Maraknya drama Korea yang di eksport ke Indonesia menciptakan nuansa baru di Indonesia. Drama Korea memiliki setting cerita yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan cerita yang sering diangkat dalam sinetron-sinetron Indonesia. Cinta segitiga hingga segi empat yang menyusupkan cerita tentang keluarga di dalamnya.
Hanya saja jika saya diminta untuk memilih mau nonton yang mana, saya prefer nonton drama Korea. Kenapa ? Ada beberapa faktor yang membuat drama Korea dianggap lebih menarik dibanding Sinetron Indonesia, yang antara lain:
1.Moral of the story
Dalam drama Korea walaupun terdapat cerita yang monoton, tapi selalu ada moral of the story yang bisa ditangkap. Misal bagaimana seorang wanita yang memiliki semangat dalam hidup, walaupun ia berasal dari keluarga miskin tapi ia tak pantang menyerah. Mau bekerja apa saja, walaupun harus menjadi waitress, pembantu, ataupun menjadi pengantar susu. Mereka bekerja untuk menghidupi keluarganya, menyekolahkan adik-adiknya, atau menabung demi meraih cita-citanya. Cerita-cerita ini disuguhkan dalam film Boys Before Flowers, Coffee Prince, Shining Inheritance, Oh.. My Lady.
2.Plot Cerita yang Realistis
Berbeda jauh dengan sinetron Indonesia, yang saya perhatikan sinetron Indonesia hanya menceritakan tentang kisah antara si Kaya dan si Miskin, tanpa menunjukan latar belakang keluarganya, dan apa pekerjaannya. Di dalam Drama Korea kisah tentang setiap peranan itu jelas. Misal saja dalam film Shining Inheritance atau Cinderella Stepsister menggambarkan tentang bagaimana seorang Orang Tua yang memiliki usaha keluarga yang sudah dibangunnya sejak awal. Seperti pemilik Winery (Soju dan Mak Gul) atau Restaurant Mie terkenal. Dan menggambarkan cerita bagaimana mereka menjaga perusahaannya itu agar tetap bertahan, dan disuguhkan pula intrik tentang bagaimana mereka jatuh dan berhasil. Tidak lupa mereka mengambarkan bagaimana sebuah pabrik wine bekerja, dan dijual kemana saja, serta bagaimana membuatnya. Sehingga kita tidak hanya menikmati cerita nya saja, tapi juga terinspirasi dan mendapat pengetahuan mengenai pabrik wine tersebut.
3.Mempromosikan Budaya
Dalam film Korea, mereka juga memperkenalkan budaya mereka. Dari mulai makan kue beras (dukbokki), Mie (Ramyun), Kimchi, dll. Kemudian mereka memperkenalkan budaya wine beras mereka yang tidak hanya memabukan namun sehat. Lalu, budaya menghormati seperti mengatakan maaf (bianne), terimakasih (Kanshahamitha), dan memanggil orang tua dengan sopan seperti bibi (Ahjuma), paman (ahjussi) dll. Sehingga kita turut serta merasakan atmosfirnya dan menarik ingin lebih tahu bnayka lagi mengenai budaya mereka.
4.Tidak Pelit Anggaran
Sinetron Indonesia rata-rata shooting di areal yang sama, dan kemudian demi meminimalisir anggaran mereka mengotak-atik lokasi, sehingga menjadi seperti sedang berada di tempat yang berbeda-beda. Namun dalam Drama Korea, mereka tidak main-main dengan anggaran. Jika drama tersebut menceritakan tentang artis, maka akan akan dibuatkan konser beneran, jika pemain merupakan pengusaha maka akan ditunjukan susasan kantor plus karyawan-karyawannya. Jika ia orang kaya, maka ia akan membawa mobil super mewah.
5.Pemain yang Fit dengan Perannya
Sinetron Indonesia seringkali menggunakan pemain yang bahkan tak bisa acting sama sekali, sedangkan di Korea mereka benar-benar mencocokan pemain dengan karakter peran dalam cerita tersebut. Jika dia seorang ibu maka akan dipilih pemain berusia 40an, jika ia remaja maka akan dimainkan pemain yag berusia 15an.
Dilihat dari faktor-faktor diatas seharusnya kita mencontoh (bukan jiplak) drama Korea. Cerita yang mereka angkat bukan melulu tentang seseorang yang nangis setiap hari. Jika itu cerita drama yang sedih, mereka tidak lupa menyusupkan kisah bahagia nya. Sehingga penonton akan mengikuti dinamika ceritanya.
Satu lagi yang saya kurang suka dengan sinetron Indonesia ialah ceritanya yang berlarut-larut. Drama Korea disetiap penayangnnya pun akan mengejar rating, namun mereka tidak ‘ngoyo’. Ketika rating mereka berada di tingkat teratas namun cerita nya telah berakhir, maka mereka akan mengakhiri drama tersebut. Berbeda dengan sinetron Indonesia yang ngoyo dan cenderung memaksa.
Well, memang sih para sutradara, produser ataupun production house di Indonesia sudah terperangkap dengan animo masyarakat terhadap sinetron-sinetron seperti yang saat ini tayang. Namun, perlukah kita memperbaiki kualitas film tersebut ? agar penonton pun kemudian dapat terdidik dengan suguhan yang lebih berkualitas. Karena, kadang sinetron ini menjadi ajang bagi mereka yang di pedalam untuk mengenal situasi kehidupan diluar sana kan, jika tidak dibarengi dengan kualitas yang baik. Khawatirnya, film, drama dan musik yang seharusnya menjadi sarana pendidikan bagi masyarakat ini akan tetap pada situasi saat ini, dan membentuk pola fikir masyarakat yang tidak realistis.
Terlalu banyak wanita-wanita diluar sana yang terkungkung dengancerita Cinderella, dimana mereka ingin menikah dengan pria tampan yang kaya raya tanpa bekerja. Dan inilah dimana kita semua harus tergerak untuk merubah ‘mind set’ tersebut. Bukankah kita harus bekerja keras dahulu untuk dapat hidup enak dan sukses ?
Terlalu banyak cerita-cerita yang tidak masuk akal yang disiarkan di Indonesia, seharusnya Lembaga Perfilm Indonesia mulai membuat aturan mengenai hal ini, film atau sinetron tidak lagi hanya sebagai alat komersial untuk mendapatkan keuntungan namun juga dapat menjadi sarana untuk mendidik para penikmatnya.
[caption id="attachment_98390" align="alignnone" width="380" caption="make a good quality for quality"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H