Mohon tunggu...
farah azizah
farah azizah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa Artinya Demokrasi Jika Money Politic Terus Beraksi?

23 Desember 2015   12:34 Diperbarui: 23 Desember 2015   12:54 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan umum (Pemilu) yang diadakan di Indonesia dalam berbagai pemilihan, seperti pemilihan presiden, kepala daerah maupun anggota legislatif dikatakan sebagai pesta demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Di mana rakyat dapat dengan bebas memberikan hak suaranya kepada kandidat yang ia nilai dapat menjadi pemimpin yang baik dan dapat membawa perubahan bagi kehidupannya. Hak suara yang diberikan oleh rakyat kepada kandidat sama dengan harapan yang digantungkan oleh rakyat pada kandidat tersebut.

Akan tetapi dalam kenyataannya pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi malah dimanfaatkan oleh orang-orang yang haus akan kekuasaan untuk mendapatkan suara rakyat sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai kecurangan. Salah satu bentuk kecurangan yang selalu terjadi adalah money politic. Di mana letak demokrasi jika money politic terjadi? Hal ini sama saja dengan membeli suara rakyat. Seperti yang terjadi pada pilkada serentak kemarin, Bawaslu Sumatera Barat menerima banyak laporan terkait adanya indikasi terjadinya money politic (Liputan6.com, 11/12). Tidak hanya di Sumatera Barat, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia menemukan praktik money politic di sejumlah daerah, di antaranya Kabupaten Boyolali, Sragen, Klaten, Semarang, Provinsi Jawa Tengah serta di Maluku Utara (SindoNews.com, 9/12).

Menurut McClosky (dalam Handaningrum, 2014) partisipasi politik adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela oleh warga negara dalam mengambil bagian pada proses pemilihan pemimpin dan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum. Adanya money politic ini tidak menunjukkan sisi demokrasi rakyat di mana seharusnya rakyat bebas untuk memilih tetapi  malah memaksa rakyat untuk memberikan hak suaranya kepada pelaku money politic.

Selain itu struktur pengetahuan memiliki peranan penting bagi seseorang, bagaimana pengetahuan digunakan untuk memproses informasi dan membuat pilihan-pilihan politik, seperti bagaimana cara mengevaluasi seorang kandidat dan kepada siapa suara diberikan (Cottam, Uhler, Mastors dan Preston, 2012). Akan tetapi praktik money politic membuat seseorang tidak menggunakan pengetahuan mereka dengan memproses informasi untuk menentukan kepada siapa hak suara mereka diberikan. Rakyat akan memberikan hak suara mereka kepada kandidat yang telah memberikan mereka uang. Mungkin banyak masyarakat berpikir bahwa kandidat yang memberikan uang adalah calon pemimpin yang tidak pelit dan loyal kepada rakyatnya, dan mereka tidak mengetahui akibat dalam pemberian sogokan tersebut.

Diharapkan pada pemilu di masa mendatang praktik-praktik money politic ini tidak terjadi lagi, agar pemilu benar-benar menjadi pesta demokrasi untuk rakyat.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun