabai.  Cabai mengandung banyak senyawa yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh, seperti vitamin C, vitamin A, vitamin B kompleks (niasin, piridoksin , riboflavin dan tiamin) dan flavonoid seperti β-karoten, α-karoten, lutein, zea-xanthin, dan kryptoxanthin (Chakrabarty et al., 2017). Tidak hanya itu, cabai juga mengandung berbagai mineral seperti kalium, magnesium, dan zat besi. Zat besi merupakan mineral yang berperan penting dalam pembentukan hemoglobin (Hb) atau sel darah merah. Kekurangan zat besi dalam tubuh dapat menghambat pembentukan hemoglobin dan akhirnya menyebabkan tubuh kekurangan sel darah merah atau biasa disebut anemia defisiensi zat besi. Cabai merupakan sumber vitamin C yang baik, kandungan vitamin C dalam cabai dua kali lipat dari tomat, apel, dan jeruk per gram berat buah (Makhziah et al., 2021). Vitamin C diketahui dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Hal ini dikarenakan zat besi memerlukan lingkungan gastrointestinal yang asam agar dapat larut dengan baik agar dapat diserap, dan vitamin C dapat menciptakan lingkungan tersebut (Li et al., 2020). Namun, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan lain, cabai juga tinggi polifenol dan fitat, yang merupakan penghambat utama dalam penyerapan zat besi. Penelitian oleh Tuntipopipat et al., (2006) di Thailand melaporkan bahwa menambahkan cabai pada makanan dapat menurunkan penyerapan zat besi. Dalam penelitian tersebut, dinyatakan bahwa kandungan polifenol pada cabai yang menurunkan penyerapan zat besi, sedangkan kandungan fitat tidak berpengaruh signifikan. 

Fitat dan polifenol adalah inhibitor utama penyerapan zat besi dalam makanan berbasis nabati karena membentuk kompleks dengan zat besi di saluran pencernaan. Fitat yang merupakan komponen alami pada tumbuhan dapat menghambat bioavailabilitas mineral, termasuk zat besi. Hal ini disebabkan karena tubuh manusia tidak dapat mencerna fitat akibat ketiadaan enzim endofit. Akibatnya, mineral yang terikat dalam fitat tidak dapat diserap. Efek penghambatan fitat terhadap penyerapan zat besi bersifat tergantung dosis, dengan penambahan asam askorbat diketahui dapat mengurangi efek ini. Penelitian menunjukkan bahwa penghilangan fitat secara signifikan meningkatkan penyerapan zat besi (Piskin et al., 2022). 

Polifenol berperan tidak hanya sebagai antioksidan, tetapi juga memiliki kemampuan unik untuk mengikat zat besi. Zat besi, terutama dalam bentuk bebas, dapat memicu stres oksidatif melalui pembentukan radikal bebas. Dengan mengikat ion besi, polifenol membantu mencegah proses ini, sehingga melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif. Struktur kimia polifenol, seperti kelompok katekol dan galoyl, memainkan peran penting dalam kemampuannya mengikat besi. Senyawa seperti baicalein dan quercetin memiliki struktur khusus yang memungkinkan mereka mengikat ion besi dengan kuat, mengurangi potensi pembentukan radikal bebas. Bahkan ellagic acid, yang kaya akan gugus hidroksil, dapat membentuk kompleks dengan besi dan menghambat reaksi berbahaya (Scarano et al., 2023). Dalam penelitian lainnya, polifenol dapat menurunkan saturasi transferrin (ST) dengan membatasi penyerapan zat besi non-heme, terbukti dari penurunan ST sebesar 3,10% pada beberapa studi. Selain itu, polifenol juga dapat mengurangi konsentrasi ferritin, yang mencerminkan cadangan zat besi tubuh (Xu et al., 2021). 

Efek penghambatan dari senyawa polifenol dan fitat dalam cabai tidaklah kebal dari segalanya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengakali efek tersebut adalah untuk mengonsumsi vitamin C dan mengolah cabai sebelum dikonsumsi. 

Vitamin C memiliki efek peningkatan penyerapan zat besi non heme karena kemampuan mereduksi dan kelasi besi (Moustarah dan Daley, 2024). Efek ini akan merubah zat besi ferri menjadi fero – bentuk yang lebih mudah diserap. Vitamin C juga dapat melawan efek dari penghambat zat besi seperti fitat, polifenol, dan kalsium. Maka dari itu, vitamin C umumnya direkomendasikan untuk menemani asupan suplemen zat besi. Contoh bahan makanan yang tinggi dalam vitamin C adalah buah sitrus seperti jeruk, paprika, dan tomat. 

Cara mengolah cabai juga dapat menjadi upaya dalam mengurangi efek penghambatan penyerapan zat besi – terutama dari fitat (Reddy, Agbemafle, dan Armah, 2022). Kandungan fitat dalam cabai dapat dikurangi melalui berbagai cara pengolahan, antara lain penggilingan, perlakuan panas atau memasak, perendaman, perkecambahan, fermentasi, dan penambahan enzim fitase eksogen. Pada proses fermentasi, mikroflora pada permukaan akan menghasilkan fitase, yang kemudian menguraikan fitat. Proses perendaman juga dapat menurunkan kandungan fitat melalui aktivasi fitase yang disimpan dalam bentuk larut air. Pemasakan dapat mengurangi fitat karena panas yang diberikan akan menguraikan fitat pada bahan makanan (Jiang, Cai, dan Xu, 2013; Kumar et al., 2023). Namun, pengurangan fitat akan lebih efektif apabila bahan makanannya direndam sebelum diolah dengan cara memasak. 

Cabai merupakan salah satu bahan makanan yang umum dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Namun, kandungan di dalamnya seperti polifenol dan fitat dapat menghambat penyerapan zat besi di usus. Walau demikian, konsumsi vitamin C dan pengolahan cabai sebelum dikonsumsi dapat mengurangi risiko gangguan penyerapan tersebut. Maka dari itu, nikmatilah cabai dengan berbagai metode pengolahan serta konsumsi vitamin C supaya cita rasa tercapai dan kesehatan lestari! 

Anisha Syafiqa Qawlam, Farah Febri Yanti, Kendrick, dan Vincent Rafferty Marcelin 

Fakultas Kesehatan Masyarakat 

Universitas Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun