Mohon tunggu...
Farah Alfiyah
Farah Alfiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seseorang yang suka membaca.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Keran Ekspor Pasir Laut Dibuka Lagi, Tepatkah Kebijakan Pemerintah Kali Ini?

16 Desember 2024   17:00 Diperbarui: 16 Desember 2024   17:03 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini Indonesia dibuat gempar oleh Presiden Jokowi atas keputusannya melegalkan kembali ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Peristiwa ini tentu saja menimbulkan kontroversi karena ekspor pasir laut telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 2003 akibat tingginya kerusakan ekosistem pesisir. Pada saat itu, terjadi eksploitasi pasir laut Kepulauan Riau untuk mereklamasi Singapura. Selain menimbulkan kerusakan, pasir laut yang diekspor terjual dengan harga yang sangat rendah dari harga sebenarnya sehingga menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia.

Langkah Presiden Jokowi untuk melegalkan ekspor pasir laut diambil setelah mempertimbangkan kebutuhan pasar global dan potensi keuntungan ekonomi yang dapat diraih. Selain itu, alasan yang diutarakan oleh Presiden Jokowi adalah pasir laut yang akan diekspor merupakan hasil pembersihan sedimentasi yang mengganggu alur jalannya kapal, atau dengan kata lain apa yang akan diekspor adalah sedimentasi bukan pasir laut. Alasan tersebut didukung oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim. Menurut Isy, pengerukan pasir laut diperlukan untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut, meningkatkan kesehatan laut, sekaligus mendapatkan pemasukan kas negara. Meskipun Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa kebijakan ini tidak akan merusak lingkungan, tetap saja timbul kekhawatiran di masyarakat mengenai dampak buruk kebijakan ini terhadap lingkungan dan keberlangsungan sumber daya alam.

Tentu saja ekspor pasir laut dapat memberikan beberapa keuntungan seperti meningkatkan devisa, menciptakan lapangan kerja, seperti pada sektor pertambangan, pengolahan, dan logistik, serta dapat mengurangi ketergantungan ekonomi pada sektor lain. Akan tetapi, menurut saya, ekspor pasir laut memiliki lebih banyak dampak negatif daripada dampak positif, terutama dampaknya terhadap lingkungan pesisir. 

Seperti yang telah kita ketahui, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 Pasal 9 yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi, ekspor pasir laut diperbolehkan dengan syarat kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi. Namun, apakah benar kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi? Jika kita melihat dari betapa mengkhawatirkannya daerah Pantai Utara Jawa yang sebagian wilayahnya terancam akan tenggelam pada 2030, maka jawabannya tentu saja kebutuhan pasir laut dalam negeri masih belum terpenuhi. 

Dalam undang-undang, telah diatur bahwa penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun, pemerintah justru memperparah keadaan dengan melegalkan kegiatan yang sangat berpotensi merusak lingkungan dan mempercepat terjadinya bencana tersebut. Seharusnya pemerintah memprioritaskan reklamasi di dalam negeri untuk mencegah timbulnya bencana berskala besar yang dapat merugikan negara serta rakyat dalam jangka panjang. 

Selain bahaya potensi tenggelamnya Pantai Utara Jawa, potensi bahaya lain yang dapat terjadi akibat penambangan pasir laut untuk diekspor adalah terjadinya kerusakan ekosistem laut dan pesisir. Selain merusak alam, hal ini juga mengancam mata pencaharian masyarakat pesisir, khususnya nelayan, yang sangat bergantung pada laut. Pengerukan pasir secara masif juga dapat mengurangi pasokan pasir lokal yang sangat diperlukan untuk konstruksi dan pertanian. Selain itu, menambang pasir menggunakan kapal isap dapat merusak area penangkapan ikan, terutama di perairan yang berjarak kurang dari 12 mil dari bibir pantai. 

Dampak jangka panjang dari penambangan pasir ini adalah memperburuk potensi bencana iklim. Proses pengerukan secara masif juga dapat menyebabkan kenaikan permukaan air laut, memperparah abrasi, dan banjir rob. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Indonesia pernah mengalami kerugian akibat pengerukan pasir laut pada tahun 2002. Selain mengalami kerugian ekonomi, Indonesia juga mengalami kerugian nonekonomi yaitu tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia akibat abrasi, contohnya adalah enam pulau di Kepulauan Seribu yang mengalami kerusakan parah dan akhirnya dinyatakan hilang. 

Saat ini, demi menyuarakan keresahan rakyat, Ketua Komisi VI DPR RI, Faisol Riza, sedang mencari waktu untuk bertemu dengan Menteri Perdagangan RI, Zulkifli Hasan, untuk mendalami mengenai kebijakan ekspor pasir laut. Beliau menilai banyak hal mengenai kebijakan ini yang perlu ditelaah lebih lanjut, terutama mengenai dampak kebijakan ini terhadap lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun